411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Tuesday, March 27, 2007

MERAJAN BALI

Om Swastyastu,

Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sang Hyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
1. Padmasana/Padmasari : Sang Hyang Tri Purusha, Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa - SadaSiwa - Parama Siwa.
2. Kemulan rong tiga : Sang Hyang Trimurti, Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari),rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata)
3. Sapta Petala : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala,
witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol
naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4. Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagaiBhatari Saraswati (sakti Brahma)
penganugrah pengetahuan.
5. Limascari dan limasctu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana
- Purusha, rwa bhineda.
6. Pangrurah : Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu
7. Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
8. Raja-Dewata : pelinggih roh para leluhur (dibawahBhatara Kawitan)

Om Santih, santih, santih, Om

Thursday, March 22, 2007

PURA BUKIT DHARMA DI KUTRI,
MASUKNYA BUDAYA HINDU KE BALI

Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?

===================================================== Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur. Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga. Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya. Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini. Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali. Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin. Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus. Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini. Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura. Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan. Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi. Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan. Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. * suastra

Sumber: BaliPost

Sejarah masuknya Agama Hindu

Masuknya Agama Hindu

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti RajaJayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu.
Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi–-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Budha) sebagai pembantu raja.

Masa 1343--1846

Masa ini dimulai dengan kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343. Secara detail masa ini dapat diuraikan sebagai berikut : Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.
Zaman Gelgel Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460--1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550--1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605--1686).
Zaman Kerajaan Klungkung Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya, yaitu Semarapura. Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710--1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

Masa 1846--1949

Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang Jagaraga (1848--1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung (1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

Zaman Penjajahan Belanda

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali. Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

Lahirnya Organisasi Pergerakan

Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana". Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studie fons.

Zaman Pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada Januari 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

Zaman Kemerdekaan

Menyusul Proklamasi Kemerdekaan, pada 23 Agustus 1945 Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja. Menyusul Proklamasi Kemerdekaan, pada 23 Agustus 1945 Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja. Sejak pendaratan Nica di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat. Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

Puputan Margarana

Pada waktu staf MBO berada di Marga, Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi Nica yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi Nica ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makasar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Rai sendiri sebagai kusuma bangsa. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

Konferensi Denpasar

Pada 18--24 Desember 1946 bertempat di pendopo Bali Hotel, Denpasar berlangsung konferensi Denpasar. Konferensi itu dibuka oleh Van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makasar (Ujung Pandang). Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja.

Penyerahan Kedaulatan

Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, 27 November 1949 GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil. Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, 17 Agustus 1950 RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masa 1949-2007

Pada 12 Oktober 2002, terjadi pengeboman di daerah Kuta yang menyebabkan sekitar 202 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sebagian besar korban meninggal adalah warga Australia.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali"

Bhatara Ganapati

Om Swastyastu,

1. Patung Bhatara Gana atau Ganapati atau Ganesa yang diletakkan di pekarangan rumah dimaksud untuk menstanakan Bhatara Gana, putra Siwa dan Parvati, yang memberi perlindungan dan pemusnah rintangan bagi umat manusia. Selain Ganesa, putra Siwa yang lain adalah Karttikeya (Baca : Siva Purana dan Lingga Purana) atau di Bali dikenal sebagai Bhatara Hyang Kumara yang 'bertugas' melindungi bayi-bayi kita. Beliau tidak dibuatkan patung, tetapi distanakan di pelangkiran kamar tidur bayi dengan bentuk bulat yang disebut pelangkiran ingka (acuan : Lontar Kala Tattwa). Bila si bayi sudah diupacari tiga bulanan maka Bhatara Hyang Kumara 'menyerahkan tugas ngemban manusia' kepada 'Kanda-Pat'

2. Kanda-Pat yang sudah suci distanakan di pekarangan dalam wujud tugu sebagai Sedahan Karang. Bila di Sanggah Pamerajan di stanakan di palinggih Panglurah (acuan : Buku Dharmopadesa, PHDI Kota Denpasar, halaman 44).

Dados yen ngelinggihang Sedaan/Penunggun Karang/Tugu, punika matiosan pisan sareng ngelinggihang Ganesa, sakewanten sami tatujon nyane pateh, inggih punika nunas paswecan Sanghyang Parama Kawi mangda iraga sareng sami ngemangguhang rahayu tur rahajeng. Tiang ring Geria ngelinggihang makekalih inggih punika Patung Bhatara Gana lan Sedahan Karang.
Punika kirang langkung sane panggihin titiang, ampura.

Om Santih, santih, santih

Wednesday, March 21, 2007

Sorga & Neraka



Om Swastyastu,

Millis ramai oleh Sorga, Neraka, dan re-inkarnasi.Saya lama berpikir apakah berani memberikan sedikitinfo (dari pengalaman muput Pitra Yadnya), karenatakut tidak dipercaya atau dikira yang nggak-nggak.Tapi kalau terus diam, kasihan juga bagi yang belumtahu. Sekarang juga anda boleh percaya, boleh tidak.Kalau saya salah, mohon maaf.1. Sorga itu ada, namanya 'Banjaran Kembang'2. Neraka itu ada, namanya 'Titi Gonggang'3. Ujian perjalanan ke Sorga melalui wilayah yangbernama : Kayu Curiga, dan Alang-alang Reges.4. Bila roh sudah berada di Sorga, belum tentu bisaamoring acintya. Untuk roh-roh ini, boleh tinggal diSorga hanya 7 bulan 7 hari. Jika belum ada kesempatanre-inkarnasi, tunggu giliran, dan berstana di SanggahKemulan.5. Yang masuk neraka, tinggalnya lebih lama yaitu 3 x7 bulan, 7 hari. Terus re-inkarnasi lagi (entah jadimanusia atau binatang atau tumbuh-tumbuhan)6. Roh yang dari Sorga, lahir kembali menjadi manusiayang : ganteng, cantik, kaya, sehat, pintar, banyakteman, suka sembahyang, pokoknya 'dimudahkan segalajalan hidupnya' Roh yang dari neraka kalau jadimanusia, jelek/cacat, bodoh, miskin, suka berkelahi,tidak mau sembahyang, sial, semuanya serba sulithidupnya.Saran :1. Bila anda sekarang sedang baik (roh dari sorga),jangan takabur, sombong, arogan, dll. karena andamasih harus menabung karmawasana lebih banyak agarkelak anda bisa amoring acintya atau moksah, sebagaitujuan akhir roh-roh.2. Bila anda sekarang sedang susah (roh dari neraka),jangan putus asa, jangan menuruti asuri sampad, harusbangkit memperbaiki hidup dan mengadakan koreksitotal, agar kelak anda bisa menjadi orang baik (padakehidupan y.a.d), atau kalau anda sangat kuatmelaksanakan Tapa Yadnya, bisa juga roh/manusia darineraka setelah hidup kemudian mati lagi, lalu amoringacintya. Contohnya : Bhagawan Walmiki, Lubdhaka.3. Maka kehidupan di dunia sebenarnya bagaikan prosesmesin cuci. Pakaian kotor (roh yang re-inkarnasi)masuk mesin cuci (lahir ke madyapada), lalu dikeluarkan dari mesin cuci (meninggal dunia). Kalausudah bersih (suci) masuk almari (amoring acintya);kalau masih kotor (belum suci) masuk mesin cuci lagi(lahir kembali = samsara = sengsara). Ya, hidup didunia ini sebenarnya 'Sengsara' karena ada : suka -duka - lara - pati; tetapi kalau amoring acintya,disitulah : suka tan pawali duhka.Sekian dahulu, maaf, bagi yang ragu/kurangpercaya/tidak percaya, di delete saja.


