411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Saturday, December 20, 2008

NI SEPID (MEN SEPRIN) ISTIRAHAT PANJANG

Pada hari Jumat, 19 Desember 2008, Ni Sepid (Men Seprin) berpulang dengan tenang membawa karma wesananya.
Upacara atiwa-tiwa akan dilaksanakan bertepatan dengan Hari Ibu, Senen, 22 Desember 2008, sebagai perwujudan bhakti anak kepada orang tua....
Semoga karma yang telah beliau perbuat membawanya ke pangkuan Hyang Widhi Wasa..
Namaste,

Wednesday, October 29, 2008

SEPUPU IBU ISTIRAHAT PANJANG

Pada hari yang cerah, langit jernih bak memberikan khabar kepada kita semua bahwa keluarga kita telah selesai menjalankan dharma bhaktinya di Mayapada ini. Adalah saudara sepupu ibu saya I Made Jedog telah menutup mata dan menebar senyum ucapkan selamat tinggal kepada kita yang beliau amanatkan untuk melanjutkan dharma bhakti di Mayapada ini. Hari yang baik di Saniscara Beteng/Pekenan Umanis 25 Oktober 2008 adalah harinya beliau untuk menuju nirwana untuk menghadap bersama karma wesananya.
Untuk upacara atma wedananya akan dilaksanakan oleh prthisentananya pada hari Jumat Beteng/Pekenan Pahing 31 Oktober 2008.
Upacara Atiwa-tiwa ini akan dirangkaikan dengan upacara Penyekahan pada tanggal 6 November 2008. Acara ini disebut Ngelanus (Tumandang Mantri) yaitu proses Atma Wedana dari proses Atiwa-tiwa langsung pada proses Penyekahan. Tingkat penyekahan yang akan diambil adalah Nyekah Nyatur.
Semoga setiap amal beliau mendapat anugrah dan setiap kesalahan mendapat pengampunan dari Hyang Widhi Wasa.

Om Surgantu... Sunyantu.. Moksantu...

Ni Cobek Warga Pasek Gelgel Sawangan Berpulang

Adalah kodrat bagi setiap kehidupan normal pasti akan mengalami hukum TRI KONA...
Di hari yang baik seorang warga Pasek Gelgel Sawangan telah berpulang dengan tenang, tanpa meninggalkan beban sedikitpun. Dia adalah Ni Cobek, keluarga besar Pan Koran, berpulang pada hari Jumat, 17 Oktober 2008. Mengenai acara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Senen, Kajeng Umanis tanggal 20 Oktober 2008.

Monday, August 25, 2008

Ni Putu Junita Laguna Dharma Putri anak I Wayan Lacung telah pulang

Satu lagi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan telah menutup harapannya tumbuh menjadi dewasa.
Menjelang perayaan Pujawali Ida Bhetara Susunan di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, yang jatuh pada hari Selasa Umanis wuku Kuningan (satu hari setelah Pemacekan Agung) tanggal 26 Agustus 2008.
Anak dari I Wayan Lacung dengan Ni Wayan Gunarsi, atmanya telah pergi dari sang raga pada hari Sabtu/ Saniscara Pon tanggal 23 Agustus 2008 dan dikubur pada hari Minggu tanggal 24 Agustus 2008 dengan upacara Ngelungah atas penugrahan Ida Pedanda Oka Griya Timbul.
Belum beranjak dewasa ia telah pergi menuju alamnya....
Belum sempat menikmati arti kebenaran dan kesalahan...
Belum pernah menikmati keindahan dan keburukan...
Ia telah pulang lebih dahulu...
semoga ia tidak lagi menerima punarbhawa....
semoga ia Amoring Acintya....
Namaste,

