411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Wednesday, April 25, 2007

Swadharma dan Swadikara

Swadharma (Kewajiban) dan swadikara (Hak), merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Setiap kewajiban akan selalu dibarengi oleh hak. Dalam kebijaksanaan yang kita ambilpun harus juga memperhatikan swadharma dan swadikara, sehingga dapat berjalan secara seimbang setiap tindakan yang kita lakukan.

Friday, April 20, 2007

Sudah Sehatkah Air yg Kita Minum ?

Seperti kita ketahui, sekitar 70% tubuh manusia terdiri dari air. Sangatlah penting untuk memberikan tubuh dengan air yang berkualitas sesuai kebutuhan sel2 dalam tubuh. Kami menyediakan Air ber-Energi, yang memiliki resonansi energi yang sama dengan resonansi energi yang biasa ditemukan pada air2 alami penyembuh (healing spring water) yang terdapat di beberapa tempat di dunia. (Pengujian level energi dilakukan dengan menggunakan mesin penguji Prognos dan Medec).Dapatkan Air ber-Energi untuk membantu agar tubuh bisa kembali berfungsi normal dengan kemampuan memperbaiki sendiri (Self Healing) bagian2 tubuh yang terkena berbagai gangguan, seperti: asam lambung, migrain, autis, gangguan ginjal, diabetes, kolesterol, asam urat, gangguan jantung, hipertensi, kanker, tumor, stroke, anemia, dan berbagai jenis gangguan tubuh lainnya. Air ber-Energi dihasilkan melalui proses transfer energi dari alat penghasil energi alami yg terbuat dari 2 alam. Manfaat :- Membersihkan racun2 dari dalam tubuh- Membantu proses penyembuhan- Menyeimbangkan energi dalam tubuh- Meningkatkan sistem kekebalan tubuh- Meningkatkan kadar oksigen dalam darah- Meningkatkan penyerapan nutrisi dan memperbaiki metabolisme- Melancarkan peredaran darah- Menjaga keseimbangan fisik dan mental- Membantu membangkitkan energi CHI Life- Meningkatkan stamina- Mengurangi stress- Menyegarkan kulit wajah- Membantu meningkatkan kualitas tidur- Meningkatkan kualitas makanan dan minuman - Merubah air dan makanan menjadi lebih ber-energiAir ber-Energi bisa didapat di beberapa lokasi depot. (Diberikan GRATIS hanya bagi yg membutuhkan)

Wednesday, April 18, 2007

Kedudukan Wanita dalam Agama Hindu

MD.III.56:
Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarvastatraphalah kriyah.
Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala
MD.III. 57 :
Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, vardhate taddhi sarvada.
Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.
Dan sloka MD.III. 58:
Jamayo yani gehani, capantya patri pujitah, tani krtyahataneva, vinasyanti samantarah.

Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruh nya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib


Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki. Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menyama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.
Semoga ada manfaatnya.
Namaste .