Om Santih, santih, santih

MAKNA HARI RAYA NYEPI



Brata Nyepi Melatih Hidup Mandiri
Oleh Brahmacarya Bhargawa Chaitanya

SETIAP pergantian Tahun Baru Saka, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan suatu brata atau latihan spiritual pada saat hari raya Nyepi. Empat Brata Nyepi yang lazim di kalangan umat Hindu yang disebut Catur Brata Penyepian biasa dilaksanakan pada saat nyepi. Pelaksanaannya masih terkesan rutin dan tak jarang tanpa pemahaman makna yang sesungguhnya.
CATUR Brata Penyepian meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara leksikal berarti tidak menyalakan api, Amati Karya berarti tidak melakukan aktivitas atau kerja, Amati Lelungan berarti tidak keluar rumah atau bepergian, dan Amati Lelanguan berarti tidak menikmati kesenangan.
Pelaksanaan Catur Brata Penyepian ini hendaknya dikaji secara filosofis. Amati Gni, misalnya. Selain tidak menyalakan api sehingga tak jarang di rumah-rumah orang Hindu umumnya pada saat Nyepi tidak ada penerangan atau gelap, Amati Gni sebenarnya juga mengandung suatu pesan simbolis yang bermakna mematikan api hawa nafsu yang ada dalam diri manusia.
Apakah ada kaitannya dengan tidak menyalakan api secara fisik, tentu saja ada. Api merupakan simbol ketertarikan pada obyek atau sesuatu benda yang menimbulkan keinginan untuk memilikinya (desire). Di tempat yang gelap kita tidak bisa membedakan satu benda dengan benda lainnya, karena itu dibutuhkan cahaya untuk melihat benda-benda tersebut. Obyek atau benda dengan sendirinya tidak akan menimbulkan suatu masalah. Masalah umumnya timbul ketika kita melakukan kontak dan kita memberikan nilai yang lebih pada obyek atau benda itu. Padahal, nilai ini sebenarnya tidak mutlak.
Ketertarikan akan benda ataupun obyek senantiasa berubah. Sebenarnya ini adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika dalam proses untuk mendapatkan suatu obyek atau benda tersebut, kita lupa bahwa pikiran kita telah dikuasai secara penuh oleh keinginan untuk memilikinya. Tak jarang pikiran kita menjadi sedih dan gelisah. Kita berpikir tanpa obyek itu kita merasa tidak akan lengkap, padahal sebelumnya kita tenang saja. Inilah yang akan menimbulkan hasrat untuk menguasai (desire), dan setelah kita berhasil mendapatkan, kita akan berusaha mempertahankannya mati-matian yang menimbulkan rasa keterikatan yang kuat dan rasa ketakutan untuk kehilangan (fear).
Dalam proses untuk mendapatkan benda itu tak jarang ada penghalang dan rintangan karena mungkin saja ada orang lain yang juga menginginkannya atau tidak memberikan kepada kita. Otomatis kita menjadi kesal dan menimbulkan rasa marah kepada orang itu (anger). Inilah awal kita menciptakan permusuhan di dalam diri kita yang berupa konflik batin dan permusuhan dengan orang lain, berupa konflik kepentingan atau perkelahian. Nah, jelas sudah karena adanya cahaya, kita bisa melihat obyek yang menarik perhatian kita, kemudian mempunyai hasrat untuk memilikinya yang tak jarang juga menimbulkan perasaan takut untuk tidak mendapatkan dan perasaan ketakutan akan kehilangan. Kita berpikir setelah kita bisa mendapatkan obyek keinginan itu kita akan bahagia, tetapi justru sebaliknya kita menjadi tidak tenang. Dengan mematikan api secara fisik diharapkan kita bisa menguasai nafsu keinginan kita untuk mendapatkan suatu ketenangan.
Kita tidak akan mati jika dalam satu hari saja tidak menyalakan api, tidak melakukan aktivitas kerja, tidak bepergian, ataupun tidak melakukan kegiatan memenuhi kesenangan akan obyek di luar diri kita. Justru sebaliknya kita bisa mengistirahatkan pikiran kita dan mengoptimalkan diri kita secara lahir dan batin. Kegiatan untuk memenuhi hasrat keinginan ini hampir setiap hari kita lakukan dan merupakan rutinitas hidup selama bertahun-tahun. Obyek keinginan itu selalu berubah dan berlipat ganda jumlahnya. Keinginan yang satu akan berlanjut dengan keinginan-keinginan yang lain dan pemenuhan akan obyek keinginan itu tak jarang membuat hidup kita menderita.
JIKA kita kembangkan lebih luas, dengan melihat kondisi negara dan bangsa saat ini, keadaannya tidak jauh berbeda. Hingga dekade yang lalu pola pikir dan pola hidup masyarakat kita berubah. Kita berpikir kita sudah menjadi sama dengan negara maju dan modern, padahal kenyataannya kita masih negara berkembang. Pola hidup masyarakat agraris cenderung ditinggalkan berganti menjadi pola hidup masyarakat industri. Lahan pertanian berubah menjadi pabrik- pabrik.
Sebenarnya ini tidak masalah. Yang menjadi permasalahan adalah kita menjadi masyarakat yang konsumtif. Masyarakat tidak lagi menganut pola hidup sederhana, tetapi cenderung hidup luxury. Ini mendorong perubahan dari hal-hal kecil, seperti pola makan, sampai hal-hal yang mendasar seperti prestise. Kini sebagian dari kita lebih suka makan fast food dan segala sesuatu yang berbau impor. Tidak hanya sebatas pola makan, tetapi semua kebutuhan hidup pun menjadi meningkat. Tuntutan hidup dirasa semakin sulit. Belum lagi makin menjamurnya pertokoan dan pusat perbelanjaan, kita menjadi terbiasa dan bergantung pada produk luar. Sementara kemampuan dan daya beli masyarakat masih rendah sehingga tak jarang yang terpaksa berutang.
Belum lagi keadaan ini tidak diimbangi dengan kerja keras. Masyarakat kita cenderung mau makan enak, tetapi ogah kerja. Keadaan ini terjadi bertahun-tahun tanpa kita sadari. Sampai mencapai klimaks yang berupa krisis ekonomi dan multikrisis. Semua mencari kambing hitam, rakyat menyalahkan pejabat, pejabat menyalahkan pengusaha, dan pengusaha menyalahkan sistem birokrasi pemerintahan.
Sampai kapan keadaan ini akan berlangsung?
Selama kita merasa bergantung pada produk luar dan belum bisa menghargai dan meningkatkan produksi dalam negeri, selamanya kita akan bergantung pada negara lain, kita tidak akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, apalagi jika setiap individu masih memegang prestise yang salah dengan menganut pola pikir biar miskin tetapi gaya. Untuk mengejar kepentingan materi, orang kadang menghalalkan segala cara. Korupsi, kolusi dan nepotisme dianggap hal yang biasa.
Apakah keadaan ini bisa berubah? Bisa saja asalkan setiap individu menyadari kepentingan dan peranannya masing-masing. Perubahan akan terjadi jika kita mau memulai dan mengubahnya dari diri kita sendiri. Kita berubah, orang lain pun akan berubah. Kalau setiap individu mengubah pola pikir yang keliru, maka akan terjadi perubahan dalam masyarakat, yang pada akhirnya perubahan keadaan negara pada umumnya.
Apa yang harus diubah?
Cara pandang dan visi kita dalam melihat kenyataan hidup ini yang harus diubah. Perubahan diawali dengan mengubah pola pikir kita yang keliru. Jika selama ini kita berpikir bahwa hidup hanya untuk hari ini, kita harus mulai berpikir tentang masa depan. Jika selama ini kita lebih mementingkan prestise yang salah demi gengsi, mulai sekarang kita harus bisa melihat kenyataan dan menerima keadaan serta menjadi diri kita apa adanya. Jika selama ini kita lebih mementingkan pola hidup mewah, mulai sekarang kita harus kembali ke pola hidup sederhana.
Jika selama ini kita merasa bergantung kepada orang lain, mulai sekarang kita harus berani mencoba kemampuan kita sendiri dan berusaha mandiri di dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika selama ini kita selalu bertanya, apa yang keluarga, orang lain, dan negara berikan kepada kita, maka mulai sekarang kita harus bertanya apa yang dapat kita berikan kepada keluarga, orang lain, dan negara? Bukankah lebih baik memberi daripada meminta?

KEMBALI ke pelaksanaan Catur Brata Nyepi. Ada yang menanyakan, apakah pada saat Nyepi harus puasa? Sebenarnya puasa tidak termasuk dalam Catur Brata Nyepi. Cuma untuk memudahkan kita melaksanakan brata, puasa dirasa perlu tetapi tidak diharuskan. Puasa tidak makan (upawasa), puasa tidak berbicara (mauna), dan puasa tidak tidur (jagra) adalah brata pada saat Siwalatri.

Kalau pada saat Nyepi kita juga melaksanakan puasa, secara otomatis kita akan lebih mudah melaksanakan Amati Gni karena pada saat itu kita tidak memasak. Kita tidak mempersiapkan hidangan (Amati Karya), otomatis kita tidak keluar rumah untuk berbelanja misalnya (Amati Lelungan) lebih-lebih kalau kita tidak menikmati hidangan yang enak, kita sudah melaksanakan Amati Lelanguan.
Yang terpenting dari pelaksanaan Nyepi adalah Catur Brata Nyepi Adi. Percuma saja kita berpuasa, tetapi kita menyalakan api, bepergian, atau mengerjakan sesuatu yang tidak perlu bahkan asyik ngerumpi. Sebaiknya Brata Nyepi dibarengi dengan olah batin dan perenungan. Pada siang hari mungkin bisa membaca sastra suci tentang tutur suci atau purana. Sore harinya diisi dengan diskusi agama dan pada malam harinya bisa melaksanakan kegiatan sambang samadhi atau meditasi, yaitu merenungkan apa yang telah kita perbuat, apa yang akan kita perbuat, serta mengevaluasi apa yang telah kita capai. Selanjutnya perenungan diarahkan menuju perenungan akan jati diri kita yang sebenarnya.
Kegiatan seperti ini sudah bertahun-tahun dilaksanakan di Pura Aditya Jaya dan pura- pura lain di Jakarta pada saat hari raya Nyepi. Biasanya umat akan datang ke pura pada pagi hari. Untuk pelaksanaan hari raya Nyepi tahun ini, panitia Tawur Kesanga dan Nyepi tingkat DKI Jakarta akan melaksanakan Tawur Kesanga di pelataran Pura Aditya Jaya, Rawamangun, sehari sebelum hari raya Nyepi, di mana sehari sebelumnya dilaksanakan upacara Merasti yang dilaksanakan di Pura Segara Cilincing.
Marilah kita pergunakan momen hari raya Nyepi ini untuk menciptakan konsolidasi umat pada khususnya dan stabilitas serta keamanan Ibu Kota pada umumnya. Lebih-lebih hari raya Nyepi pada tahun ini bersamaan dengan dilaksanakannya pesta demokrasi Pemilu 2004. Umat Hindu di mana pun berada dituntut peran aktifnya untuk secara langsung menciptakan suatu kondisi yang kondusif dan harmonis dalam pelaksanaan Brata Nyepi dan pelaksanaan Pemilu 2004.
Selamat hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1926. Semoga pikiran yang jernih datang dari segala arah.