TANGKIL KE PURA SADKAHYANGAN LEMPUYANG LUHUR


Sadkahyangan Agung Lempuyang Luhur adalah Pura Penyungsungan Jagat Bali Hindu. Kalau ditinjau dari sisi topografi terletak di ujung Timur Pulau Bali, pada suatu dataran tinggi (pegunungan), jelasnya :
Di Banjar/Desa Adat Purwayu, Desa Tista, Kec. Abang, Kab. Karangasem, Bali.
Bila akan memedek ke Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang Luhur, melalui Kec. Abang, ada dua jalur, yaitu :
1. Jalur Kemuda/Purwayu : melalui Desa Ngis Tista, Kemuda, Penataran Agung Lempuyang Luhur di Purwayu, Telaga Mas, Pasar Agung dan akhirnya sampailah di Lempuyang Luhur.
2. Jalur Basangalas; melalui Desa Ngis Tista, Basangalas, Desa/Banjar Gamongan, Telaga Sawangan, Lempuyang Madya (Parahyangan Mpu Gni Jaya) lanjut menuju luhuring Lempuyang Madya, Pucak Bisbis, sampai di Pasar Agung dan dan akhirnya sampai di Lempuyang Luhur.
Jro Mangku Lempuyang Luhur tinggal di Desa Kemuda
Jro Mangku Lempuyang Madya tinggal di Banjar Gamongan.
Pada hari kamis wuku dungulan ini pada tanggal 21 Agustus 2008 saya tangkil ring Ida Bhetara Lempuyang Luhur. Ida Bhetara yang berstana disana sering disebut Ida Bhetara Hyang Agnijaya yang juga disebutkan mengemban Ida Bhetara Hyang Iswara.
Adapun Bhisama Ida Bhetara Hyang Agnijaya yang patut kita hayati adalah sebagai berikut :
"Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring Kahyangan, tan bakti kita, ngedasa temwang sapisan, ring Kahyangan nira Hyang Agni Jaya, moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kneng sahupa drawa."
"artinya Semoga engkau orang Bali, kalau engkau lupa kepada Kahyangan-Ku, tidak menyembah bhakti sekali sepuluh tahun, di Kahyangan Hyang Agni Jaya, semoga tidak lahir sebagai manusia kembali, semoga tiga kali kena kutukan"
Begitulah linging Bhisama Ida Bhetara Hyang Agni Jaya yang selalu menjadi pedoman bagi Umat Hindu di manapun mereka berada. Setidaknya setiap sepuluh tahun Umat Hindu yang berasal dari Bali wajib menghaturkan sembah bhakti kehadapan beliau.
Semoga kita umat sedharma diberikan kekuatan lahir dan bhatin untuk bersujud kehadapan-Nya sehingga kita tan keneng upadrawa.

Thursday, July 24, 2008

SEKILAS GUNUNG BATUR DAN PURA ULUN DANU BATUR



Pada Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.

Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, '' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman, '' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''

''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya. ''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.

''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.

''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''

''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.

Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.

Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

* Jro Mangku I Ketut Riana

Sunday, July 20, 2008

KUTIPAN DARI WEB TETANGGA "SILABAN.NET"