Wednesday, April 11, 2007

Kisah Cicing Gudig


Mari kita lihat lebih dalam betapa menydihkannya kisah “I CICING GUDIG” Disamping sudah wajahnya tengil, baunyapun tak sedap, sudah terbayang pula kutu kutu busuk, yang menempel di sekujur tubuhnya, jangan kan kita sebagai manusia, mungkin sesama temannyapun mereka secara spontanitas mengusir jauh jauh, lantaran menjijikan nah kalau sudah begitu….? Bagaimana dengan kehidupannya……? ……Rejekinya…..? Masih adakah seseorang yang erbaik hati untuk menolongnya……? Dari sisa sisa keputus asaannya si anjing gudig inipun mereka mengintrospeksi diri, kenapa saya begini, kemana saya bawa perut saya yang keroncongan sudah tiga hari tidak ketemu nasi, dari tong ke tong sampah yang satu ke tong sampah yang lain selalu saja rebutan rebutan dengan manusia, rebutan dengan sesama anjing, selalu saja kalah physic karena badannya sudah berlumuran koreng dan sakit. Diakhir keputusasaan ini, timbulah niat untuk bertobat untuk mendiskusikan apa yang bisa dia perbuat untuk memperbaiki nasibnya ini, bertanya kepada sesamanya, disambut dengan perkelahian mekerah, bertanya kepada manusia sudah lebih dulu menutup hidung lantaran baunya yg tidak sedap, singkat ceritra ketemulah si anjing gudig ini dengan sang pertapa disebuah bukit, mereka tidak bercakap cakap namun dari kesidian sang Petapa terjadilah komunikasi dua arah, hai kau ajing gudig, sebenarnya kau tidak usah jauh jauh mencari rejeki, karena sesungguhnya, rejekimu ada pada ujung ekor yang kamu bawa. Belum cukup sang pertapa berkomunikasi ngibritlah si ajing gudig itu meninggalkan sang petapa tanpa pamit, sambil mencari cari tempat yang sunyi untuk meraih rejekinya itu sesuai dg wacana dari sang rsi, Rejekinya ada di ujung ekornya, hore……hore….. sahabatku belum tau, kini aku akan mulai untuk menikmati rejeki yang ada di ujung ekornya. Berputar….putar….. mereka mengigiti ujung ekornya,……kok belum juga keluar rejeki……?, semakin digigit semakin berdarah semakin sakit belum juga keluar rejeki, begitu juga melihat temannya lewat, dikejar dicaplok ekor temannya, disambut dengan perkelahian, belum juga dapat rejeki, akhirnya…….kembalilah si ajing gudig ini menemui sang Rsi sambil menghujat dalam hatinya apakah sang Rsi berbohong….?? Sebenarnya saat itu sang Rsi belum selesai berkomunikasi keburu mereka berlari meninggalkan sang Rsi, akhirnya kembali sang Rsi menjelaskan maksud dari wacana nya itu tiada lain adalah: Rejekimu ada pada ujung ekormu, karena kemanapun kau pergi kau selalu diikuti oleh ekormu, artinya kemanapun, dimanapun kau berada kita selalu dibayangi dengan karmawasana kita, untuk itu……Sucikanlah dirimu sebelum melakukan aktipitas, mohon petunjuk dari sang meraga patut, jangan lupa berpikir baik, berkata baik dan berbuatlah yang baik, sesuai dengan agama yang kita yakini. Kamu sebagai anjing, “product ungulan kamu adalah kesetiaan” tunjukanlah itu kepada majikanmu. Yaaaah akhirnya mengertilah si anjing gudig itu akan sebuah karmawasana, yang tiadalain adalah bagian dari Hukum Karma, yang secara utuh tidak dimiliki oleh agama kecuali “HINDU” Maka berbanggalah menjadi orang Hindu.
Namaste.

Thursday, April 05, 2007

Pis Bolong

1. Pis bolong mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1293 M semasa kejayaan
Majapahit. Berasal dari perdagangan antara Majapahit dengan Cina. Ketika itu
Majapahit belum mempunyai uang kartal. Maka digunakan uang kepeng sebagai alat
tukar dalam perdagangan. Perdagangan dimasa itu dikuasai oleh saudagar-saudagar
cina.
2. Pis bolong ada beberapa jenis :
- buatan Cina, dari zaman dinasti Tang, Sung dan Chin (756 M)
- buatan Jepang, dari zaman dinasti Tokugawa (1741 M)
- buatan Vietnam, tidak jelas ketika dinasti apa
- buatan Jawa dari zaman Walisongo (Islam, 1400 M) dengan huruf arab
- buatan para dukun di Bali sekitar abad ke 13
3. Pis bolong mula-mula digunakan sebagai uang kartal, berlaku di Bali sampai tahun
1950. Selain itu di Bali digunakan pula sebagai sarana upakara, karena
dianggap pis bolong mempunyai kekuatan magis.
4. Kemudian setelah tidak berfungsi sebagai uang kartal, pis bolong tetap digunakan
sebagai upakara hingga saat ini.
5. Pis bolong sebagai jimat dibuat oleh para balian/dukun di Bali disertai
pemasupati. Contohnya : pis jaran, pis dedari, pis rejuna, pis anoman, pis
kresna, pis tualen, pis jring, pis gobogan, dll.
6. Ada juga pis bolong yang dipandang sangat sakral karena datangnya secara gaib,
misalnya melalui wong samar, paica Ida Bhatara, dll.
7. Di zaman sekarang, pis bolong sudah hampir punah.
Maka dibuat tiruannya. PHDI Pusat sudah mengeluarkan keputusan paruman Sulinggih,
bahwa pis bolong sekarang sudah bisa diganti dengan uang logam yang berlaku
syah di Indonesia saat ini. Keputusan ini tertuang dalam
Kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu.

