411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Thursday, July 24, 2008

SEKILAS GUNUNG BATUR DAN PURA ULUN DANU BATUR



Pada Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.

Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, '' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman, '' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''

''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya. ''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.

''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.

''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''

''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.

Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.

Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

* Jro Mangku I Ketut Riana

Sunday, July 20, 2008

KUTIPAN DARI WEB TETANGGA "SILABAN.NET"


-Pantun ni Ugamo Malim
Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran Tuhan dan melakukannya dalam kehidupannya, memiliki pengharapan kelak ia akan mendapat kehidupan roh suci nan kekal.
-Kata bijak Ugamo Malim
Secara implisit, inilah yang menjadi ajaran suci keyakinan Ugamo Malim atau lebih dikenal dengan Parmalim di Tanah Batak sejak turun temurun, seperti yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos selaku Ulu Punguan (pemimpin spiritual) Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim layak menjadi sebuah agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun kepada Pencipta. Dan secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur.
Hanya saja, peraturan pemerintah membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya berbagai kejanggalan. Misalnya, ketidakadaan dokumen sejarah yang jelas mengenai kapan Parmalim pertama kali diyakini sebagai sebuah kepercayaan di Tanah Batak. Alasan lain, yang tentu saja mengacu pada persepsi umum adalah ketidakadaan kitab suci dan nabi yang jelas berdasarkan kitab suci, yang apabila ada. Di samping itu masih saja ada persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa ajaran Parmalim adalah ajaran sesat.
“Kami bukan penganut ajaran sesat,” kata Naipospos kepada Global ketika dijumpai di kediamannya, Selasa (2/1/07). “Bahkan, ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian,” jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata Parmalim yang berasal dari kata “malim”. Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Oppu Mulajadi Nabolon atau Debata (Tuhan pencipta langit dan bumi). “Maka, Parmalim dengan demikian merupakan orang-orang mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” jelas Marnangkok.
Lantas, apa pasal sehingga aliran ini tidak layak dijadikan sebagai agama resmi? Bahkan, aliran ini dianggap sesat dengan tuduhan sebagai pengikut “sipele begu” (penyembah roh jahat atau setan). “Alasannya jelas,” kata Marnangkok. “Mereka (masyarakat awam dan pemerintah) tidak mengerti siapa sebenarnya yang kami sembah dan luhurkan. Yang kami puja tak lain adalah Oppu Mula Jadi Na Bolon bukan”begu” (roh jahat),” katanya. “Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadap Parmalim.”
Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, sehingga Ia mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya (parhiteon), yakni Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon) serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup menderita. Ia bukan raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin seperti rakyatnya.
Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada Debata.
Hanya saja, hingga kini persepsi umum mengatakan bahwa Parmalim memuja Raja-raja Batak terdahulu dan utusan-utusannya. Tentu saja ini dipandang dari tata cara pelaksanaan setiap ritualnya sangat berbeda dengan ritual agama-agama samawi dan agama lainnya. Mereka menggunakan dupa dan air suci (pagurason) di samping daun sirih untuk ritual khusus.