Brahmacarya Bhargawa Chaitania Pimpinan Pura Aditya Jaya Rawamangun dan Pusat Spiritual Hindu Chinmaya Jakarta, PhD lulusan Sandeepany Sadhanalaya Hindu University, Mumbay, India

Thursday, March 15, 2007

Tirthayatra ke Pura Melanting

Pura Melanting
Sadereng rauh ring Pura Melanting Tirthayatra prthisentana Kaki Djelantik lan Kaki Bongol taler polih nangkil ring Ida Bhetari sane malinggih ring Pura Pulaki, sugra pakulun ring Ida Bhetari Ayu Swabhawa.

Tirthayatra ke Menjangan

Dalem Penataran Menjangan
Ring selat segara Bali Utara kawentenan pura puniki. Pura puniki anyar kawangun ring Pulau Menjangan puniki. Rombongan Tirthayatra prthisentana Kaki Djelantik lan Kaki Bongol taler nangkil ring pura puniki.

Tirthayatra ke Segara Rupek Negara

Segara Rupek
Sawusan nangkil ring Lumajang, taler nyakupang tanga kalih ring Pura Segara Rupek.

Tirthayatra ke Senduro Agung Semeru

Semeru Agung
Ring Pura Semeru Agung, makasami Prthisentana Pasek Gelgel Sawangan pemekas trah Kaki Djelantik lan Kaki Bongol ngaturang bhakti ring Ida Bhetara Sasuhunan.

Tirthayatra ke Blambangan

Blambangan
Prthisentana Pasek Gelgel Sawangan ring sajeroning pacang nangkil ring Ida Bhetara Lingsir sane malinggih ring Semeru Agung Senduro Lumajang, nenten taler lali nangkil ring Ida Bethara ring Blambangan.

Tirthayatra ke Alas Purwo

Alas purwo


Inggih ida dane para jana lan sujana sami sane oneng ngwacen tur magendu wirasa, puniki aturang tityang lampah prthisentana Pasek Gelgel Sawangan ring sajroning ngaturang bhakti ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tuesday, March 13, 2007

SILSILAH PASEK GELGEL SAWANGAN


KETIKA ALAM MASIH KOSONG
SAMPAI TRI LINGGA TURUN KE BALI



Om Swastyastu,
Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah,
Para pembaca yang budiman, sebelum saya mulai menghaturkan jalannya ceritera Betara Kasuhun Pasek Gelgel Pesawangan di Sawangan, khususnya leluhur kami (“Kaki Bongol dan Kaki Djelantik”), marilah kita heningkan pikiran sejenak, menghormat Kehadapan Betara Iswara, Betara Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya, Hyang Dewi Danuh, Betara Mpu Gni Jaya apriyangan di Lempuyang Madya, Betara Mpu Ghana apriyangan di Dasar Bhuwana, Betara Mpu Semeru apriyangan di Besakih, Betara Mpu Kuturan apriyangan di Silayukti dan Sang Hyang Aji Saraswati.
Memohon semoga Betara-Betari, asung lugraha dan asung kertha wara nugraha, kepada kita sapretisentananya, yang ingin mengetahui adanya Betara-Betari di Bali khususnya di Sawangan.
Sekali lagi, damuh Paduka Betara-Betari (Penulis), dengan hati yang penuh kesucian, mohon agung pangampura kehadapan Paduka Betara, karena damuh Paduka Betara-Betari berani (langgana) mengisahkan dan menyebut-nyebut nama-nama Paduka Betara-Betari, yang tiada lain karena tujuan suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, agar para damuh Paduka Betara-Betari, sama mengenal Paduka Betara-Betari.

‘Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaráken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh…………’. (Leluhur Orang Bali, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, hal. 1).

Artinya :
‘Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang. Sebab hamba menuturkan prihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran Leluhur, yang seterusnya dijunjung oleh turunan………’.
Semoga setelah sama mengenal Betara-Betari, akan segera ingat kembali kepada sumbernya, timbul suatu hasrat suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, setia mengemban lingning Bhisama, demikian juga setia mengemban Kahyangan dan selalu ingat kepada Pamujawalinya.
Selanjutnya, sebelum saya haturkan kisah Pasek Gelgel Sawangan Pratisentana Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, terlebih dahulu akan saya haturkan sedikit tentang turunnya Tri Lingga di Bali.
Seperti terungkap dalam Babad Pasek bahwa pada jaman bahari tahun Çaka 11 (tahun 89 M), Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, yang mengakibatkan rusaknya Nusa Bali. Hyang Harimbawa sangat mudahnya menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang (Lombok). Pasca bencana alam tersebut, di Bali hanya masih tersisa 4 gunung (Catur Loka Pala) yaitu di Timur Gunung Lempuyang, di sebelah Barat Gunung Watukaru, di sebelah Selatan Gunung Andakasa, dan di sebelah Utara Gunung Beratan. Karena demikian rusaknya Nusa Bali, maka Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru, sangat prihatin melihatnya, maka Hyang Pasupati berkenan membongkar sebagian di bagian barat dari lereng Gunung Semeru, untuk dipindahkan ke Bali dan Seleparang (Lombok).
Perintah Hyang Pasupati ; Ki Bedawang Nala diperintahkan sebagai dasar Gunung yang akan dipindahkan, Sang Naga Basukih dan Sang Ananta Boga menjadi tali pengikat, Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, lanjut diturunkan di Bali dan Seleparang, pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis, wara Merakih, panglong ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Çaka 11 (Bulan Agustus 89 M). Ketika membawa potongan gunung itu ada bagian-bagian yang tercecer. Bagian yang kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur terletak di Kintamani, Bangli) sedangkan bagian yang lebih besar menjadi Gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di daerah Karangasem. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, mulai saat itulah awal mula Nusa Bali. Setelah terwujud kesemuanya itu, Hyang Pasupati di Gunung Semeru memanggil semua putra-putranya, setelah sama-sama berada di hadapan Hyang Pasupati, sabda Betara Kasuhun :
“ Wahai anakku bertiga, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, tidak lain anakku bertiga kusuruh pergi ke Bali, membangun kembali Nusa Bali dan nantinya anakku bertiga menjadi pujaan orang Bali”.
Betara Tiga menghaturkan sembah, serta haturnya : “Paduka Betara, hamba ini masih kanak-kanak, tidak tahu jalan menuju Nusa Bali dan belum sanggup memelihara Nusa Bali”.
Sabda Hyang Pasupati: “Anakku bertiga, jangan kamu bersusah hati aku akan memberi engkau bertiga wahyu, supaya kehendakmu semua tercapai, kamu bertiga adalah anakku tercinta, wajib nanti menjadi pujaan orang-orang Bali, sampai akhir jaman”.
Hyang Pasupati beryoga, memberikan anugrah kepada anaknya bertiga, segera juga Betara bertiga menghaturkan sembah penghormatan kehadapan Hyang Pasupati. Betapa ramainya suara genta pemberkatan dan suara genta penghormatan dari Betara bertiga (Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh) kehadapan Hyang Pasupati. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Setelah Betara bertiga diberkati, segera digaibkan ke dalam seludang kelapa gading, dikirim/berjalan melalui dasar laut dan bumi. Demikian cepatnya, Betara bertiga telah sampai di Puncak Gunung Tohlangkir (Agung), pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, sasih Kelima, Penanggal ping 3, rah tenggek 13 (Bulan November) tahun Çaka 113 (191 M), Gunung Agung meletus sangat hebatnya, api menyembur keluar dari lubang kepundan Gunung Agung, gempa, kilat berkesinambungan tiada putus-putusnya. Ditambah pula dengan suara dentuman-dentuman letusan, hujan sangat lebatnya, lahar mengalir ke seluruh penjuru, kejadian ini berlangsung sampai dua bulan lamanya. Demikian suatu pertanda kehadiran Batara bertiga di Nusa Bali.
Tidak beselang lama, entah beberapa tahun kemudian, Betara bertiga sama-sama membagi tugas: Hyang Agni Jaya yang menjalankan tugas Kependetaan, ngemban Betara Iswara di Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang luhur, Hyang Putra Jaya, yang mengemban tugas Kepemerintahan, apryangan di Gunung Agung (Tohlangkir), Hyang Dewi Danuh yang mengemban tugas Kemakmuran apryangan di Ulundanu Batur.
Hyang Pasupati di Gunung Semeru, mengutus lagi Putra Putrinya datang ke Bali, memperkuat kedudukan Betara bertiga, masing-masing yaitu : Hyang Tugu, Hyang Manik Gayang, Hyang Manik Gumawang dan Hyang Tumuwuh. Setibanya di Bali langsung menghadap Hyang Putra Jaya di Gunung Agung – Puncak Tohlangkir. Gunung Agung meletus pada waktu Sang Catur Purusa tiba di Bali. Setelah selesai penghadapan kehadapan Betara Tiga, Sang Catur Purusa ditugaskan:

1. Hyang Tugu ditugaskan apryangan di Gunung Andakasa.
2. Hyang Manik Gayang ditugaskan apryangan di Pejeng.
3. Hyang Manik Gumawang ditugaskan apryangan di Gunung Beratan.
4. Hyang Tumuwuh ditugaskan apryangan di Gunung Watukaru.