Wiku Praverdi

WIKU PRAVERDI :



Wiku = Pandito

Prawerja = Pengelana

Dikisahkan ada seorang Wiku, yang sudah menyelesaikan Kasewan ( Perguruannya ) dalam pendalaman Veda, diakhir dari masa pendidikannya ini maka beliau melakukanlah upakara Podgala ( Dwijati / wisuda ) sehingga sempurnalah julukan wiku dari beliau untuk menjadi seorang Wiku.

Kira kira demikianlah akan muncul image masyarakat terhadap Wiku, namun diluar itu mari kita ikuti ceritra dibawah ini.

Setelah sang wiku praverdi ini pamitan dari kasewan, kini tibalah saatnya sang wiku utuk menjalankan pengabdiannya dimasyarakat dalam hal implementasi Veda yang selama ini beliau tekuni di Kacewan (perguruan)

Dalam hayalannya sang Wiku prawerdi ini, sudah terbayanglah , bangaimana sambutan masyarakat didesa, diperkotaan akan menyambut kedatangan beliau dengan warm perform ( sambutan hangat ) dari masyarakat atas gelar Wiku yang didapatkannya di Kasewan, ….ho …ho....so pasti, welcome sang wiku, demikianlah yang ada dalam benaknya.

Sambil berjalan dalam terik matahari kemarau yang cukup menyengat, maka sang wikupun kelelahan sehingga memaksakan beliau untuk sejenak istirahat di sebuah pohon yang rindang, seperti kita ketahui pohon adalah habitat segala hewan termasuk burung-burungan yang bertengger diatasnya.

Ujian I.

Begitu sang wiku duduk manis, tiba tiba saja, creet sang burung yang ada diatasnya mengeluarkan kotoran tepat, mengenai lengan kanan sang wiku, sang wiku diuji kesabarannya, beliau mendongaklah keatas sambil berseloroh dalam hati, hei kau burung aku ini Wiku lho, sopanlah sedikit, kenapa kau begitu tega buang kotoran mengenai lengan ku…..?

Berikutnya creet,….creet lagi datang burung yang lain tepat mengenai usnisa ( gulungan rambut diatas kepala).

Serta merta sang wiku marahnya bukan main, sambil berteriak memarahi burung yang buang kotoran diatas, maka seketika itu pula api amarah sang wiku metu saking Ajna cakra, maka seketika itu gosong, terbakarlah burung yang barusan buang kotoran diatas dan bluuug jatuh kebawah persis didepan sang wiku.

Kemudian kesan apa yang ada dibenank sang Wiku…..? hanyalah kesan sebuah kebanggaan atas digjaya yang diperoleh selama ini, sedikitpun tidak ada rasa penyesalan apalagi kasih sayang.

Ujian Ke II

Gelisan satwe enggal, sang wiku meneruskan perjalannya akhirnya tibalah didepan rumah seorang penduduk, kembali dibenak sang wiku terbayang, akan segera dibukakan pintu, disambut serta disucikan/basuh kakinya oleh sang pemilik rumah, kemudian segera disuguhkan makanan enak, kemudian dilanjutkan dengan diskusi upanisad…..wah meriah…..?