Namun, dalam menyoal status Parmalim muncul lagi sebuah pertanyaan mengenai sampai kapan keterkungkungan mereka itu akan lepas? Kenyataan menjelaskan bahwa Parmalim selalu diperlakukan secara diskriminatif dalam banyak perolehan akses hidup sebagai warga negara. Contohnya, dalam memperoleh pekerjaan di dinas pemerintahan, izin-izin resmi serta bias sosial yang negatif. Di samping itu tak jarang pula media mengadvokasi eksistensi mereka demi hak-hak dan kebebasan mereka, namun hasilnya tetap nihil.
Di sisi lain, bunyi pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap WNI diberi kebebasan meyakini agama dan kepercayaan nyata-nyatanya belum memberi mereka kebebasan dan hak mereka sebagai WNI.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Demikianlah adanya. Pengalaman mereka menunjukkan, hingga kini mereka merupakan komunitas marginal “original” di Tanah Batak. Aliran Ugamo Malim diyakini sebagian orang sudah ada sebelum ajaran Kristen dan Islam masuk ke daerah itu. Namun, mereka kian terpinggirkan kini.
“Pemerintah menganggap Ugamo Malim bukan sebagai agama, melainkan hanya sebuah budaya yang bersifat religius,” kata Marnangkok.
Alasan ini jugalah yang menjadikan Ugamo Malim belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Seperti kata Marnakkok, akibat keterkungkungan ini banyak pengikutnya yang secara diam-diam mengakui agama lain secara formalitas demi mematuhi birokrasi yang berlaku di pemerintahan, dalam pengurusan KTP dan pekerjaan misalnya. Namun ada juga yang secara formalitas mencatatkan agama lain pada KTP-nya tapi kenyataannya ia tetap mengikuti ajaran Parmalim. Yang terakhir, ada yang samasekali tidak mau keduanya, yaitu tidak mau mengikuti formalitas dan tetap menjalani hidup diskriminatif sebagai Parmalim, seperti Marnagkok sendiri.
Hidup dalam kepasrahanPerjuangan akan kebebasan dan hak, nyatanya bukanlah tanpa kendala. Demikianlah yang terjadi. Bukan hanya tidak adanya pengakuan dari pemerintah maupun masyarakat. Kendala utamanya tak lain adalah ketidakberdayaan mereka.
Marginalisasi komunitas kecil ini (yang hanya 1.400 kepala keluarga, termasuk di seluruh dunia), sudah mengakar dalamnya. Sejak dulu ketidakberdayaan ini diakibatkan sedikitnya pengikut Parmalim yang berkecimpung di lingkungan pemerintahan dan dunia politik.
Hidup dalam kepasrahan. Barangkali itu jugalah intisari dari pernyataan kata bijak Parmalim yang mengatakan: “Baen aha diakkui sude bangso on hita, ia anggo so diakkui Debata pangalahon ta.” (Tidakklah begitu berarti pengakuan semua bangsa terhadap kita, dibandingkan pengakuan Tuhan terhadap perilaku kita).
Seperti apa yang kemudian dijelaskan Marnangkok, “ Untuk apa pengakuan dari setiap bangsa jika Tuhan sendiri tidak mengakui perbuatan kita di dunia ini?” Nampaknya, perjuangan Ugamo Parmalim sudah berujung pada kepasrahan. “Seorang rekan pernah mengusulkan agar mengajukan petisi kepada pemerintah mengenai hal pengakuan ini,” kenangnya menyebut Dr Ibrahim Gultom (kini Pembantu Rektor UNIMED) yang selama 2 tahun pernah meneliti gejala sosial dalam eksistensi mereka dalam tesis doktoralnya “ Ugamo Malim di Tano Batak.” Tapi, saat itu ia menolak.
Dalam kepasrahan ini tentu saja masih ada harapan. Tapi, harapan itu bukanlah berasal dari dunia, melainkan dari Oppu Mula Jadi Nabolon. Dalam harapan itu, ada pula ketaatan untuk selalu mempertahankan hidup suci.
“Kami tidak diakui bukan karena kami telah melakukan kejahatan, melainkan hanya prasangka buruk tentang kami,” katanya. Selanjutnya ia mengucapkan kalimat dalam bahasa Batak, ”Berilah kepada kami penghiburan yang menangis ini, bawalah kami dari kegelapan dunia ini dan berilah kejernihan dalam pikiran kami.”