Demikianlah taatnya Sapta Dewata-Dewati menjalankan swadharmanya masing-masing, mulailah tenang keadaan Nusa Bali, Sang Harimbawa tidak dapat lagi menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang.
Pada suatu hari yang sangat baik, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati, sama berkumpul pada suatu tempat yang suci di kaki Gunung Agung, berbincang-bincang. Adapun yang diperbincangkan tiada lain mengenai keadaan Nusa Bali, yang masih sunyi senyap. Bertalian dengan hal-hal tersebut diatas, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati mengambil suatu keputusan, untuk menghadap kehadapan Hyang Pasupati ke Gunung Semeru. Tiada diceritakan hal-hal yang terjadi dalam perjalanan, karena telah sama-sama berbadan suci, begitu pergi begitu pula sampai di tempat tujuan. Segera saja menghadap Hyang Pasupati, dengan tata cara kedewataan, Hyang Maha Suci. Melihat Putra-Putrinya datang, memperkenankan mereka sama duduk lalu bersabda : “Wahai Putra-Putriku tercinta, apa gerangan tujuan anakku menghadap ayahanda”. Matur Betara-Betari semua, sambil mengucapkan mantra sucinya, sebagai dasar penghormatan kehadapan Hyang Pasupati : “Betara, anaknda datang menghadap ini, perlu menyampaikan adanya Nusa Bali yang sangat kosong, tiada seorang manusiapun yang menyungsung anaknda. Kiranya patut, hanugrahilah anaknda manusia ke Bali, untuk turut mengemban Nusa Bali dan menyungsung anaknda di Bali”.
Sabda Hyang Pasupati yang disertai dengan mantra sucinya: “Anakku semua, terimalah anugrahku, segala kehendak anaknda akan berhasil, tunggulah ayah di Nusa Bali”.
Betara Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, menghormat menghaturkan puja kedamaian, bergema suara genta, bagaikan kumbang mengisap sari, lalu semuanya mohon diri pulang ke Bali. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Sapta Dewata-Dewati, semua sudah sama berbadan suci, begitu pamitan begitu pula sampai di Bali, serta langsung menuju Parhyangan masing-masing. Tiada beselang lama, di Gunung Semeru, Hyang Pasupati/ Hyang Premesti Guru menyusul turun ke Bali, diiringi oleh Dewata-Dewati, Rsi Gana dan Dewata Nawa Sanga, semua pergi ke Bali.
Betara Parameswara mempergunakan Padma Manik Anglayang diapit payung dan umbul-umbul, bergema suaranya genta serta doa puji-pujian, hujan kembang dari angkasa. Sedangkan Betara yang lain berbeda-beda kendaraannya, semua gembira mengiringi Hyang Pasupati. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Sedemikian cepatnya rombongan telah sampai di Bali/Puncak Tohlangkir, segera disambut oleh Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, dengan tata cara kependetaan, ramai suara genta penyambutan.
Sabda Hyang Pasupati, setelah upacara penyambutan selesai : “Wahai anak-anakku semua, marilah kita sekarang pergi ke Ulundanu ke Kahyangan Dewi Danuh, disana kita semua beryoga semadhi, agar segera tercipta manusia yang anaknda cita-citakan”. Setelah bersabda lalu berangkat ke Ulundanu, begitu cepatnya akhirnya sampai di Kahyangan Hyang Dewi Danuh. Setelah selesai upacara penyambutan oleh Hyang Dewi Danuh, akhirnya semua Dewata-Dewati mencari suatu tempat yang suci, disana sama beryoga dengan sangat tekunnya, dihadapan api pedipaan, dengan harapan segera tercipta manusia.
Hyang Basundari (Tanah) diambil diyogai agar menjelma menjadi manusia. Tiba-tiba datang Betara Yamadipati, berwujud anjing hitam, tidak hentinya mengganggu yoga Betara Kabeh seraya berkata: “Betara-Betari, sekarang Betara berkehendak menciptakan manusia dari tanah, saya sangat sangsi, mustahil tanah itu akan menjadi manusia, saya akan bersumpah; saya akan sanggup memakan kotoran manusia itu bila tanah itu dapat menjadi manusia”.
Betara bersabda : “Apa katamu anjing, besar sekali kesanggupanmu kepadaku, sekarang dengarlah kataku baik-baik, bila aku tidak dapat menciptakan manusia, aku bukanlah kepala dari semua Dewa-Dewa. Patut aku ditenggelamkan ke dalam kotoran anjing”, terlalu sengit perdebatan itu.
Kemudian Betara beryoga, dengan tekunnya mempersatukan kekuatan bhatinnya, berkobar api dalam pemujaan, menjulang asapnya ke angkasa. Akhirnya setelah tercipta manusia, tiba-tiba manusia itu rusak, disaat itu, anjing hitam itu menggonggong; kong….kong…..kong suaranya. Kembali Betara beryoga, rusak lagi ciptaanya, anjingpun menggonggong lagi, hal ini terjadi sampai berulang-ulang, namun belum berhasil menciptakan manusia. Dewata-Dewati karena dikalahkan anjing, kembali beryoga dengan berbadankan Tri Loka, berkobar api pedipaan, Nusa Bali jadi bergetar, Sang Hyang Amerta keluar segera saja tercipta manusia ciptaan itu.
Betara Premesti Guru bersabda: “Hai anjing, sekarang kamu benar-benar telah kalah, ingatlah sumpahmu itu, mulai sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia”. Betapa malunya anjing itu menerima kutukan Betara, dia tiada menjawab apa-apa, kembali pulang dengan hati yang sangat sedih, menyesali akan perbuatannya, kembali berubah wujud menjadi Yamadipati, kembali pulang ke Yama Loka. Begitu tiba di Yama Loka, lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, terutama kepada Ki Buta Kalika, katanya : “Hai Kalika dan para Kingkara Bala semua, kamu akan kuperintah turun ke dunia, menggantikan aku memakan kotoran manusia, turun-temurun, apa sebab demikian adalah karena aku kalah bertaruhan dengan Hyang Pasupati. Terimalah perintahku, gantilah diriku menjadi anjing, kelak apabila manusia telah meninggal, pada saat itu engkau bersama saudara-saudaramu menyiksa roh manusia yang berbuat jahat”. Demikian sabda Hyang Yamadipati, seluruh Kingkara Bala menunduk sambil berpikir, handainya menolak titah Betara Yamadipati itu, tentu akan dimusnahkan. Ki Buta kalika dan Kingkara Bala dengan sedih menuruti perintah Hyang Yamadipati.
Kembali kepada yoga Betara Ghuru, dalam menciptakan manusia dari serabut kelapa gading lahirlah dua orang manusia laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Ktokpita dan yang perempuan Ni Jnar. Kemudian mereka dikawinkan, berbahagialah perkawinan mereka, sangat baik suami istri, karena kehendak Dewata. Perkawinan mana menurunkan keturunan tidak putus-putusnya, laki atau perempuan. Selanjutnya Betara Kasuhun, beryoga kembali menciptakan manusia, akhirnya tercipta dua orang laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Abang dan yang perempuan diberi nana Ni Barak. Setelah mereka sama dewasa, lalu dikawinkan, lanjut menurunkan anak laki-perempuan. Banyaklah sudah manusia-manusia laki-perempuan ciptaan Betara di Bali, anak beranak kelanjutannya, yang terbanyak tinggal di Gunung Batur.
Hyang Premesti Ghuru, memerintahkan para Dewata-Dewati, agar sama turun ke Bali, mengajar apa-apa yang patut dilaksanakan manusia, lebih-lebih dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia-manusia itu mulai merasa lapar, dahaga, kedinginan, maka mulailah mereka diajar bercocok tanam, bersawah, atau berladang. Daerah Danau Baturlah yang menjadi pusat pertanian yang kepertama, bagi orang-orang ciptaan Dewata di Nusa Bali. Karena Hyang Dewi Danuh memegang kekuasaan di bidang kemakmuran.
Ramailah sekarang orang-orang menyungsung Hyang Dewi Danuh di Ulun Danu Batur. Sedemikian cepatnya perkembangan orang-orang di Nusa Bali, terpencar menyungsung Dewata-Dewati Putra-Putri Hyang Pasupati.
Kembali kepada Ki Abang dan Ni Barak yang sudah berumah tangga, mereka suami istri pindah ke tepi Danau, karena tempat itu cocok untuk bercocok tanam, Ki Abang mempunyai lima orang anak; empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Lama-lama tempat Ki Abang disebut Desa Abang. Tentramlah keadaan Nusa bali, Sapta Dewata Dewati sangat tekunnya menjalankan swadharmanya masing-masing, demi keselamatan Nusa Bali.
Manusia tidak putus-putusnya mempunyai keturunan, saling ambil keambil tehadap misan mindon. Adapun mata manusia pada saat itu adalah semua hitam, serta dapat melihat dan berbicara dengan Dewa-Dewa. Para Dewata tetap menuntun manusia-manusia, bercocok tanam, bersawah, berkebun dan menanam segala keperluan hidupnya. Tidak terkatakan subur tanam-tanamannya itu, hingga pada suatu senja, tatkala Betara Kasuhun sedang berjalan-jalan, melihat perkampungan orang-orang ciptaannya, demikian juga sawah ladangnya, terutama mengenai hasil pertanian mereka.
Kemudian Betara dilihat oleh orang-orang, dengan segera mereka matur dengan sangat hormatnya, diantaranya matur “Betara hendak pergi kemana, sekarang”; Betara bersabda : “Aku hendak berjalan-jalan melihat-lihat tanam-tanaman dan pertanianmu”. Seorang diantara mereka matur lagi; “Bila demikian Paduka Betara, hamba akan mempersembahkan hasil pertanian hamba, yang paduka Betara kehendaki”, Betara berdiam tiada bersabda apa-apa. Percakapan itu didengar oleh Ki Baluan, betapa marahnya Ki Baluan melihat manusia matur kehadapan Betara sambil buang air. Ki Baluan berkata dengan marahnya kepada manusia itu, katanya; “Ih kamu manusia, yang rendah budi, tidak tahu peraturan, matur kehadapan Betara sambil buang air, pantaslah kamu penjelmaan berasal dari tanah di kepal-kepal”. Manusia itu menjawab dengan kemarahan juga, katanya ; “Apa Baluan, terlalu kata-katamu, mengungkapkan asal-usulku, sungguh kamu juga sangat hina, pura-pura tahu tatwa sesana, tidak menyadari juga asal-usulmu dari kumatat-kumitit. Iri padaku pura-pura saleh, lihatlah Betara tidak merasa tersinggung kepadaku”. Balik Ki Baluan berkata : “Engkau manusia yang sangat dungu, hina rupa hina pikiran, semoga kamu menjadi orang desa seterusnya atas dosamu merendahkan Dewa”, demikian keluar kata-kata Ki Baluan, karena panas hatinya.
Oleh karena peristiwa tersebut, Betara memanggil manusia semua, setibanya di penghadapan mereka diperintahkan menengadah dan mendelik matanya, Betara segera menoreh matanya dengan Kapur disertai kutukan, bahwa mulai saat ini manusia tidak dapat melihat para Dewa lagi sampai seterusnya, karena dosanya matur sambil buang air. Demikian kutukan Betara kepada manusia.
Sabda Betara : “Ini ada anugrahku kepadamu, seandainya kamu berkehendak menemuiku, kamu akan dapat bertemu denganku, apabila ajalmu telah sampai”. Begitulah sabda Hyang Parama Wisesa. Semua hadirin menyembah Paduka Betara dan seterusnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang sangat sedih. Demikianlah asal mula manusia tidak dapat melihat Para Dewa. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ki Baluan. Manusia itu berkata kepada Ki Baluan, katanya: “Hai kamu Baluan, kebetulan kita bertemu lagi, aku bersumpah padamu, bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akan menjadi musuhmu, kelak keturunanku akan membunuh keturunanmu terus menerus”. Menjawab Ki Baluan; “Aku tidak menolak apa kata-katamu, tetapi ada pula sumpahku padamu. Pada waktu kajeng kliwon, waktu itu keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan jalam menjilat mata kaki dan hulu hatinya sampai keturunanmu menemui ajalnya. Baiklah, hal ini kita akan sampaikan kepada turunan masing-masing”. Ki Baluan mohon anugrah Dewata, agar badannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan tempatnya, untuk mengelabui kejelasan pandangan manusia.