Sementara didalam rumah ada sang ibu muda 30 tahun sedang berihktiar metepetin (memberi obat suaminya) karena sedang sakit demam yang cukup tinggi, sedangkan sang wiku tidak tau apa yang sedang beraa didalam rumah.

Serta merta sang wiku mengetuk pintu…..tok….tok… .tidak ada jawaban dari dalam rumah, ketokan berikutnya,…. .tidak ada respon, tok….tok…. beberapa kali juga tidak ada sambutan, akhirnya kemarahan sang wiku memuncak, sambil menumpat dalam benaknya,…. Apakah pemilik rumah ini nanti mau nasibnya sama sepertihalnya burung diatas pohon tadi………?

Tiba-tiba….Kruak pintu dibuka oleh ibu rumah dari dalam dengan perkataan menyelirih, sepertinya tidak ada perasaan berdosa sedikitpun sambil mengucapkan selamat datang sang wiku, mohon maaf kami sedang melayani suami kami yang sedang sakit, mohon jangan kami dijadikan seperti halnya burung diatas pohon tadi…..?

Maka sangat terperanjatlah sang wiku, kenapa seorang Ibu yang sedang nepetin suaminya sakit didalam rumah tau persis keadan diluar rumah….., dan bagaimana pula mereka bisa membaca pikiran yang sdang melintas dibenak sang wiku…..? padahal ibu ini tidak pernah menekuni Veda seperti halnya sang viku tekunin berpuluh puluh tahun…..?

Sang wiku di blenggu dengan segudang pertanyaan, munculah pikiran sang wiku semakin tidak percaya dengan ilmu yang beliau miliki.

Sambil berucap. Hai nisanak bagaimana nisanak mengetahui keadaan yang ada diluar rumah…..? sedangkan Nisanak berada didalam rumah…..dan bagaimana pula nisanak bisa membaca pikiran seorang wiku,….? Siapa gurumu…..?

Mohon maaf sang wiku, kami ini sangat lah jauh dari pengetahuan Veda, namun kami hanya yakin kami ini adalah seorang istri dari suami kami yang sedang sakit, kami hanya melakukan niskama karme, pelayanan kesetiaan yang tulus tanpa motif dari suami kami, karena kami percaya kesetiaan seorang istri thdp suami adalah yadnya yang tiada tandinganya.

Waahhh luar biasa, dari mana Nisanak berguru semacam itu…..?

Kami berguru dari seorang penjagal daging di pasar agung,……semakin terperanjatlah sang wiku, bagaimana seorang penjagal daging yang jabatan paling Nista bisa berucap dharma kepada perempuan ini…..?

Ujian ke III

Akhirnya sang wikupun pamitan untuk segera menemui sang jagal daging di Pasar.
Belum sempat sang wiku mencari cari sang penjual daging yang dimaksud oleh ibu tadi, sudah terdengar sambutan sang penjual daging “Rahajeng rawuh sang wiku”
Kenapa sang wiku sudi mendatangi kami dipasar kumuh seperti ini, dipasar adalah tempat maksiat, transaksi, bohong, penuh dengan gelimangan dosa, apakah sang wiku sudah mendapatkan referensi dari seorang ibu yang suaminya sedang sakit,…….?
kembali sang wiku terperanjat dibuatnya.
Akhirnya sang penjual daging ( Jagal ) membersihkan dirinya menyediakan diri untuk berdiskusi kepadang sang Wiku Praverja.

- Sarjana hendaknya jangan menjadikan kita tinggi hati, sempurna tau segalanya.
- Jabatan bukanlah menjadikan seseorang menjadi Nista, tergantung bagaimana mereka bisa melaksanakan Nisya karmanya ( ketulusan-hati dalam tugasnya )
- Podagala/wisuda bukan menjadikan seorang brahmana tulen, tetapi bagaimana implementasinya terhad bidang yang ditekuninya
- Kelahiran bukanlah menyebabkan orang menjadi mulya, tetapi akan tetap terkait dengan karmawasananya.

Semoga anda menjadi Wiku Prawerja / linuwih, Dewa wecana Dewa laksana, jangan sampai dewa wecana buta laksana.

