411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, July 16, 2007

Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup

Oleh : Ni Made Wiratini, S.Ag
BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini. Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan dambaan setiap orang. Lalu apa yang harus dilakukan dalam meraih sukses tersebut. Dalam Banten Pras kesuksesan itu digambarkan dengan jelas sekali dinyatakan : " Pras Ngaranika Prasiddha Tri Guna Sakti ", artinya Pras namanya adalah sukses (Prasiddha) dengan kuatnya Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Apabila ketiga Guna ini berada pada struktur dan komposisi yang idial, maka ia akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mengantarkan seseorang menuju pada kesuksesan hidup. Struktur dan komposisi idial yang dimaksud adalah apabila guna Sattwam menguasai guna Rajas dan guna Tamas. Dalam Banten Pras ketiga guna ini disimbulkan dengan benang, uang dan beras. Benang sebagai lambang Sattwam, Uang sebagai lambang Rajas, dan Beras sebagai lambang Tamas. Banten Penyeneng melambangkan konsep hidup yang berkeseimbangan, dinamis dan produktif. Hidup yang seimbang mengandung suatu arti bahwa tujuan hidup ini harus diselaraskan antara kebutuhan jasmani (material) dengan kebutuhan rokhani, dinamis mengandung arti bahwa dalam hidup ini manusia diwajibkan untuk tidak henti-hentinya mengejar kemajuan dan produktif artinya senantiasa berkarya atau mencipta yang patut diciptakan, memelihara yang patut di pelihara dan meniadakan sesuatu yang patut ditiadakan. Visualisasi dari konsep hidup yang tiga ini diwujudkan dengan bentuk sampian yang beruang tiga. Dalam usaha membangun konsep hidup ini maka manusia hendaknya memiliki pandangan yang benar. Benar dalam arti dilandasi oleh kesucian bathin. Kesucian bathin akan muncul manakala telah lenyapnya sifat-sifat negatif dalam diri. Dengan demikian barulah benih kesucian dapat disemaikan. Hal ini divisualisasikan dalam bentuk sarana yang disebut segawu tepung tawar dan beras. Banten Tulung adalah suatu banten dengan tiga kojong yang berisi nasi dan lauk pauk dan rerasmen. Makna dari banten tulung ini adalah bahwa hidup ini saling memiliki ketergantungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Ini menggambarkan manusia disamping sebagai makhluk individu juga berdimensi sebagai makhluk social. Ciri makhluk sosial adalah memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan semua komponen yang hidup di muka bumi ini. Banten Sesayut adalah suatu banten yang melambangkan perjuangan hidup manusia untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup yang disebut ayu. Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini tidak dapat diwujudkan sekaligus, melainkan diraih dengan cara bertahap sesuai bentuk alas dari sesayut itu yang berbentuk bulat maiseh. Oleh karena itu dalam wujud apa kesejahteraan dan kebahagiaan itu dimohonkan disesuaikan jenis sesayut atau tebasan yang ada. Itu sebabnya banyak ditemui jenis sesayut yang masing-masing mempunyai pengharapan yang mengkhusus.Banten Dapetan adalah suatu banten yang memiliki makna untuk mencari, pengembangan kebajikan sehingga apa yang kita warisi baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang merupakan proses karma kita dimasa lampau maupun karma dimasa kini. Untuk napet (mewarisi) yang baik manusia wajib pengembangan, serta menyemai kebajikan itu kepada semua orang dengan selalu berpegang kepada Satya. Jika hal ini senantiasa dilembagakan niscaya akan dipetik hasil atau buah yang baik. Hal ini divisualisasikan dengan beras (bija) yang dicampur bunga kamboja atau cempaka (sesarik) sebagai lambang benih yang harus disemaikan, serta benang sebagai lambang kebenaran. Hal ini harus dikembangkan kesegala penjuru yang dilambangkan oleh alas sesarik yang berdimensi ke delapan penjuru mata angin. Dan masih banyak banten-banten lain yang merupakan pengejewantahan dari kebenaran ajaran Weda. **