-Pantun ni Ugamo Malim
Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran Tuhan dan melakukannya dalam kehidupannya, memiliki pengharapan kelak ia akan mendapat kehidupan roh suci nan kekal.
-Kata bijak Ugamo Malim
Secara implisit, inilah yang menjadi ajaran suci keyakinan Ugamo Malim atau lebih dikenal dengan Parmalim di Tanah Batak sejak turun temurun, seperti yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos selaku Ulu Punguan (pemimpin spiritual) Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim layak menjadi sebuah agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun kepada Pencipta. Dan secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur.
Hanya saja, peraturan pemerintah membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya berbagai kejanggalan. Misalnya, ketidakadaan dokumen sejarah yang jelas mengenai kapan Parmalim pertama kali diyakini sebagai sebuah kepercayaan di Tanah Batak. Alasan lain, yang tentu saja mengacu pada persepsi umum adalah ketidakadaan kitab suci dan nabi yang jelas berdasarkan kitab suci, yang apabila ada. Di samping itu masih saja ada persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa ajaran Parmalim adalah ajaran sesat.
“Kami bukan penganut ajaran sesat,” kata Naipospos kepada Global ketika dijumpai di kediamannya, Selasa (2/1/07). “Bahkan, ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian,” jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata Parmalim yang berasal dari kata “malim”. Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Oppu Mulajadi Nabolon atau Debata (Tuhan pencipta langit dan bumi). “Maka, Parmalim dengan demikian merupakan orang-orang mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” jelas Marnangkok.
Lantas, apa pasal sehingga aliran ini tidak layak dijadikan sebagai agama resmi? Bahkan, aliran ini dianggap sesat dengan tuduhan sebagai pengikut “sipele begu” (penyembah roh jahat atau setan). “Alasannya jelas,” kata Marnangkok. “Mereka (masyarakat awam dan pemerintah) tidak mengerti siapa sebenarnya yang kami sembah dan luhurkan. Yang kami puja tak lain adalah Oppu Mula Jadi Na Bolon bukan”begu” (roh jahat),” katanya. “Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadap Parmalim.”
Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, sehingga Ia mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya (parhiteon), yakni Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon) serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup menderita. Ia bukan raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin seperti rakyatnya.
Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada Debata.
Hanya saja, hingga kini persepsi umum mengatakan bahwa Parmalim memuja Raja-raja Batak terdahulu dan utusan-utusannya. Tentu saja ini dipandang dari tata cara pelaksanaan setiap ritualnya sangat berbeda dengan ritual agama-agama samawi dan agama lainnya. Mereka menggunakan dupa dan air suci (pagurason) di samping daun sirih untuk ritual khusus.
Namun, dalam menyoal status Parmalim muncul lagi sebuah pertanyaan mengenai sampai kapan keterkungkungan mereka itu akan lepas? Kenyataan menjelaskan bahwa Parmalim selalu diperlakukan secara diskriminatif dalam banyak perolehan akses hidup sebagai warga negara. Contohnya, dalam memperoleh pekerjaan di dinas pemerintahan, izin-izin resmi serta bias sosial yang negatif. Di samping itu tak jarang pula media mengadvokasi eksistensi mereka demi hak-hak dan kebebasan mereka, namun hasilnya tetap nihil.
Di sisi lain, bunyi pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap WNI diberi kebebasan meyakini agama dan kepercayaan nyata-nyatanya belum memberi mereka kebebasan dan hak mereka sebagai WNI.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Demikianlah adanya. Pengalaman mereka menunjukkan, hingga kini mereka merupakan komunitas marginal “original” di Tanah Batak. Aliran Ugamo Malim diyakini sebagian orang sudah ada sebelum ajaran Kristen dan Islam masuk ke daerah itu. Namun, mereka kian terpinggirkan kini.
“Pemerintah menganggap Ugamo Malim bukan sebagai agama, melainkan hanya sebuah budaya yang bersifat religius,” kata Marnangkok.
Alasan ini jugalah yang menjadikan Ugamo Malim belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Seperti kata Marnakkok, akibat keterkungkungan ini banyak pengikutnya yang secara diam-diam mengakui agama lain secara formalitas demi mematuhi birokrasi yang berlaku di pemerintahan, dalam pengurusan KTP dan pekerjaan misalnya. Namun ada juga yang secara formalitas mencatatkan agama lain pada KTP-nya tapi kenyataannya ia tetap mengikuti ajaran Parmalim. Yang terakhir, ada yang samasekali tidak mau keduanya, yaitu tidak mau mengikuti formalitas dan tetap menjalani hidup diskriminatif sebagai Parmalim, seperti Marnagkok sendiri.
Hidup dalam kepasrahanPerjuangan akan kebebasan dan hak, nyatanya bukanlah tanpa kendala. Demikianlah yang terjadi. Bukan hanya tidak adanya pengakuan dari pemerintah maupun masyarakat. Kendala utamanya tak lain adalah ketidakberdayaan mereka.
Marginalisasi komunitas kecil ini (yang hanya 1.400 kepala keluarga, termasuk di seluruh dunia), sudah mengakar dalamnya. Sejak dulu ketidakberdayaan ini diakibatkan sedikitnya pengikut Parmalim yang berkecimpung di lingkungan pemerintahan dan dunia politik.
Hidup dalam kepasrahan. Barangkali itu jugalah intisari dari pernyataan kata bijak Parmalim yang mengatakan: “Baen aha diakkui sude bangso on hita, ia anggo so diakkui Debata pangalahon ta.” (Tidakklah begitu berarti pengakuan semua bangsa terhadap kita, dibandingkan pengakuan Tuhan terhadap perilaku kita).
Seperti apa yang kemudian dijelaskan Marnangkok, “ Untuk apa pengakuan dari setiap bangsa jika Tuhan sendiri tidak mengakui perbuatan kita di dunia ini?” Nampaknya, perjuangan Ugamo Parmalim sudah berujung pada kepasrahan. “Seorang rekan pernah mengusulkan agar mengajukan petisi kepada pemerintah mengenai hal pengakuan ini,” kenangnya menyebut Dr Ibrahim Gultom (kini Pembantu Rektor UNIMED) yang selama 2 tahun pernah meneliti gejala sosial dalam eksistensi mereka dalam tesis doktoralnya “ Ugamo Malim di Tano Batak.” Tapi, saat itu ia menolak.
Dalam kepasrahan ini tentu saja masih ada harapan. Tapi, harapan itu bukanlah berasal dari dunia, melainkan dari Oppu Mula Jadi Nabolon. Dalam harapan itu, ada pula ketaatan untuk selalu mempertahankan hidup suci.
“Kami tidak diakui bukan karena kami telah melakukan kejahatan, melainkan hanya prasangka buruk tentang kami,” katanya. Selanjutnya ia mengucapkan kalimat dalam bahasa Batak, ”Berilah kepada kami penghiburan yang menangis ini, bawalah kami dari kegelapan dunia ini dan berilah kejernihan dalam pikiran kami.”
Mereka yakin Debata hanya akan memberkati orang yang menangis. Nah, dalam kepasrahan yang berpengharapan inilah mereka hidup. Dalam keterasingan itu juga mereka menyerahkan hidupnya pada “kemaliman” (kesucian). “Parmalim adalah mereka yang menangis dan meratap,” katanya.
Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 Titah Ugamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Kewajiban lain di antaranya adalah Martutu Aek, yakni pemandian bayi yang diadakan sebulan setelah kelahiran, Pasahat Tondi yaitu ritual sebulan setelah kematian, Pardebataan, Mangan na Paet dan Pangkaroan Hatutubu ni Tuhan.
Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaran Parmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia dapat bersatu.
Selain itu, Parmalim juga tidak diperbolehkan secara sembarangan menebang pohon. Larangan ini diyakini akan mendatangkan bala apabila tidak diacuhkan. Pasalnya, hutan sebagai bagian dari alam yang sekaligus merupakan ciptaan Tuhan harus dilestarikan. Secara tradisi, apabila seseorang ingin menebang pohon di hutan, haruslah menanam kembali gantinya. Konon, ajaran Parmalim meyakini bahwa terdapat seorang raja yang berkuasa di hutan (harangan) yang lalu dikenal dengan Boru Tindolok (raja harangan).
***
Jika melihat fisik bangunan rumah ibadah Parmalim, maka pada atap bangunan terdapat lambang tiga ekor ayam. Lambang ini, menurut Marnangkok, merupakan lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.
Ketiga ekor ayam itu berbeda warna. Yang pertama, berwarna hitam (manuk jarum bosi) merujuk kepada Batara Guru, putih untuk Debata Sori dan merah untuk Bala Bulan. Sedang masing-masing warna juga memiliki arti tersendiri. Hitam melambangkan kebenaran, putih melambangkan kesucian dan merah adalah kekuatan atau kekuasaan (hagogoon). Kekuatan adalah berkah yang diberikan kepada manusia melalui Bala Bulan yang tujuannya untuk mendirikan “panurirang” (ajaran dan larangan).
Hanya saja, diyakini bahwa Raja Sisingamangaraja adalah utusan Debata yang lahir melalui perantaraan roh Debata kepada Boru Pasaribu. Diyakini pula, pada waktu di Harangan Sulu-sulu sebuah cahaya, yang kemudian diyakini sebagai roh Debata datang kepadanya dan mengatakan, “baen pe naung salpu i roma na tonggi, tarilu-ilu ho sonari, roma silas ni roha.” yang menyatakan bahwa: “Walaupun hari ini engkau menangis namun engkau juga akan merasakan kebahagiaan kelak.”
Boru Pasaribu kemudian mengandung dan dianggap berselingkuh dengan marga asing tetapi kemudian disangkal, sebab pada saat roh Debata hadir dan mengucapkan hal itu kepadanya, ia tak sendirian melainkan turut disaksikan putrinya. Maka kemudian, putra yang terlahir itu (yang kemudian dikenal dengan Raja Sisingamangaraja I), diakui sebagai utusan Debata.
Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunan hingga 12 keturunan. Itu pun secara roh. Hanya saja, hingga kini banyak yang tidak mengakui Raja Sisingamangaraja sebagai nabi bagi Ugamo Malim, melainkan hanya sebagai manusia biasa. Raja Sisingamangaja XII sendiri dikenal sebagai pahlawan Nasional. “Itulah yang menjadi anggapan ganjil terhadap Ugamo Parmalim selama ini,” kata Marnangkok.
Hingga akhir hayat Raja Sisingamaraja XII, keyakinan Ugamo Malim kemudian diturunkan melalui Raja Mulia Naipospos, yang merupakan kakek kandung Marnangkok Naipospos sendiri.
Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima), yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli. Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata Marnangkok.
Begitulah Ugamo Malim dalam ritual dan eksistensinya. Persoalan marginalisasi, kesucian, kontradiksi opini publik hingga harapan mereka, barangkali masih menunjukkan banyak pertanyaan. Namun, setidaknya dalam kepasrahan mereka dapat menikmati sedikit kebebasan di desa mereka sendiri, Hutatinggi. Tapi, hanya sedikit.
Sumber : (Toggo Simangunsong) Harian Global