Namaste.

Penyebaran Agama Langit

Tuanku Rao: Teror Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari
kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini
adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara
kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia
Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut
masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa
budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu),
yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya
agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang
ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan
antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik
bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat
meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka
pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang
Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian
mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di
beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama
asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat
sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat
yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat
agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri
sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil
incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga
Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering
melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba
Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan
terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan
penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan
keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja
Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu-
sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat
yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut,
harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya
serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di
tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh
anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga
dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan
sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja
Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di
bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja
IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,
yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam
suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual"
kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga
Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu
(tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh
pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus
dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan
badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu,
karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke
tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian
di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok,
Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena
selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah
dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali
dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah. Haji Piobang dan Haji
Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang
mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,
mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia
memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta
kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan
kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat
Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama
seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal
usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:
Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal
kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama
asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat
menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning
Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan
Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada
tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan
Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia
diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera
seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah
Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H
(tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang
dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda
ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan
seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman
ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan
rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu
wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin
oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak
sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah
masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku
Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku
Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku
Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku
Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung) , Tuanku Ali
Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku
Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan
tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan
Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang
Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia
lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan
Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan
pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra
Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra
Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk
kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan
terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di
tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara,
termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar
30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di
medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud
menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun
Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya
tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing,
Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan
Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing
dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang
gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku
pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah
ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada
Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan
dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal
kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti,
salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

http://www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/ viewtopic. php?t=4737

------------ ---- ------------ --------- --------
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh
Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, "Pongkinangolngolan
Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak", Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja
Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja
Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan
sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem
Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman.

Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya.
Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban
yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut. Mayjen TNI (purn.) T.Bonar
Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah
Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan
Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan
Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater
Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku
tersebut.