LAHIRNYA SANG PANCA TIRTHA


Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Bali yang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :

1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)

Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati.

MPU SEMERU
Mpu Semeru mohon ijin untuk pulang ke Bali, menghormat dengan tata cara kependetaan kehadapan Hyang Pasupati dan segera berangkat menuju Nusa Bali, pada tahun Çaka 921 (th 999 M). Beliau menganut sekte Siva. Mpu Semeru segera tiba di Kuntulgading terus melalui Tulukbiu, menuju Besakih, tepatnya pada hari Sukra (Jumat) Kliwon wara Julungwangi, bulan Purnama Raya, sasih Kawulu. Selanjutnya Mpu Semeru, ditugaskan di Besakih mengemban Pura Penataran Agung bersama Tri Warga lainnya yaitu : Pande, Sagening dan Penyarikan. Entah berapa tahun kemudian, Mpu Semeru membangun tempat pemujaan yang disebut Parhyangan, tempat melakukan yoga semadhi. Parhyangan tersebut diplaspas/katuran Karya Agung Pengenteg Linggihnya pada hari Soma (Senin) Umanis, wara Tolu, dipuput oleh Mpu Gni Jaya dan Mpu Withadharma. Parhyangan Mpu Semeru tersebut, sekarang dikenal dengan sebutan Pura Ratu Pasek Besakih (Catur Lawa). Pada suatu hari yang baik, Mpu Semeru akan menghadap Hyang Dewi Danuh ke Ulundanu Batur melewati Tampurhyang. Setibanya di Tampurhyang, beliau berhenti dan beristirahat di tepi Danau Batur, Mpu Semeru tertarik akan kejernihan air danau tersebut, lalu beliau mandi dan lanjut mengadakan yoga semadhi, memuja kehadapan Hyang Dewi Danuh. Setelah itu segera berangkat, dalam perjalanan terlihat olehnya tuwed kayu asem, yang sangat bagus, karena dibuat oleh Dewata. Takdir telah mengatur sedemikian rupa, segera Mpu Semeru beryoga mempersatukan keahliannya, dengan segera saja tuwed kayu tersebut menjadi manusia. Terpukau manusia ciptaan itu, tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Segera saja manusia itu menyerahkan diri kehadapan Mpu Semeru, sang Maha Rsipun bersabda; “Wahai manusia apa ada keperluanmu”, manusia itupun matur; “Siapakah yang telah menaruh belas kasihan terhadap hamba ini, menjadikan hamba manusia”. Sang Maha Rsipun menjawab; “Akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”, manusia itupun menelungkup menyembah, memeluk kaki Sang Maha Rsi, seraya matur; “Siapakah sebenarnya Maha Rsi ini”, Mpu Semeru menjawab; “Aku adalah putra Hyang Agni Jaya dari Gunung Lempuyang, aku bernama Mpu Semeru”. Manusia itupun segera lagi menyembah dan matur kehadapan Mpu Semeru: “Maha Rsi, apakah yang hamba pakai membayar hutang hamba kehadapan Maha Rsi, sekarang tuluskanlah paswecan Maha Rsi kepada hamba, bersihkanlah segera kotoran diri hamba, sehingga menjadi bersih untuk seterusnya”. Anugrah Mpu Semeru kepada Si Kayureka, karena di Bali belum ada/kekurangan sulinggih, Si Kayureka diperkenankan menjadi penuntun orang-orang Bali Mula, yang berpusat di Tampurhyang. Si Kayureka diperkenankan menjadi Bujangga selama tiga turunan dan bernama Mpu Kamareka (Mpu Bendesa Dryakah). Ada amanat Mpu Semeru kepada Mpu Kamareka; “Ada keturunanku yang lahir dari Mpu Gni Jaya, yang apryangan di Lempuyang Madya, keturunanmu harus tetap berada di sebelah kiri keturunanku. Demikian juga pada waktu meninggalnya, keturunanmu harus menyembah keturunanku, sebab engkau aguru putra padaku”. Mpu Kamareka sangat tekunnya menjalankan swadharmanya di Tampurhyang. Mpu Kamareka menurunkan Pasek Kayuselem Tampurhyang, turun binurun wredisentana. Di Kayuselem, ada juga Pasek Kayuselem keturunan dari Pasek Bajra ireng tusning Mpu Gni Jaya (kakak dari Mpu Semeru). Entah beberapa tahun kemudian, datang pula ke Bali orang-orang pengiring Rsi Markandeya, yang berasal dari India, yang menyebarkan Agama Hindu pertama di Bali. Beliaulah yang menurunkan Orang Aga dan Bali Mula yang disebut Bujangga Waisnawa. Ramailah sekarang orang-orang yang menyungsung Betara-Betari di Bali. Terus ambil keambil, sama-sama wredisentana.

MPU GANA
Mpu Gana ke Bali tahun Çaka 922 (th 1000 M), setibanya di Bali langsung menghadap Betara Tiga, lanjut Mpu Gana ditugaskan di Gelgel Dasar Bhuana.

MPU KUTURAN
Mpu Kuturan menyusul saudaranya turun ke Bali tahun Çaka 923 (th 1001 M), berperahu daun kapu-kapu dan berbidakkan daun bende, turun di Pantai Padang. Demikian bunyi Prasasti yang menyebutkan Pemargin Mpu Kuturan ke Bali :
“Kunang sira Mpu Kuturan turun wentening Bali, apadawu witning kapu-kapu, abidak rwaning benda, turun maring kakisiking Bali ring Padang, kala diwe udha siwa wara Pahang, titi sukla paksa madu, sirsa caksu, I sakyem gni suku babahan udani dita 923, neher winangunaken Parhyangan Silayukti, ayoga swala Brahmacari”.
Mpu Kuturan turun ke Bali terdorong oleh beberapa faktor yaitu :