Monday, June 30, 2008

Ingatlah pesanku ini senantiasa jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah) , penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.

Thursday, June 19, 2008

NENEKKU BERPULANG

Di tengah teriknya matahari saat bulan beranjak penuh, tepatnya pada Purnama Shada rahina Anggara Umanis Wuku Landep, tanggal 17 Juni 2008, nenek dari ibuku telah menutup mata mengembuskan napas terakhirnya dipangkuan kakakku Ni Ketut Sepan. Begitu tenangnya beliau berpulang, seakan tanpa beban dan tidak meninggalkan kekecewaan sedikitpun yang tanpak pada paras wajahnya yang telah semakin kuning.....
Senyum khasnya juga terlukis dalam wajahnya....
Terbujur kaku tubuhnya tidak menyisakan penyesalan dalam perjalanannya pergi menuju sunya loka....
Kini telah sirnalah belaian seorang nenek yang begitu tulus kepada anak cucunya........
Sang anak, menantu dan cucunya hanya mampu berucap selamat jalan semoga "Amoring Acintya"....
Semoga amal kebaikannya menambah tabungan kebajikan menuju Hyang Widhi.....
Om Surgantu....Sunyantu.....Moksantu...
Atiwa-tiwa.... pertanda bhakti sang anak kepada orang tuanya akan dilaksanakan pada Saniscara Paing wuku Ukir Sasih Sada saka warsa 1930, tanggal masehi 28 Juni 2008.
Semoga bhakti sang anak dapat menghantarkan Sang Atman dapat menyatu dengan -Nya....