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri

Oleh: Ni Made Wiratini S.Ag
BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut : "Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari". Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna. Bunga lambang dari kesucian hati untuk beryajna. Daun-daunan lambang dari tumbuh berkembangnya pikiran suci. Buah-buahan, jajan pelengkap banten adalah melambangkan Widhyadara dan Widhyadari. Apa yang dilukiskan oleh pernyataan lontar diatas mewrupakan penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten, jika hal itu disimpulkan ternyata didalamnya terkandung ajaran syarat-syarat berserah diri kepada Hyang Widhi, yang mana hal itu digambarkan: Pertama adalah langgeng artinya bersungguh-sungguh. Berserah diri kepada Hyang Widhi tidaklah boleh ragu-ragu. Berserah diri hendaknya dilandasi oleh keyakinan yang kuat dan keteguhan hati, bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Adil. Seseorang yang memiliki keteguhan hati merupakan cerminan dari kebijaksanaan serta pikiran yang mantap. Konsep langgeng dan keteguhan hati ini dalam Bhagawad Gita II 54 diistilahkan dengan Sthitaprajna, yakni orang yang teguh dalam yoga yang tidak terpengaruh oleh suka dan duka. Kedua adalah kesucian pikiran. Pikiran atau manah harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk mengendalikan indria sesuai bunyi Bhagawad Gita III 42. Manah yang sempurna berada di bawah kendali dari Buddhi. Biddhi yang kuat berada di bawah sinar suci atma. Kesucian pikiran ini hendaknya senantiasa diperjuangkan dalam wujud latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bunga dalam upacara tidak hanya dalam arti nyata, melainkan pula bagaimana kita dapat mempersembahkan bunga padma hredaya kita yang tumbuh sebagai akibat berseminya rasa bhakti itu kepada Tuhan. Ketiga mengembangkan pikiran yang suci. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam berserah diri dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Dengan kata lain sesuatu yang baik, yang dapat dicapai patut untuk didayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti juga melayani Tuhan. Dengan demikian prinsip pelayanan kepada Tuhan tidak hanya semata-mata secara langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi pelayanan kepada semua ciptaan Tuhan juga memiliki makna pelayanan kepada Tuhan. Keempat adalah melambangkan Widhyadara-Widhyadari. Secara etimologi kata Widyadara itu berasal dari kata Vidya yang berarti Pengetahuan dan kata Dhara artinya memangku atau penyangga. Para pemangku ilmu pengetahuan itulah yang disebut Vidyadara-Vidyadari. Dari ilmu pengetahuan itulah didapatkan pengetahuan atau jnana, sebagai landasan untuk melakukan kerja. Berserah diri kepada Tuhan dalam wujud bhakti hakikatnya adalah penyerahan karma berdasarkan jnana. Demikianlah makna berserah diri yang dilakukan oleh umat Hindu dalam merealisasikan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.**

BANTEN SEBAGAI BAHASA SIMBOL


Oleh : Ni Made Wiratini, S.Ag

BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**

Wednesday, July 11, 2007

PURA PEDHARMAN PASEK DI BESAKIH


Daivadyantam tadihetaPitradyantamna tad bhavet.

Pitradyantam tvihhamanahKsipram nasyati sanvayah.

(Manawa Dharmasastra. III.205).

Maksudnya:

Hendaknya seseorang itu melakukan upacara Sraddha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan para Dewa. Hendaknya jangan berakhir dengan pemujaan leluhur. Karena pemujaan yang hanya berhenti pada pemujaan leluhur akan cepat hancur bersama keturunannya.

KOMPLEKS Pura Besakih di samping sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur. Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara. Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Maha Dewa dan di utara Pura Batu Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.

Demikianlah berbagai manifestasi Tuhan yang disebut Dewa atau Batara itu dipuja di berbagai kompleks pura di Besakih. Sedangkan tempat pemujaan para leluhur di Besakih disebut Pura Padharman. Fungsi pura memang ada dua yaitu Dewa Pratistha adalah pura untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Atma Pratistha pura untuk memuja roh suci leluhur. Di Besakih juga demikian ada pura untuk memuja para Dewa dan ada pura untuk memuja leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara.

Pura Padharman adalah pura untuk memuja leluhur yang sudah suci yang disebut Dewa Pitara. Di Besakih ada banyak Pura Padharman. Salah satu adalah Pura Padharman Pasek. Di pura ini sebagai tempat pemujaan leluhur warga Pasek. Warga Pasek telah memiliki suatu lembaga bersama yang disebut Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Dengan lembaga yang cukup solid itulah Pura Padharman tersebut dikembangkan sehingga memiliki fungsi yang semakin luas sesuai dengan tuntutan zaman.