1. Memenuhi undangan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, yang memerlukan
keahlian beliau di bidang Agama.
2. Karena ada pertentangan sedikit dengan istrinya (Walu Nateng Dirah/Rangdeng Dirah) yang
menganut aliran Bhairawa (Tantrayana Buddha Kalacakra), sedangkan Mpu Kuturan
menganut aliran Buddha Mahayana (Sekte Tantrayana Kanan).
3. Karena melihat adanya tanda-tanda perpecahan Kerajaan Deha, Mpu Kuturan sebagai
Bhiksuka, lebih mengutamakan ajaran dharma dari kepentingan pribadi. Kesempatan yang
baik ini dipergunakannya untuk merantau ke Bali, menjalankan swadharmanya,
menghajarkan agama.
Dyah Ratna Manggali (Putri Mpu Kuturan) di kawini oleh sepupunya (Mpu Bahula) yang menurunkan Brahmana di Bali. Inilah sebenarnya kawitan bagi Brahmana keturunan Mpu Beradah.
Kembali kepada Mpu Kuturan, setibanya di Padang (Silayukti), entah berapa hari berselang, Mpu Kuturan menghadap kakaknya ke Besakih, yang suatu kebetulan Betara Tiga sedang di Besakih. Betapa gembiranya, lama berpisah, akhirnya bertemu dengan tiada terduga-duga. Mpu Kuturan ke Bali tiada dengan keluarganya. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Akhirnya Mpu Kuturan, ditugaskan selaku Pemimpin Agama di Padang, karena telah menetapnya Mpu Kuturan di Padang, beliaupun membangun Parhyangan sebagai tempat melakukan yoga semadhi, di Padang, yang lebih dikenal dengan nama Silayukti. Rakyat Padang sangat bakti kepada Mpu Kuturan.
Peranan Mpu Kuturan di Bali, selain sebagai senapati di dalam pemerintahan maupun sebagai Guru Besar Agama Siva dan Buddha, di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali. Mpu Kuturan mengabdikan dirinya pada pemerintahan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, Raja suami istri yang berkuasa pada waktu itu. Baginda Raja berasal dari Jawa Timur sedangkan suaminya Udayana Warmadewa adalah keturunan Raja Bali.
Mpu Kuturan yang selalu mendampingi Raja, beliau didudukkan sebagai Ketua Majelis Pekira Kiran Ijro Makabehan (Dewan Penasehat yang beraggotakan seluruh senapati, para Pandita Dangacaryya dan Dangupadhyaya (Siva dan Buddha)). Suatu kesempatan bagi Mpu Kuturan, untuk mengikatkan pengabdiannya kepada masyarakat Bali.
Mpu Kuturan ingin menyelami hati para pemimpin masyarakat Bali, agar dapat menyusun dasar yang kuat bagi tata cara kemasyarakatan yang sebaik mungkin. Mpu Kuturan mengadakan pertemuan besar keagamaan, yang bertempat di Bataanyar, Daerah Kabupaten Gianyar (Samuan Tiga), yang dihadiri oleh Para Tokoh Agama, Pendeta Siva Buddha dan Kepala Sekte Agama. Didalam pertemuan, masing-masing utusan dapat mengeluarkan buah pikiran dengan bebas. Demikian Mpu Kuturan, mempergunakan kesempatan ini untuk memberikan prasaran yang panjang lebar, yang akhirnya prasaran tersebut disambut baik oleh semua tokoh masyarakat. Maka paham Mpu Kuturan yaitu paham Tri Murti, yang paling cocok dijadikan pegangan hidup Masyarakat Bali Hindu, agama yang akan diterapkan adalah Agama Siva dan Buddha, berpusat di Kahyangan Besakih. Untuk membuktikan diterimanya paham Mpu Kuturan, maka setiap Desa Adat, dibangun Kahyangan Tiga yaitu : Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Desa/Bale Agung, tempat memuja Tri Murti. Pada setiap rumah tangga juga diharuskan membangun suatu bangunan suci (Sanggah) yang beruang tiga (Rong Telu/Kemulan), tempat memuja Tri Murti. Demikian cara Mpu Kuturan meletakkan dasar keagamaan, bagi masyarakat Bali, yang mana perlu kita pahami dan kita terapkan secara turun temurun. Usaha Mpu Kuturan didalam mengatur dan membina maasyarakat Bali terjadi kurang lebih tahun 1001 Masehi, hingga sekarang ajaran Mpu Kuturan, masih tetap menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat Bali seperti adanya Awig-awig Desa dan Awig-awig Subak, dll.
Pada jaman Pemerintahan Prabhu Airlangga, manakala putra-putranya telah sama dewasa, maka Prabhu Airlangga mengirim utusan ke Bali yang dipimpin oleh Mpu Bradah, menghadap kakaknya ke Silayukti yaitu Mpu Kuturan. Mpu Bradah selaku pemimpin utusan menyampaikan maksud dari Prabhu Airlangga, yang mana agar salah seorang putranya dapat didudukkan menjadi Raja Bali. Permohonan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan penjelasan bahwa rakyat Bali menginginkan kepemimpinan di Bali berada ditangan Warmmadewa. Dalam hal ini Mpu Kuturan telah mempunyai calon yaitu Çri Anak Wungsu, putra bungsu dari Guna Prya Dharma Patni (adik kandung Çri Airlangga). Mpu Bradah merasa gagal tujuannya, beliaupun mekolem/membuat pekoleman di luar Parhyangan Silayukti. Tempat pekoleman tersebut, sekarang bernama Pura Tanjung Sari, tempat penghayatan Mpu Bradah.

MPU GNI JAYA
Mpu Gni Jaya yang masih tinggal di Gunung Semeru, telah mempunyai tujuh orang putra, dari perkawinannya dengan sepupunya Betari Manik Gni. Adapun nama ketujuh putra beliau tersebut antara lain:

1. Mpu Ketek
2. Mpu Kananda
3. Mpu Wiradnyana
4. Mpu Withadharma
5. Mpu Ragarunting
6. Mpu Prateka
7. Mpu Dangka

Ketujuh Mpu inilah yang menurunkan Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa. Kembali kepada Mpu Gni Jaya, karena beliau akan segera ke Bali, maka Mpu Gni Jaya menasehati adiknya Mpu Bradah dan putra-putranya, demikian sabdanya: “Adikku Mpu Bradah dan anak-anakku semua, saya akan segera meninggalkan adik dan anak-anak, akan kembali ke Bali, menghadap Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh, sebab telah sekian lama tidak pernah menghadap Betara-Betari di Nusa Bali. Ini adalah amanatku kepadamu semua, yang kamu harus tetap hormati nanti bila aku telah sampai dan wafat di Bali, sembahlah aku olehmu dan keturunan-keturunanmu sampai akhir jaman. Ingat sekali jangan melupakan Petirtayan Hyang Putra Jaya di Besakih, pada hari Purnamaning Kapat, harus anak cucu dan turunan-turunanmu, menghaturkan Pujawali, demikian harus diingat jangan lupa”.
Mpu Gni Jaya segera berangkat pergi ke Bali, pada hari Wraspati (Kamis) Kliwon, sasih Kedasa menuju adiknya di Padang (Silayukti). Banyaklah hal-hal yang terjadi pada saat itu. Begitu Mpu Gni Jaya tiba di padang. Mpu Kuturan melihat kakaknya datang, segera saja menjemput kakaknya, dengan sangat hormatnya menyembah Mpu Gni Jaya dengan tata cara kependetaan. Mpu Gana mendengar khabar kakaknya datang, segera saja pergi menghadap ke Padang (Silayukti). Betapa gembiranya pertemuan waktu itu. Esoknya, Sukra, Umanis sasih Kedasa Mpu Gni Jaya, Mpu Kuturan dan Mpu Gana menuju ke Gelgel, di Gelgel hanya sebentar saja, langsung menuju Besakih. Karena telah sama-sama berbadan suci, sebentar saja telah sampai di Besakih, langsung menuju ke Parhyangan Mpu Semeru. Mpu Semeru melihat kakak dan adik-adiknya datang, betapa gembiranya, segera menyambut sang baru datang, maklumlah kedatangannya tak terduga-duga. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Entah beberapa lama di Besakih, demikian juga telah sama-sama dapat menghadap Betara Tiga, yang kebetulan ada di Besakih. Mpu Gni Jaya ditugaskan Apryangan di Lempuyang Madya. Oleh karena keluarga Mpu Gni Jaya masih berada di Jawa, maka beliaupun Ngejawa-Ngebali, lama-lama Mpu Gni Jaya membuat Parhyangan di Lempuyang Madya, tempat menuju dan melakukan yoga semadhi. Sekarang Parhyangan Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan Mpu Gana dikenal dengan Catur Parhyangan. Demikianlah halnya Mpu Gni Jaya turun ke Bali setelah selesai memperdalam ilmu kependetaan di Gunung Semeru (Di lingkungan Pura Mandara Giri Semeru Agung –Senduro Agung, Jawa Timur).

MPU BRADAH
Mpu Bradah adalah putra Hyang Agni Jaya yang ke-5 tinggal di Jawa, menjadi Bhagawanta Kerajaan Deha. Beliau mempunyai 2 orang putra putri, yang laki bernama Mpu Bahula, istrinya bernama Dyah Ratna Manggali, masih sepupu (Putri dari Mpu Kuturan). Mpu Bahula juga menjadi Bhagawanta kerajaan Deha menggantikan ayahnya, mempunyai dua orang putra dan empat orang putri, yang laki bernama :

1. Mpu Tantular, pengarang Sutasoma
2. Mpu Siwa Bandu, setri Betari Giri Dewi, juga menjadi Bhagawanta di Kerajaan Deha

Mpu Tantular mempunyai 5 orang putra, masing-masing bernama:
1. Danghyang Panawasikan
2. Danghyang Sidimantra (Mpu Bekung)
3. Danghyang Semaranata
4. Danghyang Kepakisan
5. Mpu Siwa Raga.

Mpu Bekung (Danghyang Sidimantra) berputra sangkaning yoga, putra beliau bernama Ida Manik Angkeran. Ida Manik Angkeran berputra 3 orang, masing-masing bernama :

1. Ida Banyak Wide, menurunkan Arya Bang Pinatih
2. Ida Tulus Dewa, menurunkan Arya Bang Sidemen, seorang kumpi dari Ida Tulus Dewa
(Perempuan) kawin dengan Arya Dauh, menurunkan Arya Dauh
3. Danghyang Semaranata (Asmaranata) berputra 2 orang yaitu:

a. Mpu Angsoka, berputra seorang bernama Mpu Astapaka, menurunkan Brahmana Buddha di
Bali
b. Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun
1489 M, menurunkan :
- Brahmana Kemenuh wijiling setri – Deha
- Brahmana Manuaba wijiling setri – Pasuruhan
- Brahmana Keniten wijiling setri – Blambangan
- Brahmana Mas wijiling setri – Okan Bendesa Mas
- Brahmana Petapan wijiling setri – Pelayan Okan Bendesa Mas (Ni Brit dan Ni Petapan)

Putra Mpu Tantular yang ke-4 yang bernama Danghyang Kepakisan mempunyai seorang putra, bernama Sri Soma Kepakisan mempunyai putra 4 orang yaitu :

1. Dalem Wayan menjadi Dalem di Blambangan
2. Dalem Made menjadi Dalem di Pasuruhan
3. Dalem Nyoman Sukania menjadi Dalem di Sumbawa (Perempuan)
4. Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi Dalem di Bali, bekedudukan di Samprangan, ke Bali
tahun 1350 M berputra 5 orang ( Dalem Tarukan, A.A. Anom Sudira Pering):

a. Sri Agra Samprangan (Dalem Ile) menjadi Dalem Samprangan (hanya sebentar)
b. Dalem Tarukan menurunkan Warga Pulasari
c. Dalem Nyoman (tidak disebutkan namanya)
d. Dalem Ketut Nglesir diangkat menjadi Dalem Gelgel yang pertama tahun 1380 – 1460
Masehi.
e. Dalem Tegal Besung (beribu putri Arya Gajah Para)
Dalem Ketut Nglesir inilah yang menurunkan Dalem Klungkung.


MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI

Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :

MPU KETEK
Mpu Ketek berputra 2 orang yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya Kepasekan. Sanghyang Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu Pemacekan kemudian pergi ke Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang kedua adalah seorang putri bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan juga mempunyai 2 orang putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek. Mpu Pemacekan di Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu Jiwanatha dan Arya Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang yaitu Kyayi Pasek Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai putra Kyayi Agung Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi Agung Pasek Subadra dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan pada awal jaman Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra Pasek Subadra menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di Taman Bali Bangli. Dan yang terkecil adalah Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek Tohjiwa menjadi tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek Tanggun Titi, Pasek Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang Linggah, Pasek Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek Bantiran, Pasek Pupuan dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan Pasek Subrata Bale Agung, De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin. Dukuh Suladri di pesraman Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra yang menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh Sri Angga Tirtha Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerah Karangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.

MPU KANANDA
Mpu Kananda hanya berputra seorang yaitu Sang Kula Dewa, menjadi Pandhita dengan gelar Mpu Sweta Wijaya. Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu : Sang Kulputih yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun pegangan “Seha” atau “Anteban” buat para pemangku di Bali. Pustaka suci ini bernama “Sang Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan. Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani. Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali. Inilah yang menurunkan para Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan Mpu Kananda yang mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.
MPU WIRADNYANA
Mpu Wiradnyanapun berputra hanya seorang saja, yang bernama Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel, beliau berputra Mpu Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul Ametung sebelum akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan Tunggul Ametung, inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa berputra Arya Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan mempunyai putra yang diberi nama Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan Pasek Tatar di Bali. Pungkusan Pasek Tatar di Bali dengan keturunannya yaitu Pasek Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung, Pasek Bale Agung Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu Wiradnyana masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar, Pasek Telengan dan Pasek Pidpid.

MPU WITHADHARMA
Mpu Withadharma mempunyai putra seorang bernama Mpu Wiradharma. Mpu Wiradharma pergi ke Pasuruhan. Disana beliau berputra 3 orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Pastika dan Mpu Pananda. Mpu Pastika dan Mpu Pananda nyukla Brahmacari (tidak menikah seumur hidupnya) lalu pergi ke Bali. Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara. Beliau yang diminta oleh Patih Gajah Mada ke Bali untuk meperbaiki Parhyangan-Parhyangan di Bali agar orang-orang Bali Aga menjadi senang dan tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Beliau ke Bali diiringi oleh putra dan cucu-cucunya. Putra satu-satunya beliau yang sudah tua yaitu Ki Patih Ulung. Ki Patih Ulung beputra 2 orang yaitu Ki Bendesa Manik Mas dan Kyayi Gusti Smaranatha. Ki Bendesa Manik Mas menurunkan Kyayi Bendesa Mas sedangkan Kyayi Gusti Smaranatha berputra Ki Gusti Rare Angon yang selanjutnya beliau berputra Kyayi Agung Pasek Gelgel. Beliau menjabat sebagai Raja di Bali antara tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan datang ke Bali, didampingi oleh patihnya yaitu Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itu beliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.

MPU RAGARUNTING
Mpu Ragarunting adalah Mpu yang kelima dari Sanak Sapta Rsi. Beliau berputra satu orang bergelar Mpu Wira Runting atau nama lainnya Mpu Paramadaksa. Mpu Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di sana beliau berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu Wira Runting.
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.

MPU PRATEKA
Mpu Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut pula Mpu Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra Sang Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De Pasek Kubakal, ia kembali ke Bali dan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek Rendang, De Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh Blatungan. Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh Prateka Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan pungkusan Pasek Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek Dukuh Gamongan, Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.

MPU DANGKA
Sama halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit pratisentananya, beliau berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun pergi ke Pasuruhan kawin dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri yaitu : Sang Wira Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka juga kembali ke Bali, lalu menurunkan Ni Rudani, De Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Gaduh. De Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek Penida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah Ngukuhin berputra I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek Gaduh Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
LELUHUR KAKI BONGOL DAN KAKI DJELANTIK

Sebelum bertutur banyak tentang Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, ada baiknya kita kembali kepada leluhur beliau yaitu Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Sebelum bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel beliau bernama I Gusti Agung Pasek Gelgel. Pada saat para Arya selaku penguasa daerah tidak berhasil mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Bali, yang penduduknya mayoritas orang-orang Bali Aga, sehingga Bali berada dalam situasi tidak menentu. Atas prakarsa Ki Patih Ulung, lalu dikirimlah utusan dari Bali ke Majapahit untuk menghadap Raja. Perutusan ini langsung dipimpin oleh Ki Patih Ulung yang anggotanya terdiri dari sanak saudaranya, antara lain, I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, I Gusti Pasek Padang Subadra, I Gusti Bandesa dan lain-lainnya. Setelah diadakan pembicaraan dari hati ke hati, antara perutusan dari Bali dengan Raja Majapahit yang didampingi Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada dan para Manteri lainnya, Raja Majapahit memutuskan menyerahkan kekuasaan atas Pulau Bali kepada sanak saudaranya Ki Patih Ulung. Sebelum Raja Majapahit berhasil mengangkat seorang Adhipati untuk Bali, selama itu Ki Patih Ulung berkuasa.
Setelah perutusan tiba di Bali, segera diadakan pasamuan (rapat) antara sanak saudara Ki Patih Ulung dengan tokoh-tokoh orang Bali Aga. Di dalam pesamuan itu disepakati secara bulat mengangkat I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pimpinan pemerintahan diBali. Sebab itu pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 Masehi) I Gusti Agung Pasek Gelgel dinobatkan sebagai Raja di Bali berkedudukan di Gelgel dan bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Beliau berhasil meredam permusuhan antara orang-orang Bali Aga dengan para Arya dari Majapahit, dan akhirnya pada tahun Çaka 1272 (bulan Oktober 1350 Masehi), setelah Raja Majapahit secara terpusat melantik beberapa Adhipati. Dan akhirnya pucuk pimpinan pemerintahan di Bali berpindah dari tangan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada Çri Kresna Kepakisan (putra bungsu dari Çri Soma Kepakisan). Dengan pindahnya kekuasaan Kerajaan Gelgel dari tangan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada Çri Kresna Kepakisan maka berakhirlah pemerintahan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Demikianlah hal ikhwal mengapa I Gusti Agung Pasek Gelgel bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.
Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel menikahi tiga orang istri yaitu yang pertama Luh Madri, putri Kyayi Kayuselem, Istri yang kedua yaitu Ni Luh Tangkas Kori Agung putri I Gusti Pangeran Tangkas dan satu lagi istrinya berasal dari Desa Gelgel. Dari perkawinannya dengan Luh Madri menurunkan I Gusti Pasek Gelgel di Tampurhyang Batur, yang lama kelamaan Desa Tampurhyang berubah menjadi Songan. Akhirnya keturunan I Gusti Pasek Gelgel di Tampurhyang dikenal dengan sebutan I Gusti Pasek Gelgel Songan dan kemudian hanya memakai sebutan Pasek Gelgel Songan.
Dari istrinya yang bernama Ni Luh Tangkas Kori Agung yang menurunkan putra yaitu Pasek Pangeran Tangkas Kori Agung, Bandesa Tangkas Kori Agung, Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung dan Pasek Tangkas Kori Agung.
Dari Istri beliau (Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel) yang berasal dari Desa Gelgel, berputra 6 orang laki-laki dengan nama yang sama masing-masing adalah : I Gusti Pasek Gelgel Aan, I Gusti Pasek Gelgel Akah, I Gusti Pasek Gelgel Mandwang, I Gusti Pasek Gelgel Sangkanbhuwana, I Gusti Pasek Gelgel Bhudaga dan I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan.
Disini penulis tidak akan banyak bertutur tentang keberadaan ke-6 putra Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, kecuali I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan di Gelgel. I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan adalah leluhur langsung dari Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, oleh karenanya penulis akan mencoba mengupas sedikit tentang keberadaan I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan.
I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan mempunyai putra 11 orang, yang sulung bernama Ki Pasek Manik Mas De Gurun Pasek Gelgel, kemudian pindah ke Nusa Penida, yang kedua bernama Ki Pasek Gegel (Ki Gede Bendesa Gelgel) yang tetap tinggal di Gelgel, yang ketiga bernama Ki Bendesa Manik Mas juga tetap tinggal di Gegel, yang keempat bernama Ki Pasek Gelgel kemudian pindah ke Desa Depaha, Buleleng lalu dijuluki Ki Pasek Gelgel Depaha, yang kelima bernama Ki Pasek Gelgel yang pindah ke Desa Bebetin, Buleleng seterusnya dijuluki Ki Pasek Gegel Bebetin, yang keenam Ki Pasek Gegel, lalu pindah ke Desa Gobleg Buleleng, seterusnya dikenal dengan sebutan Ki Pasek Gelgel Gobleg. Yang ketujuh bernama Ki Pasek Gelgel yang kemudian pindah ke Desa Ababi , Karangasem, lalu disebut Ki Pasek Gelgel Ababi. Yang kedelapan bernama Ki Pasek Gelgel, yang kemudian pindah ke Banjar Muntig, Desa Kubu Karangasem, kemudian dijuluki Ki Pasek Gelgel Muntig. Yang kesembilan bernama Ki Pasek Gelgel, kemudian pindah ke Banjar Pasek Tista, lalu disebut Ki Pasek Gelgel Tista. Dan yang kesepuluh bernama Ki Pasek Gelgel, lalu pindah ke Banjar Batudawa Desa Kubu Karangasem, lalu dijuluki Ki Pasek Gelgel Batudawa. Sedangkan yang kesebelas Ki Pasek Gelgel, yang kemudian pindah ke Banjar Tulamben Desa Kubu Karangasem, seterusnya disebut Ki Pasek Gelgel Tulamben. Demikianlah putra I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan, dengan berbagai macam sebutan.
Pun dalam hal ini penulis dengan kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa hormat, mohon maaf kepada pembaca yang budiman, oleh karena belum bisa memastikan, siapa sesungguhnya yang menjadi leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik. Tetapi dalam hal ini penulis dapat memberi gambaran bahwa leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah :

1. Berdasarkan cerita penglingsir bahwa Rakryanta Patih Kompyang Romya disambut baik oleh
Arya Bang Pinatih (leluhur I Nyoman Reta) dan bahkan sangat disayang. Kesayangannya
tersebut ditafsirkan, oleh karena beliau merupakan keturunan Raja Bali sebelum Cri Aji
Kresna Kepakisan. Inipun dapat diperkuat dengan bukti bahwa posisi Pura Dalem Dasar yang
ada di Pura Pengastulan berada paling Ulon (hulu).
2. Selain saat beliau tiba di Sawangan ini, beliau juga merupakan salah satu orang yang
diprioritaskan oleh Jero Mekel di Bualu. Inipun dapat dipakai alasan yang kuat bahwa
Rakryanta Patih Kompyang Romya merupakan keturunan orang penting yang memegang
kekuasaan di Bali.
3. Dari nama-nama beliau antara lain : Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta
Patih Kompyang Romya, ini memberi gambaran kepada kita bahwa beliau bukan berasal dari
kalangan biasa. Dari nama mereka itu, sangat dimungkinkan bahwa mereka memegang
kedudukan penting dalam Kerajaan Gelgel (Swecalinggarsapura). Dari sini dapat
mengisyaratkan bahwa beliau tinggal di Desa Gelgel.
4. Berdasarkan Prasasti yang tersimpan di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan di Sawangan,
mengisyaratkan bahwa beliau berdua sebelum tinggal di Banjar Sawangan ini (Cedok
Langdukuh-red), beliau sempat tinggal di Desa Kuta seperginya (kesahnya) beliau dari Desa
Gelgel, Klungkung. Di dalam isi Prasasti tersebutpun menunjukkan bahwa beliau berdua
berasal dari Desa Gelgel.
5. Dari letak Pura Dadya Agung/Merajan Agung di Gelgel, tepatnya di Banjar Pegatepan, Gelgel,
sebelah timur Pura Dasar Bhuwana Gelgel dan konon tempat beliau bermukim (Mayasa
kerthi) sebelum akhirnya kesah ke Banjar Sawangan adalah di sebelah barat Pura Dasar
Bhuwana Gelgel (Bangunan Sekolah – sekarang). Ini juga menunjukkan bahwa leluhur Kaki
Bongol dan Kaki Djelantik adalah putra I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan yang tinggal di
Gelgel.
6. Oleh karena hanya satu Pura Dadya Agung/Merajan Agung, yaitu yang berada di Banjar
Pegatepan Desa Gelgel itu, maka beliau bukan keturunan dari putra I Gusti Pasek Gelgel di
Pegatepan yang pindah dari Gelgel, melainkan putra beliau yang tinggal di Gelgel.
7. Dari isi Prasasti yang ada di Pura Ibu Pasek Gelgel Pesawangan menyebutkan bahwa
Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya, keturunan dari
Pasek Gelgel dan bukan yang lain. Ini dapat memberikan gambaran bahwa beliau berdua
adalah keturunan dari Ki Pasek Gegel/Ki Gede Bendesa Gelgel.

Demikianlah beberapa alasan mengapa Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya disebutkan sebagai pratisentana dari I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan yang tinggal di Gelgel, yang tepatnya lagi adalah keturunan langsung dari Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel.
Sampai saat ini semua keturunan Ki Pasek Gelgel di Gelgel yang kesah ke Sawangan hanya memakai pungkusan I Wayan, I Made, I Nyoman, I Ketut untuk laki-laki atau Ni Wayan, Ni Made, Ni Nyoman dan Ni Ketut untuk yang perempuan.
Demikianlah penulis dapat menyimpulkan sebagai bahan untuk menggali mutiara yang hilang tersebut, walaupun masih belum dapat memastikan secara pasti siapakah sesungguhnya leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik. Tetapi dari uraian diatas dapat mengisyaratkan kebenaran dari leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel di Gelgel. Semoga pratisentana Kaki Bongol dan kaki Djelantik dapat menemukan mutiara yang hilang tersebut.
KAKI BONGOL DAN KAKI DJELANTIK

Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah cucu dari Rakryanta Patih Kompyang Romya.
Sebelum penulis bertutur panjang lebar tentang keberadaan Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, ada baiknya penulis akan mengajak kembali melihat perjalanan hidup Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya.

RAKRYANTA PATIH KOMPYANG MARUTHA
Rakryanta Patih Kompyang Marutha adalah keturunan Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel di Gelgel. Rakryanta Patih Kompyang Marutha bersama adiknya Rakryanta Patih Kompyang Romya yang sama-sama beristri pergi meninggalkan Desa Gelgel menuju Desa Kuta mengikuti junjungan beliau kurang lebih pada pertengahan abad ke-17 (1600-an). Sehari-hari beliau sebagai nelayan mencari ikan penyu untuk dipersembahkan kepada junjungannya berdasarkan isi prasasti Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan. Ikhwal hubungan suami istri, mereka keluarga yang rukun dan bahagia dan bahkan bergelimang harta benda. Tetapi sayang kehendak Tuhan tidak dapat ditolak, mereka tidak menurunkan pretisentana seperti halnya Rakryanta Patih Kompyang Romya.

RAKRYANTA PATIH KOMPYANG ROMYA
Rakryanta Patih Kompyang Romya, kesah ke Sawangan dari Klungkung ke Kuta dan akhirnya berada di Sawangan ini, awalnya dipermaklumkan oleh Warga Arya Bang Pinatih Sawangan. Entah apa sebabnya, mereka dapat menjalin hubungan kekerabatan yang sangat baik sekali sampai-sampai terbukti dengan adanya Pelinggih di Areal Pura Pengastulan Sawangan, berada berdekatan dengan Pelinggih Arya Bang Pinatih yang disebut Pelinggih Dalem Dasar. Hal ini diprediksi bahwa mereka Arya Bang Pinatih masih bhakti dengan keturunan Raja Gelgel, yang memerintah pada tahun 1343 – Oktober 1450 yang bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Sehingga pelinggih Dalem Dasar dan Dalem Kesiman letaknya berdampingan, Pelinggih Dalem Dasar terletak di Timur Laut dan diselatannya barulah pelinggih Dalem Kesiman.
Kembali kepada Rakryanta Patih Kompyang Marutha, Rakryanta Patih Kompyang Romya banyak mempunyai putra diantaranya Ki Bongkol, Ki Panted, Ki Dangul, Ki Pangguh, Ki Pusuh dan Ki Kitut. Demikianlah nama-nama putra beliau yang mengambil nama Siklus Kehidupan pohon Pisang, dari kehidupan awal pohon pisang sampai akhirnya berbuah. Oleh karena mengambil siklus kehidupan pohon pisang, maka pratisentana dari keenam putranya tersebut menyebut diri IJASAN (SISIR dalam Bahasa Indonesia).
Sekali lagi penulis mendapat kesulitan (Wanara kusa/kapi alang) dalam memaparkan dan sulit sekali bagi penulis untuk mengilustrasikan siapa sebenarnya menurunkan siapa. Tetapi dalam hal ini, penulis tidak menyerah dalam menyusun buku ini, karena penulis berkeyakinan bahwa generasi selanjutnya pasti akan menemukan mutiara yang hilang tersebut. Walaupun belum bisa dipastikan, penulis akan mencoba melanjutkan garis keturunan beliau.
Dari enam ijasan tersebut dapat dikelompokkan (menurut versi penulis) antara lain:
1. Kaki Pengedangan, Kaki Bongol, Kaki Djelantik, Kaki Pasung dan Kaki Cawan dikelompokkan
dalam Ijasan I.
2. Kaki Sebeng, Kaki Keceg, Kaki Megeteh/Sangket, Pan Remban, Pan Mideh dikelompokkan
dalam Ijasan II.
3. Kaki Kasna, Kaki Ramya dan Kaki Rina dikelompokkan dalam Ijasan III.
4. Kaki Lungsir dikelompokkan dalam Ijasan IV.
5. Pan Muncuk dikelompokkan dalam Ijasan V.
6. Kaki Griya dan Kaki Jati dikelompokkan dalam Ijasan VI.

Demikianlah beberapa hal yang dapat diungkapkan oleh penulis, mohon bantuan pembaca untuk urun pendapat dan mengkritik segala yang terasa kurang mengena....
Terasa tidak lengkap bilamana ucapan terimakasih belum sempat saya sampaikan kepada pembaca.


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.