Wednesday, April 04, 2007

Islam Fundamentalis Penghancur Majapahit

Ini menurut HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya: 'Kerajaan
Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI'
(terjemahan yang diterbitkan oleh Grafiti Pers). Mereka
menyimpulkannya dari dokumen-dokumen Eropa dan Jawa terpercaya.
Menurut cerita rakyat Jawa, tahun kejadiannya adalah 1487 M. Diambil
dari kalimat terkenal `Sirna Ilang Kertaning Bhumi' = Musnah Hilang
Keagungan Negeri = 1400 J = 1487 M, yang dipercaya sebagai tahun
keruntuhan Majapahit. Tapi kedua ilmuwan Belanda tersebut mendapatkan
bukti-bukti yang berbeda.
Kemaharajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1487 M. Tetapi
tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Pada tahun itulah
raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia
disebut dangan nama Raden Patah. Dari kata Arab : Al Fatah, berarti
kemenangan gemilang. Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia
bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan
bahwa ia adalah anak Maharaja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya.
Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat
kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung
ketika `dihadiahkan' kepada gubernur kesayangan Maharaja di Sumatera
selatan itu. Tapi cerita ini berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya.
Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu
adalah Pate Rodim (Sr.) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa
Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang
mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu
memperkirakan nama sang penguasa sebenarnya mungkin adalah
`Kamaruddin' atau `Badruddin'. Dari buku yang sama dan juga dari
dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa raja Demak tersebut
bukanlah keturunan Maharaja Majapahit. Di dokumen kerajaan Banten, ia
disebut dengan nama Arya Cucu Sumangsang. Ia adalah keturunan patih
raja (gubernur) Demak bernama Cek Po Ko yang beretnis Cina. Sedangkan
penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu
Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.
Meskipun hanya menjabat sebagai patih penguasa daerah bawahan,
ia sangat berjasa kepada Maharaja Majapahit. Cek Po Ko-lah yang
memimpin ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang
membangkang. Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah
Lembu Sora/Kertabhumi. Rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada
patihnya. Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Po Ko dilahirkan.
Entah dengan cara mengawini putri penguasa setempat atau dengan cara
membunuh raja bawahan itu, pada akhirnya anak Cek Po Ko marak menjadi
penguasa Demak. Dan ternyata, Maharaja Majapahit tidak melakukan
tindakan apapun atas penyimpangan itu.
Ada beberapa kemungkinan mengapa Maharaja mendiamkan, yang
berarti mengesahkan, kejadian itu. Pertama mungkin karena jasa-jasanya
yang besar kepada Maharaja. Mungkin juga pada tahun-tahun itu kekuatan
militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau bisa jadi Maharaja
mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasan di Demak
itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar
sikap lembek pemerintah pusat.
Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya,
penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga
Maharaja yang ada di Kediri. Cabang keluarga ini lebih muda dan
sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang
sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara.
Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora atau Kertabhumi yang
berkuasa di Demak. Maharaja mendapatkan keuntungan karena `saingan
potensial' itu sudah tersingkir. Istilah Jawanya : Maharaja melakukan
`nabok nyilih tangan' = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.
Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan
perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat
turunnya wibawa Maharaja di mata penguasa-penguasa daerah lain,
terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Insiden
Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang
sudah tidak bergigi lagi. Contoh yang paling jelas dilakukan oleh
penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memplokamirkan diri menjadi raja
(merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Inilah awal keruntuhan
Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun
1487 M itu. Kemaharajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri
sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.
Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1487 M
ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513 M, penulis
buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas
Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira.
Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu.
Meskipun beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Maharaja
Hindu di Daha di pedalaman Jawa timur. Daha adalah sebutan lain dari
Kediri.
Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah
cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak
bisa tidak, harus menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kemaharajaan
Majapahit. Bukti lainnya juga menguatkan. Menurut Tome Pires juga,
nama sang Maharaja adalah Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis
untuk menyebut (Bra) Wijaya. Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate.
Menurut catatan-catatan Jawa nama sebenarnya adalah Patih Udara atau
Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di
penghujung senja Majapahit.
Patih ini juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai
'Jurupa Galagam Imteram'. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa :
'Surapati Ngalaga Ing Terung'. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya
adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung
serangan orang-orang Islam dari Jawa tengah. Babad-babad Jawa juga
menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela
Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin
keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu
Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit.
Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh
Majapahit di kemudian hari.
Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527 M.
Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan
Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah
cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 M itu
tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit. De Graaf juga menemukan
bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1529 M, Raja Muda Portugis di
Malaka menerima perutusan dari Kerajaan Belambangan lewat pelabuhan
Panarukan. Karena selama berabad-abad Belambangan adalah wilayah
Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kemaharajaan
atasannya sudah tidak ada lagi.
Yang berkuasa di Demak pada waktu itu bukan lagi penguasa
pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia
disebut dengan nama Pate Rodim (Jr.). Di buku-buku Jawa, dialah raja
Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana. Ia menggantikan
abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor atau
oleh orang Portugis disebut dengan nama Pate Unus dari Jepara. Orang
inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka di tahun 1511 M.
Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama.
Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan
Majapahit adalah Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti
panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya. Tokoh ini, dalam
cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka
diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka
juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang
secar rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan
mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.
Menurut dokumen yang paling terpercaya, mereka sebenarnya
mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak.
Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk
korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Anggota
pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri
oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk
senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah
masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga
dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat
militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.
Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika
semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad
terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang
sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian
perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian
bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga
imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan
Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya
tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa
Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar
(menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan
di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju
pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.
Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para
pencipta reyog Panaraga. Maharaja Majapahit digambarkan sangar seperti
macan, tetapi suka bermegah-megah seperti merak. Pekerjaannya hanya
lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas. Para komandan militernya (warok)
hanya bisa mendelik marah-marah karena para prajurit anak buahnya
ternyata lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang
cantik-cantik) . Kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur seperti
pada umumnya tentara dimana-mana. Apalah artinya komandan yang pintar
tanpa para buah yang trengginas. Pada akhirnya, kepala sang raja
diduduki oleh anak kecil : Kemaharajaan Majapahit yang dulu jaya
dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran
adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh
pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang
mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api
sejenis meriam. Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan
proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja,
hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal
jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok
dan menjebol pintu gerbang perbentengan. Demak juga berpengalaman
berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha
mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau
membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu.
Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis
yang kemudian masuk Islam. Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam
untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak
Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang
di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan
disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.
Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah
juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai.
Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis yang
meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Di
pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya
meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-
penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd,
Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. Bukan tidak mungkin
disana dia berusaha untuk mempelajari pembuatan meriam berikut
strategi penggunaannya.
Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya
angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata
Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan
menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit
melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Perkembangan ini tentu
tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa tengah. Si kafir Hindu hendak
meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa
membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran.
Padahal Maharaja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup)
menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya.
Legenda tentang Wali paling senior, Sunan Ampel, menunjukkan bahwa ia
diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan
permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat
baru muslim di Surabaya. Bahkan makam-makam tua di Tralaya membuktikan
bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak
jaman Prabu Hayam Wuruk.
Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus
banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia
berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan
Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat
sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di angkatan
bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya
dikenal dari nama anumertanya : Penghulu Rahmatullah, artinya yang
dirahmati oleh Allah.
Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan
karakteristik khas : keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan
syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan
pembunuhan-pembunuh an. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau
mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih
menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak. Tindakannya melarang
penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang
masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus.
Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus
yang terkenal itu. Dia melakukan semua itu setelah disingkirkan dari
lingkungan kekuasan di ibukota Demak.
Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari
golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari
Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat,
akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik. Sebagai Wali yang
asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga
menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih
Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh
mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan
adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman.
Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama,
dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif.
Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah
yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap
bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya
mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan
ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil
kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari
ajaran Islam murni dari Arabia.
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sejaman. Tidak tercatat
adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu.
Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa
Kerajaan Demak berpihak. Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga
sebagai Imam Masjid Raya sekaligus penasehat raja. Jafar Sidik diberi
wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya
semula adalah Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota
itu diubahnya menjadi Kudus. Satu-satunya kota di Jawa yang bernama
dari bahasa Arab. Dia kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus,
sesuai dengan tempat tinggalnya.
Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal adalah menghukum si
penyebar bid'ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging.
Ajaran mereka pada intinya adalah : `manunggaling kawula Gusti' =
bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ini jelas membahayakan akidah
Islam. Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa
dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman
yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu,
Sunan Kudus dan `Komando Pasukan Khusus' Suranata-nya bergerak
memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.
Penulis buku `Dharmogandhul' juga mencatatnya. Namun dia
sedikit kurang jeli dalam pengamatannya. Dalam penglihatannya,
orang-orang Islam dari Jawa tengah itu adalah mereka yang memakai baju
jubah longgar, bersorban, memelihara jenggot, dan suka mengcungkan
pedang kepada orang kafir. Semua orang Islam itu dituduhnya
bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di tanah Jawa. Dikiranya
semua orang Islam adalah penganut garis keras. Merekalah yang
menyebabkan orang-orang Hindu mengungsi ke Pegunungan Tengger dan
Pulau Bali.
Jika kita pandang dengan kacamata sekarang, Sunan Kudus dapat
kita lihat sebagai pengusung gerakan Islam fundamentalis semacam Font
Pembela Islam, Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia dan
berbagai organisasi sejenis. Tindakannya yang tanpa kompromi kepada
Kemaharajaan kuno dan Siti Jenar yang menyimpang, jelas-jelas
menunjukkan bahwa ia berbeda dengan dengan Wali lain yang menggunakan
pendekatan budaya Jawa. Baginya, tidak ada yang lebih benar dan mulia
selain Islam. Dan semuanya harus tunduk kepada Daulah Islamiyah. Atau
dihancurkan.


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.