Namaste,

Friday, May 30, 2008



Mari kita rayakan dengan penuh suka cita hari sucinya ilmu pengetahuan

Monday, May 19, 2008

Om Swastyastu,

Sesuai dengan agama dan tradisi di Bali, manusia Bali Hindu sesungguhnya manusia yang penuh ritual agama yang terbungkus dalam Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya. Ritual agama itu dilakukan terhadap manusia Bali Hindu dari sejak dalam kandungan, dari lahir sampai menginjak dewasa, dari dewasa sampai mulih ke tanah wayah (meninggal).

Pemberkahan demi pemberkahan dilakukan untuknya dengan segala bebantenan serta mantra-mantranya agar munusia Bali Hindu itu menjadi manusia yang berbudi luhur atau memiliki sifat kedewataan di mayapada ini dan bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi di alam vaikunta (alam keheningan).

Inilah daftar ritual agama yang dilakukan manusia Bali Hindu sesuai dengan tradisi di Bali:

1. Pegedong-gedongan - dilakukan saat kehamilan berumur 175 hari ( 6bulan kalender).
Upacara pertama sejak tercipta sebagai manusia.
2. Bayi Lahir - upacara angayu bagia atas kelahiran. Perawatan terhadap ari-ari si bayi.
3. Kepus Puser - bayi mulai diasuh Hyang Kumara.
4. Ngelepas Hawon - dilaksanakan pada bayi berumur 12 hari.
5. Kambuhan - upacara bulan pitung dina (42 hari), perkenalan pertamamemasukkan tempat
suci pemrajan.
6. Nelu Bulanin/Nyambutin - upacara tiga bulanan (105 hari),penekanannya agar jiwatma sang
bayi benar-benar berada pada raganya.
7. Otonan (Oton Tuwun) - upacara saat pertama bayi menginjakan kakinyapada Ibu Pertiwi
(210 hari).
8. Tumbuh Gigi - mohon berkah agar gigi si bayi tumbuh dengan baik.
9. Meketus - si anak sudah tidak lagi diasuh Hyang Kumara (tidak lagimebanten di pelangkiran
Hyang Kumara)
10. Munggah Daha - upacara menginjak dewasa, saat-saat merasakangetaran asmara.
11. Potong Gigi - simbolis pengendalian Sad Ripu.
12. Mawinten - mohon waranugraha utk mempelajari ilmu pengetahuan.
13. Upacara Perkawinan - (a) medengen-dengenan (mekala-kalaan) , (b) natab.
14. Upacara Ngaben/Palebon - pengembalian panca mahabuta.
15. Upacara Nyekah/Malagia - Atma Wedana yang dilanjutkan denganngelingihin Betara Hyang
di pemrajan.
Semua upacara di atas disertai dengan bebantenan sesuai dengan fungsi atau peruntukannya. Daftar ritual agama di atas menunjukkan bahwa manusia Bali Hindu secara tradasi penuh dengan ritual agama. Seolah-olah tiada hidup tanpa ritual agama baik pada dunia maya inimaupun pada dunia akhirat (sekala dan niskala). Jika semua upacara itu bisa diterapkan sesuai dengan aturannya, maka manusia Bali diharapkan menjadi manusia yang memiliki sifat yang mengarah kesifat kedewataan, pergerakan perilaku dari tamasik- rajasik mengarah ke rajasik-satwika atau bahkan pada satwika. Perputaran perilaku itu dapat dihasilkan dari begitu dalam makna tahap demi tahap ritual agama itu utk menghantarkan menjadi manusia yang bersifat rajasik-satwika atau satwika dari getaran-getaran energi positif getaran bebantenan dan mantra-mantranya secara sinergistik.

Dari sekian banyak upacara yang mesti dilakukan, sudah pasti ada variasi penerapannya dalam dunia modern ini dimana manusia termasuk manusia Bali Hindu kena imbas dalam memaknai hidup secara budaya modern. Sepertinya sangat jarang yang menuruti 100% upacara itu, atau bahkan masih banyak yang menerapkannya 100%?

Walaupun demikan manusia Bali masih mendapat penghormatan sebagai manusia dalam pergaulan dalam peran sebagai mahluk sosial. Bahkan ada kesan bahwa orang Bali itu dapat menyejukkan jika bersentuhan dalam berinteraksi sosial dengan mahluk homo sapien di jagat raya ini. Adakah dampak spiritual dari ritual agama itu terhadap pembentukanmanusia Bali Hindu?

Monday, April 21, 2008

Tuesday, April 01, 2008

MEN KONGSI Semeton Pasek Gelgel Sawangan Mepamit

Puniki aturang tityang malih buat kawentenang warga Pasek Gelgel Sawangan, reraman I Wayan Kongsi sane luh (Men Kongsi) sampun ngelintang nyujur nirwana ring rahina anggara tanggal 25 Maret 2008. Kawentenan upacara atiwa-tiwa kalaksanayang ring rahina anggara tanggal 1 April 2008.

