411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, December 28, 2009

I RUPEK (Kak Luweng) Berpulang menghadap Hyang Kuasa

tattwatma naryatma
Swadah Ang Ah
Om swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu
Om ksàma sampurnàya namah swàha

Pada hari minggu Wage sasih kepitu Wuku Uye tanggal 27 Desember 2009, Ayah I Wayan Rubag telah menutup usianya dengan tenang setelah mengalami sakit kurang lebih 6 tahunan...
Upacara atiwa-tiwa akan dilaksanakan pada hari Sukra Wage Wuku Uye tanggal 1 Januari 2010.

Thursday, December 24, 2009

Kematian Bentuk Awal Kelahiran....

Life can be found only in the present moment.
The past is gone, the future is not yet here,
and if we do not go back to ourselves in the present moment,
we cannot be in touch with life....
~ Thich Nhat Hanh.
Kita tahu kalau jasad yang kita kenakan ini terbuat dari sari-sari unsur alam material yang notabene adalah benda-mati. Dan kitapun tahu, tanpa dukungannya, tanpa dukungan benda-mati itu —kalaupun seandainya dimungkinkan— kehidupan ini menjadi tidak lengkap seperti apa adanya kini bukan? Benda-benda mati itu, segenap unsur mahabhuta itu, mendukung kehidupan. Dan ini fakta.
Kebanyakan dari kita seringkali mempertentangkan antara hidup dan mati. Padahal mereka sebetulnya tidak bertentangan. Bukan saja benda-benda mati mendukung kehidupan, yang juga berarti mesti ada kematian guna berlangsungnya kehidupan, namun mereka juga berdampingan, menjalin suatu kerja-sama yang —mungkin buat sementara kita— terlihat misterius.
Sebutir telur mesti mati untuk memungkinkan lahir dan hidupnya seekor ulat; dan ulatpun mesti mati demi eksistensi sebuah kepompong, yang pada saatnya juga akan mati demi kelahiran dan kehidupan seekor kupu-kupu yang indah. Kematian mengiringi kelahiran, kehidupan. Kematianlah yang memungkinkan lahirnya sebentuk kehidupan —yang boleh jadi— sama-sekali baru, sama-sekali lain, sama-sekali berbeda dengan yang dikenal sebelumnya. Makanya, Anda dan saya mesti mati demi kelahiran ‘yang tak dikenal’ itu, ‘yang misterius’ itu.

Bali, Sabtu, 09 Februari 2008.
Oleh Ngestoe Raharjo..

Wednesday, December 09, 2009

MEN JULI MENUTUP MATA SELAMANYA

Pada hari Senin Wage menjelang Anggarkasih tgl 7 Desember 2009 Ni Wayan Mungkeg ( Men Juli) menutup mata untuk selamanya.
Entah bagaimana kita harus menerima perputaran kehidupan, tetapi mau tidak mau kita harus menerimanya, walaupun itu sebagai beban ataukah sebagai anugrah...
Kehidupan memang seperti pagi menuju senja...
harus kita lakoni dan kita sadari, sebagai umat-Nya...
Sekian banyak pengabdian yang telah ia lakukan, semoga mendapat pahala yang layak di alam sana.
Namaste,

Thursday, November 26, 2009

Sebentuk Korban-suci

Saya tahu, bahwa hal ini tidak dapat dibuktikan dengan alasan-alasan.

Ia akan dibuktikan oleh orang-orang yang menjalankan hukum ini

dengan tak menghiraukan akibat-akibat yang mungkin terjadi bagi diri mereka sendiri.

Tak ada kemajuan, jika tidak ada pengorbanan.

Dan oleh karena pelaksanaan hukum ini adalah kemajuan yang terbesar,

maka pengorbanan yang diberikan seharusnya menjadi

suatu pengorbanan yang sebesar-besarnya juga.

~ Mahatma Gandhi.


Walau tak semua orang ingin diistimewakan, agaknya tidak ada yang suka diabaikan begitu saja. Jangankan orang, kucing peliharaan kita saja akan uring-uringan kalau diabaikan. Ketika kita memutuskan untuk memeliharanya, kita wajib memberinya seporsi perhatian, kepedulian, menyediakan waktu secukupnya buat bercengkerama dengannya pada waktu-waktu tertentu; jelas tidak cukup hanya dengan mencukupinya dengan pangan-kinum, yang bisa dilakukan oleh pembantu rumah-tangga kita saja misalnya, atau bahkan oleh siapa saja. Kewajiban melekat ini merupakan konsekuensi dari keputusan kita untuk memeliharanya bukan?

Demikian pula halnya dengan memelihara hubungan baik di antara sesama. Memulai sebuah hubungan dengan seseorang boleh jadi tidak begitu sulit; tapi memeliharanya, sesuatu yang lain. Dibutuhkan kesungguhan, dibutuhkan sejenis komitmen ‘Aku memang benar-benar hendak menjalin tali persahabatan dengannya’. Dimana di dalamnya boleh jadi dibutuhkan sejenis kerelaan mengorbankan bentuk-bentuk materi maupun non-materi, dibutuhkan tenggang-rasa, ketulusan, dibutuhkan kesetiaan atau loyalitas atau bahkan seporsi solidaritas atau yang sejenisnya.