Memang pura bukanlah semata-mata sebagai tempat sembahyang dan tempat menyelenggarakan upacara yadnya. Pura Padharman Pasek ini sudah banyak dikembangkan dengan berbagai bangunan pelengkap, sehingga di Pura Padharman Pasek ini dapat berfungsi sebagai pura untuk mengembangkan pendidikan kerohanian baik untuk mendidik calon-calon pinandita maupun pandita.

Meskipun Pura Padharman Pasek ini sudah sedemikian dikembangkan tetapi tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan. Bahkan dalam pengembangan selanjutnya juga didirikan Pelinggih Pepelik sebagai Penyawangan Mpu Gana, Mpu Beradah. Krena Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah adalah lima pandita bersaudara yang disebut Pandita Panca Tirtha.

Mpu Geni Jaya tempat pemujaan utama beliau di Pura Lempuyang Madia sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Sedangkan di Padharman sebagai pemujaan penyawangan. Pura Kawitan memang beda dengan Pura Padharman. Pendirian Pura Padharman di Pura Besakih itu lebih menekankan pada kebijaksanaan penguasa saat itu sebagai media untuk mendudukkan berbagai kelompok warga di Bali dalam posisi setara dan bersaudara. Ini berarti kebijaksanaan raja saat itu menerapkan ajaran agama sabda Tuhan menjadi sistem religi menata sistem sosial untuk membangun dinamika sosial yang harmonis produktif.

Sepanjang pengetahuan, Pura Padharman di Besakih tidak dibeda-bedakan. Maksudnya tidak ada Pura Padharman yang utama, madya dan nista. Apalagi Pura Padharman Pasek sangat jelas yang dipuja di sana adalah para pandita besar seperti Mpu Geni Jaya dengan saudara-saudara beliau Sang Panca Pandita.

Di Pura Padharman Pasek, Mpu Geni Jaya dipuja di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, Mpu Semeru di Pelinggih Meru Tumpang Tujuh. Sedangkan Mpu Kuturan di Pelinggih Manjangan Saluwang. Tentang Palinggih Manjangan ini umumnya terdapat pada Merajan Gede keluarga Hindu di Bali. Keberadaan Pura Padharman Pasek ini berdiri di sebelah kanan Pura Panataran Agung Besakih.
Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu raja mendudukkan dengan setara Maha Gotra Sanak Sapta Resi di kerajaan di Bali. Warga Pasek bukanlah warga keturunan Sudra. Warga Pasek adalah keturunan Brahmana. Karena leluhur warga Pasek di Bali dari Mpu Geni Jaya yang menurunkan Sapta Resi. Dari Sapta Resi inilah selanjutnya menurunkan Warga Pasek.

Dalam proses sejarah warga Pasek tidak lagi memegang kekuasaan seperti menjadi raja maupun petinggi-petinggi kerajaan yang lainnya. Karena tidak memegang jabatan maka gelar-gelar jabatan dalam kerajaan pun tidak dipakainya sebagai sebutan di depan namanya. Umumnya warga Pasek menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sebagai sebutan di depan namanya.

Karena tidak berada dalam lingkar kekuasaan kerajaan, warga Pasek disebut orang Jaba. Dalam kenyataannya yang disebut orang Jaba tidak semata-mata dari warga Pasek, dari keturunan Arya dan warga-warga lainnya seperti warga Pande Bujangga Waisnawa ada juga disebut orang Jaba. Yang dimaksud Jaba itu adalah orang yang berada di luar kekuasaan kerajaan.

Banyak dari orang-orang yang disebut Jaba itu karena tersingkir dalam ''permainan'' kekuasaan. Karena proses sejarah juga lama-kelamaan orang Jaba itu diidentikkan dengan Sudra. Kesalahpahaman ini terjadi karena permainan kekuasaan juga saat itu.

Keturunan Danghyang Dwijendra di Bali disebut Brahmana. Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah. Mpu Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana Wangsa. Tetapi faktanya dalam masyarakat tidak demikian. Itulah sejarah. Ke depan sejarah seperti itu sebaliknya tidak terulang lagi di Bali. Jadikan semuanya itu sebagai pelajaran saja untuk lebih jujur menjalankan sejarah.