Monday, March 24, 2008

SUDHI WADANI

1. Latar belakang Sudhi Wadani Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu ( UUD45 pasal 29 – 2 ) Setiap warga Negara RI dijamin kebebasannya untukmemeluk agama yang dianutnya Walaupun sudah jelas tertulis dalam perundang undangan seperti tersebut diatas, namun sering sekali kendala yang muncul terhadap umat Hindu, didalam melangsungkan pernikahan khususnya bagi umatnya yang berbeda agama, mengingat dalam legalitasnya secara tertulis dirasakanmasih sangat lemahOleh karena itulah Majelis tertinggi agama Hindu mencarikan upaya,agar perkawinan bagi umatnya yang berbeda agama tidak timbul suatupermasalahan dikemudian hari, minimal bisa mengurangi berier dalamwiwaha yang sering munculTujuan utamanya adalah : Agar perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, dapat diakui keesahannya secara hukum Hindu, maupun Undang Undang perkawinan No 1Thn 1974. Dengan mengambil Prakarsa "SUDHI WADANI".Artinya bagi umat yang tadinya bukan pemeluk agama Hindu, kemudian disahkan menjadi pemeluk agama Hindu. Bukan saja karena perkawinan, tetapi juga setiap orang yang sebelumnya tidak beragama Hindu namunmereka mau datang dengan penuh kesadaranya sendiri, tanpa ada unsur pemaksaan dari fihak lain, maupun iming iming yang berlebihan.
Dengan pernyataanya tersebut, yang diwujudkan dengan Sudhi Wadani status mereka tidak bisa diragukan lagi. (mohon diperhatikan paragraf ini, jadi anda yang sudah Hindu sejak lahir Sudhi Wadani tidak perlulagi ). Lihat Upacara Melepas Aon ( hari Ke 12 ) bagi sang bayi, padahari itulah dilaksanakan pembaptisan pertama bagi umat Hindu, yang disertai dengan pemberian Nama & pemasangan Benang Tridatu. (perlambang "Brahma, Wisnu , Iswara" )
2. Pengertian tentang Sudhi Wadani
Secara Etimologi Sudhi Wadani terdiri dari kata : Sudhi dan Wadani.SUDHI,…. Sudha,…berarti bersih, cerah, suci tanpa cacat / cela (mohon didengarkan pada saat Para Pemangku ngemargiang pebersihan /pemerayascita Doa yang biasanya dipakai adalah :
OM Pertama sudha,Dwitya Sudha, Trita Sudha, caturti Sudha, Pamcami Sudha, SaddamiSudha, Sudhami Sapta,…sudha sudha Variwastu Yonamo namah svaha )WADANI = Secara gramatical berarti Perkataan / Wadana = muka, mulut,prilakuSeperti apa yang disurat dalam Nitisatra V.3 berikut ini:
Wasita nimitanta manemu laksmi
Wasita nimitanta manemu duhka
Wasita nimitanta pati kapangguh
Wasita nimitanta manemu mitra
Karena perkataanlah orang itu disebut satya wecana, memperoleh rasa bahagia, memperoleh kesusahan, menemui ajal, dan juga karena perkataan pula engkau bisa memperoleh sahabat
Jadi secara keseluruhan SUDHI WADANI berarti : Adalah suatu upacarayang dilaksanakan oleh Umat Hindu, sebagai pengukuhan atau pengesahan ucapan atau janji seseorang, yang telah datang dengan cara tulus ikhlas, hati suci, dengan tanpa adanya unsur paksaan, telah menyatakan diri untuk memeluk agama Hindu yang disaksikan oleh :
a. Dewa Saksi
b. Manusa Saksi
c. Bhuta aksi-------- --------- Tiga saksi