Mereka yakin Debata hanya akan memberkati orang yang menangis. Nah, dalam kepasrahan yang berpengharapan inilah mereka hidup. Dalam keterasingan itu juga mereka menyerahkan hidupnya pada “kemaliman” (kesucian). “Parmalim adalah mereka yang menangis dan meratap,” katanya.
Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 Titah Ugamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Kewajiban lain di antaranya adalah Martutu Aek, yakni pemandian bayi yang diadakan sebulan setelah kelahiran, Pasahat Tondi yaitu ritual sebulan setelah kematian, Pardebataan, Mangan na Paet dan Pangkaroan Hatutubu ni Tuhan.
Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaran Parmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia dapat bersatu.
Selain itu, Parmalim juga tidak diperbolehkan secara sembarangan menebang pohon. Larangan ini diyakini akan mendatangkan bala apabila tidak diacuhkan. Pasalnya, hutan sebagai bagian dari alam yang sekaligus merupakan ciptaan Tuhan harus dilestarikan. Secara tradisi, apabila seseorang ingin menebang pohon di hutan, haruslah menanam kembali gantinya. Konon, ajaran Parmalim meyakini bahwa terdapat seorang raja yang berkuasa di hutan (harangan) yang lalu dikenal dengan Boru Tindolok (raja harangan).
***
Jika melihat fisik bangunan rumah ibadah Parmalim, maka pada atap bangunan terdapat lambang tiga ekor ayam. Lambang ini, menurut Marnangkok, merupakan lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.
Ketiga ekor ayam itu berbeda warna. Yang pertama, berwarna hitam (manuk jarum bosi) merujuk kepada Batara Guru, putih untuk Debata Sori dan merah untuk Bala Bulan. Sedang masing-masing warna juga memiliki arti tersendiri. Hitam melambangkan kebenaran, putih melambangkan kesucian dan merah adalah kekuatan atau kekuasaan (hagogoon). Kekuatan adalah berkah yang diberikan kepada manusia melalui Bala Bulan yang tujuannya untuk mendirikan “panurirang” (ajaran dan larangan).
Hanya saja, diyakini bahwa Raja Sisingamangaraja adalah utusan Debata yang lahir melalui perantaraan roh Debata kepada Boru Pasaribu. Diyakini pula, pada waktu di Harangan Sulu-sulu sebuah cahaya, yang kemudian diyakini sebagai roh Debata datang kepadanya dan mengatakan, “baen pe naung salpu i roma na tonggi, tarilu-ilu ho sonari, roma silas ni roha.” yang menyatakan bahwa: “Walaupun hari ini engkau menangis namun engkau juga akan merasakan kebahagiaan kelak.”
Boru Pasaribu kemudian mengandung dan dianggap berselingkuh dengan marga asing tetapi kemudian disangkal, sebab pada saat roh Debata hadir dan mengucapkan hal itu kepadanya, ia tak sendirian melainkan turut disaksikan putrinya. Maka kemudian, putra yang terlahir itu (yang kemudian dikenal dengan Raja Sisingamangaraja I), diakui sebagai utusan Debata.
Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunan hingga 12 keturunan. Itu pun secara roh. Hanya saja, hingga kini banyak yang tidak mengakui Raja Sisingamangaraja sebagai nabi bagi Ugamo Malim, melainkan hanya sebagai manusia biasa. Raja Sisingamangaja XII sendiri dikenal sebagai pahlawan Nasional. “Itulah yang menjadi anggapan ganjil terhadap Ugamo Parmalim selama ini,” kata Marnangkok.
Hingga akhir hayat Raja Sisingamaraja XII, keyakinan Ugamo Malim kemudian diturunkan melalui Raja Mulia Naipospos, yang merupakan kakek kandung Marnangkok Naipospos sendiri.
Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima), yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli. Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata Marnangkok.
Begitulah Ugamo Malim dalam ritual dan eksistensinya. Persoalan marginalisasi, kesucian, kontradiksi opini publik hingga harapan mereka, barangkali masih menunjukkan banyak pertanyaan. Namun, setidaknya dalam kepasrahan mereka dapat menikmati sedikit kebebasan di desa mereka sendiri, Hutatinggi. Tapi, hanya sedikit.
Sumber : (Toggo Simangunsong) Harian Global


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.