Sejarah yang pahit itu tidak perlu diperuncing lagi, untuk selanjutnya jangan ada kekuasaan untuk merendahkan sesama warga. Marilah bangun lagi kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan dalam kehidupan bersama ini. · I Ketut Gobyah

Monday, July 09, 2007

Pura Sakenan

Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli.

Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M).

Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; "...sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau."

Lalu disebutkan lagi, "Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara."

Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana.

Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir.

Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang.

Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon -- sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan -- pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Padmasana.

Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana -- penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon.

Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha.

Wednesday, July 04, 2007

KUNINGAN & SAKENAN

HARI ini, Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, umat Hindu merayakan hari raya Kuningan. Hari yang dianggap sebagai ''penutup'' dari rangkaian Galungan-Kuningan ini, dipercaya sebagai hari penghormatan kepada leluhur yang telah menjenguk, menjaga, melindungi dan memelihara umat manusia selama rangkaian hari-hari meraih dan menegakkan dharma atas adharma. Pada hari Kuningan ini para leluhur akan kembali ke alamnya. Sebagai cetusan rasa bakti atas perlindungan yang telah diberikan leluhur umat Hindu mempersembahkan ritual khusus Kuningan. Rutinitas ritual tiap 610 hari ini menjadi bagian dari wajah Bali yang religius.
Hari raya Kuningan itu rangkaian dari Galungan. Pada Galungan, jelas ada puja yang tampak pada upakara yang dihaturkan. Di situ juga ada babi, sedangkan dalam bentuk lain akan menjadi bebangkit, tamasik dan power. Sedangkan pada Kuningan, tidak lagi ada unsur tamasik dalam konsentrasi kita. Di rentang waktu sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan, sudah sepuluh indria kita terkendalikan. Di Kuningan ada proses akses cahaya Tuhan. Makanya upacaranya pada pagi hari dan warna yang dipilih hanya kuning. Di situ tidak ada penampahan Kuningan, hanya belakangan itu ditambahkan oleh masyarakat. Penampahan Galungan memang ada karena berkait dengan nampah babi dalam konteks upacara persembahan berbentuk sesuatu dari daging babi.

Bisa dirinci perihal makna warna kuning itu atau makna khusus hari Kuningan?
Kuning itu bisa dilihat dari poros kangin-kauh, timur-barat. Mahadewa di arah kauh itu kan kuning. Dalam konteks pengendalian diri dari unsur indria, jika itu sudah mampu dilakukan orang, itu sudah kahuningan. Makanya, banten pada hari Kuningan tidak berisi daging babi, melainkan ada calon yang bermakna kebulatan. Kalau orang sudah uning, pasti unsur bulat itu menjadi power-nya. Bulat itu simbol kesempurnaan. Sunia, purna, itu semuanya bulat. Tamiyang yang ditampilkan juga bulat. Persembahan kepada Dewa semuanya berbentuk bulat -- banten, daksina, sampai isi suci pun bulat-bulat. Pada Kuningan, titik-titik itu ditonjolkan ke Dewa, sedangkan Galungan itu memang keceriaan yang lebih mengarah ke Durga Puja.

Hari Kuningan selalu identik dengan Pura Sakenan karena di situ pada saat bersamaan sedang berlangsung rangkaian "piodalan". Apa sesungguhnya relevansi Kuningan dan Pura Sakenan?
Pada dasarnya, di Pura Sakenan itu ada unsur pertemuan Siwa dan Budha. Di masa lalu, di situ orang menghidupkan power. Dalam sejarah, Sakenan adalah salah satu titik yang dilakukan oleh Danghyang Nirarta dalam perjalanannya mengelilingi Bali. Ketika mengelilingi Bali yang sudah dilakukan beberapa kali, poros tengah juga dilewati. Selain keliling di pinggir laut, poros tengah juga ditempuh misalnya di gunung seperti di Gobleg, Batur, dan sebagainya. Dari perjalanan keliling itu beliau kembali pulang ke luhur atau kembali ke titik api pembakaran secara spiritual melewati Sakenan. Dalam konteks ini, Sakenan itu untuk beryoga yang dicari setelah Durga Puja.