3. Sarana dan Prasarana Sudhi WadaniSetiap upacara yang dilaksanakan oleh Umat Hindu selalu ditunjangdengan sarana yang disebut dengan upakara yang umumnya dalam bentukmateri yang sudah lazim digunakan adalah sebagai berikut :"Pattram puspham phalam toyam yo me bhakta prayachchati tad aham bahtyupahritam asnami prayatatmanah" Yang standard sesuai dengan sastra adalah seperti itu, sangat diusahakan supaya dilengkapi denganBija / wijaKarena Wija berarti perlambang dari Putra Bhatara Siwa. Padahakekatnya yang disimbulkan dalam Wija itu adalah merupakan kumara,benih keSiwaan diharapkan akan jadi tumbuh subur dari sang SudhiWadani setelah secara jasmani maupun rochani mereka dibersihkan.Pelaksanaan pembersihan akan lebih mantap lagi kalau dilengkapi denganbanten Beyakaon dan Perayascita Selain sesajan yang diperlukan dalam upakara ini, perlu kiranya diperhatikan hal hal sebagai berikut yang merupakan persyaratan Administrasi. Kandidat Sudhi Wadani, membuat surat pernyataan yang tulus ikhlasuntuk menganut agama Hindu ( bermeterai)b. Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Ketua Parisada setempatc. Pasphoto 3 X 4 sebanyak dua lembard. Adanya saksi, saksi, seperti yang ditulis diatas Dalam Sudhi Wadani tidak ada pembatasan umur bagi para calon sudhi Wadani4. Pelaksanaan Sudhi Wadani Setelah menjalankan upacara pembersihan bagi sang calon Sudhi Wadani, lengkapi dengan pemasngan Cirahwista kalau ada, maka kini mulailah sang calon Sudhi wadani untuk menirukan Aksara Suci dengan dupasebagai Upasaksi, & Dupa sebagai penerang, mohon ybs diberikan Tuntunan dalam merapalkan aksara Suci yaitu : ( Dasa Aksara ) OM, SA,BA, TA, A, I, NA, MA, CI, WA, YA, AM, UM, MA, OM
Upacara besar, maupun kecil hal ini adalah mutlak harus diucapkan bagi ybsSetelah peminpin upacara selesai menghaturkan upakara, peminpinupakara membacakan pernyataan yang sudah ditulis oleh yang melakukan sudhi wadani, yang ditirukan oleh calon sudhi wadani sebagai berikut :
a. Om Tat sat ekam eva advityam Brahman. ( Sang Hyang Widi Wasa hanyasatu tak ada duanya )
b. Satyam eva jayate Hanya kebenaran yang Jaya.
Dengan melaksanakan ajaran Agama Hindu, kebahagiaan pasti akan tercapaiKemudian bila hal diatas sudah selesai, yang diSudhikan harus mengucapkan janji sebagai berikut. Bahwa saya akan tunduk dan taat kepada hukum Hindub. Bahwa saya akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga, dan pikiranserta bathin untuk dapat memenuhi kewajiban saya sebagai umat HinduSetelah hal ini selesai diucapkan maka diakhiri dengan penandatanganansurat keterangan Sudhi Wadani, baik oleh ybs maupun para saksi-saksi Diakhiri dengan sembahyang bersama oleh ybs yang diapit oleh parahadirin yang ada dalam upacara tersebut, serta tidak lupa sima-kramaramah tamah ciri khas Agama Hindu

PURA DASAR BHUWANA GELGEL KLUNGKUNG

PURA Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta(Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189 atau tahun 1267 Masehi. Puraini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di Bali. Pada masaKerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormatijasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Khayangan dikelompokkanberdasarkan sejarah. Di mana, pura yang notabene tempat pemujaan dimasa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura DangKahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskandari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.Pura atau Ashram dibangun pada tempat di mana Maharsi melakukan yogasemadi. Itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Maharsi.Seperti Pura Silayukti di Karangasem. Silayukti diyakini sebagaitempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan Pura Dasar BhuanaGelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu Ghana. Di purainilah Mpu Ghana yang notabene seorang Brahmana yang memiliki peranpenting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi (berparahyangan) .''Sebagaimana namanya, Pura Dasar Bhuana merupakan dasar jagatnyaBali. Kalau pura luhur, jumlahnya banyak. Pura Dasar Bhuanasatu-satunya pura dasar di Bali,'' ungkap Sekretaris Pengeling PuraDasar Bhuana Gelgel A.A. Gde Anom Wijaya. Selain sebagai DangKahyangan, pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari KotaSemarapura, Klungkung itu juga merupakan pusat panyungsungan caturwarga yang berasal dari soroh/klan di antaranya soroh/klan SatriaDalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi), soroh Pande (MahasamayaWarga Pande) dan klan Brahmana Siwa. Semuanya merupakan pengabih IdaBatara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.Masing-masing warga memiliki panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas-- panyungsungan Para Arya dan Satria Dalem. Meru Tumpang Tiga --panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang menurunkan trah Pasek. MeruTumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande. Padma Tiga yang beradadi antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia (sembilna),panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh/klan yang ada didalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengankonsep bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaulagusti menunggal''. ''Konsep itu sangat terasa begitu masuk ke puraitu,'' tandas Agung Gde Anom Wijaya. Pegawai di Dinas Kebudayaan danPariwisata (Disbudpar) Klungkung itu menyebutkan, ketika manusiaberada di hadapan-Nya, tidak ada lagi istilah perbedaan trah. Pande,Pasek atau Satria Dalem, semuanya sama.Pura yang dibangun di atas areal cukup luas itu, juga menjadipanyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranya Subak Pegatepan,Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan saatKarya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang bertepatan dengan PurnamaKapat. Agung Anom Wijaya juga menambahkan, Pura Dasar Bhuana sempatdijadikan objek penelitian oleh peneliti asal Belanda. Di mana,hasilnya diyakini bahwa situs Pura Dasar Bhuana Gelgel hampir miripdengan situs bekas Kerajaan Majapahit. ''Katanya Gelung Kori Agungmirip dengan Gelung Kori Kerajaan Majapahit,'' sebutnya.Pura Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar,berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri di atas lahan yangcukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuanamemiliki tiga mandala -- Nista Mandala, Madya Mandala dan UtamaMandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran pohon beringinbesar yang tumbuh sejak berabad-abad lamanya.Masuk ke Madya Mandala, pamedek bisa melihat bangunan-bangunan berupaPelinggih Bale Agung. Pelinggih ini tampak unik karena panjangnyamencapai 12 meter. Bersebelahan dengan Bale Pesanekan dan pelinggihtempat berstanakan seluruh petapakan dan pratima Pura-pura yang ada diDesa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan itu tedun dandistanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba) yangdilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat.Sementara di Utama Mandala terdapat belasan pelinggih di antaranyaMeru Tumpang Solas, Meru Tumpang Telu, Padma Tiga dan banyak lagipelinggih lainnya. Dalam setahun, ada dua wali/karya digelar yakniwali bertepatan dengan Pamacekan Agung, serta wali/karya Padudusanyang jatuh pada Purnama Kapat.Pura Dasar Bhuana di-empon Desa Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28banjar dan tiga desa dinas -- Desa Gelgel, Desa Kamasan dan DesaTojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan keberadaan KeratonSuwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun, jika melihattahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel diperintahraja pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakanwarisan maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267Masehi.Sebagaimana sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat kaitannya dengan MpuGhana yang hidup pada akhir abad IX Masehi. Pura Dasar Bhuana dibangunMpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatika sebagai bentuk penghormatanterhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan seorang brahmana dengan peransangat besar terhadap perkembangan agama Hindu di Bali.Empu Ghana adalah orang suci yang berasal dari Jawa. Tiba di Bali padamasa pemerintahan (suami-istri) Udayana Warmadewa dan GunaprayaGharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Empu Ghana merupakanbrahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidup menjalankan ajaranSukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak menikah).Kaitannya setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakaisebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis beradadi timur laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapuraberdiri di Banjar Jero Agung, Gelgel.''Letak pura ini berada di hulu Keraton Suwecapura. Dulunya,disungsung keluarga Raja Gelgel,'' tutur Agung Anom Wijaya. Pura inimemang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Suwecapura. Sejumlahsitus peninggalan Kerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan di puraini sampai sekarang.

Saturday, March 08, 2008

ketika nilai luhur budaya telah pudar......
ketika akal manusia terkontaminasi...
ketika hayalan telah sirna.....
maka bumi terasa hampa dari nilai-nilai luhur budaya bangsa......
anak tidak lagi ingat pada orang tua...
saudara telah melupakan adik kakaknya....
yang kaya menjadi raja segala raja.....
yang miskin menjadi pelabuhan kemarahan dan emosi....
sopan dan santun seolah bukan kewajiban bagi mereka yang berlencana kebijaksanaan...
pertanda apakah ini.......
inikah yang disebut yuganya kali ?....
ataukah karena proses evolusi tabiat..... bagi semua mahluk ciptaan-Nya....
Selamatkanlah kami ya Tuhan......
Selamatkan kami dari keriuhan dan kegelapan ini....
nyalakanlah lentera-Mu, hingga kami temukan dian yang menuntun kami ke arah-Mu...
Ya Tuhan, Engkaulah kehendak dari semua kehendak.....
hendaknyalah Engkau menuang setetes air surgawi.... bagi kami yang sarat akan pengetahuan-Mu...
Ya Tuhan..... Engkau adalah pemaaf dari segala kesalahan....
Maafkanlah kiranya kami... yang tak pernah jauh dari garis kekeliruan-Mu...
Engkau yang mencipta.. Engkau pulalah yang kami harapkan untuk meleburnya....
hingga kami bisa bersama-Mu....
Suka tanpa wali dukita
Amoring Acintya......
Namaste,

Thursday, February 21, 2008

Mantan Jro Bendesa PemingeBerpulang

Adalah sudah ditakdirkan adanya perputaran..TRI KONA..
Utpeti, Stiti Pralina adalah merupakan perputaran yang abadi sebagai suatu siklus yang tak terhindarkan. Tak dapat dijauhi dan tak pula dapat dipercepat.
Oleh karenanya Beliau yang telah mengabdi kepada Desa Adat yang mapepasih I Wayan Rentok tak terhindar dari siklus tersebut. Beliau telah berpulang dengan tenang tanpa menyisakan beban apaun pada hari Wrahaspati nemonin Purnama Raya sasih Kesanga tanggal 21 Februari 2008.
Semoga berpulangnya beliau kepada-Nya dapat bersatu dengan-Nya (Amoring Acintya) seiring tabungan kebajikan yang beliau miliki. Dan akhirnya mereka yang ditinggalkan semoga diberikan ketenangan dan ketabahan hati.
namaste,


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.