Mengapa bernama Sakenan?
Karena di situ Danghyang Nirarta melakukan power budha, sakiana. Sakenan itu berasal dari kata sakia yang lebih dekat dengan kekuatan Budhism -- beliau melaksanakan dua yaitu sebagai Budha maupun Siwa. Budha dalam konteks ajaran di Indonesia lebih mengarah pada makna energi untuk mengalahkan segala yang menyerang kekuatan bhairawa. Siwa sebagai kekuatan bhairawa, jelas menonjolkan kekuatan sidhi dalam rangka membakar diri beliau sendiri. Beliau membangun api suci Siwa Ageni untuk membakar diri beliau sendiri sampai menjadi abu.

***

PURA Sakenan kini terkesan tidak lagi berada di tengah Pulau Serangan karena di situ sudah dibangun jembatan penghubung atau jalan darat. Para "pemedek" yang "tangkil" pun kini tak perlu naik perahu, cukup naik kendaraan bermotor. Menurut Anda?
Dibangunnya jembatan penghubung atau penyatuan daratan seperti itu, bagi saya, adalah sebuah kemunduran dari segi spiritual. Sakenan mestinya "terputus" karena itu merupakan tempat beryoga di masa lalu. Sakenan secara keseluruhan maupun pura yang lebih kecil itu pada mulanya juga terputus. Yoga di satu tempat yang dikelilingi air itu sangat luar biasa kekuatannya. Dari situ kesucian terjaga. Oleh karena kini Sakenan dihubungkan oleh daratan, maka terjadi polusi yang menyebabkan kesucian memudar.

Berarti, menurut Anda, dibangunnya jembatan di sana itu merupakan kesalahan?
Dari segi pandangan spiritual, itu sudah menjadi kesalahan yang fatal. Terputusnya jalan itulah yang sesungguhnya dapat memberi kekuatan. Jika setiap hari orang naik sepeda motor dan mobil, sekali waktu naik jukung, itu kan memberi suatu rasa yang lain. Ziarah itu jangan naik motor. Ziarah itu mesti dengan jalan kaki sehingga ada proses perubahan secara fisik -- darah dapat bergerak. Setelah terengah-engah, barulah duduk, sehingga di situ ada stabilitasi. Setelah itu barulah memuja Tuhan. Dengan adanya jembatan atau jalan penghubung, itu berarti sudah menghilangkan mala dalam diri.

Tapi itu kan demi pertimbangan efisiensi dan kepraktisan?
Untuk hal-hal spiritual jangan mengambil pertimbangan praktis. Di Bali, kita harus mempertimbangkan aspek-aspek nonmaterial seperti kebudayaan dan kesenian. Spiritual merupakan kriteria pokok yang harus dipertimbangkan dalam membangun Bali. Sekarang kan kita dapat rasakan sendiri, di situ (di sekitar Pura Sakenan, red) debu beterbangan, motor meraung-raung, orang tak akan bisa berkonsentrasi dalam sembahyang. Di situ tidak akan ada aspek estetik atau keindahan. Satvam, siwam, dan sundaram itu tidak akan tercapai. Kesucian tak akan bisa terjaga karena terjadi polusi. Jangan ngomong kesucian dalam pikiran saja, lingkungan juga harus suci. Satvam, kebenaran dalam arti energi air itulah suatu kebenaran. Kalau kita berada di tengah sebuah pulau kecil yang dikelilingi air, itu kan sebuah kebenaran. Jadi keharmonisan itu sudah hilang, tak ada sesuatu yang transenden.

Itu berarti juga keberadaan Sakenan kini tidak spesifik lagi?
Ya, intinya, orang pergi ke Sakenan kini tidak merasakan sesuatu yang lain. Padahal, Sakenan itu memang disiapkan untuk lain daripada yang lain. Spiritual itu kan harus menembus batas rutinitas. Harus ada yang lain. Orang Bali kan selalu menciptakan yang lain, menciptakan beratus-ratus dunia budaya Bali, sehingga setiap saat mereka memasuki dunia berbeda. Pada titik tertentu, mereka siap menerima sesuatu apapun yang terjadi atas kehidupan mereka -- dari atas, bawah, dan sebagainya.


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.