Kalau kita kebetulan sebakat, sehobi, seminat, seprofesi, seidola, seideologi, seagama, sepandangan, mungkin suatu jalinan persahabatan tidaklah begitu sulit dipelihara dan dijalin dengan baik. Namun faktanya, mereka yang bersaudara kandungpun belum tentu bisa bersahabat, atau pasangan suami-istripun belum tentu bisa menjalinan tali persahabatan dengan baik, padahal kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi mereka. Kenapa? Kenapa tidak mudah bagi kita semua buat menjalin dan memelihara sebuah jalinan persahabatan?

Rendahnya sifat altruistis juga berarti tingginya sifat egoistis. Mereka bak ujung-ujung yang berseberangan dari sebatang tuas-jungkit. Kalau ujung yang satu naik, ujung lainnya pasti turun. Dan tidak layaknya tuas-jungkit fisikal, menyeimbangkannya bukanlah suatu pilihan yang tersedia. Meningkatnya kadar altruisme seseorang, kadar egoismenya otomatis menurun tanpa mesti sengaja ditekan-tekan. Oleh karenanya, ‘mengikis egoisme’ juga merupakan sebentuk ‘korban-suci’, sebentuk yajña.

Pada dasarnya, menjalin tali persahabatan atau tali persaudaran dengan semua makhluk-hidup dan lingkungan alam merupakan sebentuk ‘korban-suci’ yang menyucikan batin.

Bali, Jumat, 20 Februari 2009.

Oleh Ngestoe Raharjo - BECEKA (Berkas Cahaya Kesadaran)

Wednesday, November 25, 2009

Leak Pakai Panca Aksara


Bentuk Endih Leak

Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali.
Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada?, apa betul leak itu menyakiti? Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Tidak gampang mempelajari ilmu leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak juga sama dengan ilmu yang lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.

Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia.

Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti. Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak. Seperti yang dikatakan diatas leak itu memang ada sesuai dengan tingkatan ilmunya termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka lagi latihan atau lagi bercengkrama dengan leak lainnya baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya endih itu pada saat malam hari khususnya tengah malam. Harinya pun hari tertentu tidak sembarangan orang menjalankan untuk melakukan ilmu tersebut.

Mengapa ditempat angker? Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana. Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri. Bentuk endih leak ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada seperti bola, kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). Ilmu ini juga memegang etika yang harus dipatuhi oleh penganutnya.

Endih leak ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya, kalau endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Kalau yang pernah melihatnya, endih berjalan sesuai dengan arah mata angin, endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam.

Warnanya pun berbeda, kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan endih itu berjalan sedangkan penerangan biasanya warna satu dan diam.
Karena endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet. Ilmu leak tidak menyakiti. Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas.

Dan endih tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda.
Endih leak bersifat niskala, tidak bisa dijamah.

Leak Shoping di Kuburan

Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.

  • Si adalah mencerminkan Tuhan
  • Wa adalah anugrah
  • Ya adalah jiwa
  • Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
  • Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa

Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut.
Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar. Ini pula alasannya orang ngeleak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut endih. Bola cahaya melesat dengan cepat. Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu)

Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Jangan salah, dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya.
Sebab tidak semua orang bisa melihat endih. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati. Orang ngeleak hanya shoping-nya di kuburan (pemuwunan). Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya. Begini bunyi doa leak memberikan berkat :

Ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.

Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Nah, di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan.

Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian?
Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan.

Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak. Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api. Leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah. Leak Siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.

Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran. Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.

Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri).

Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.
Pengiwa banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di lab. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya, ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni…bla…bla…..

Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.

Sumber: Lontar Panestian: koleksi pribadi : dari Jro Mangku Wayan Sudarma

Tuesday, November 24, 2009

SAYA SUDAH PUNYA CUCU

Anak dari ponakan I Wayan Hendra telah lahir hari Senen tanggal 23 Nopember 2009 sore hari.
Semoga kelahirannya menjadi anak yang suputra.
Taat akan jalan agamanya dan aturan negaranya...

Semoga...

Namaste,

Friday, November 06, 2009

MEN SEPUT MENUTUP MATA SELAMANYA

Kematian adalah mutlak adanya....
Oleh karenanya kelahiran menunggu kematian.....
Hidup harusnya mengabdi kepada kehidupan, sehingga kita bebas dari kelahiran....

Tapi mereka yang telah lahir akan kembali kepada lingkaran kematian...

Begitu pula Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang bernama Men Seput meninggal hari Rabu, Wage Wuku Langkir, 28 Oktober 2009, bertepatan dengan Upacara Medudus Alit di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dan upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 5 November 2009, bersamaan dengan Upacara Atiwa-tiwa Men Ronteg, yang meninggal beberapa hari sebelumnya.

Semoga apa yang ia abdikan di dunia ini mendapat manfaat yang baik buat bekal ia di alam sana.

Namaste,

Wednesday, November 04, 2009

Kelahiran Anak Kedua

Adalah suatu anugrah yang paling berharga bagi semua orang yang telah mendapatkan kelahiran buah hatinya.....
Begitu pula saya yang telah mendapat anak kedua, merasa bahagia walaupun sedikit berat untuk memberikan penghidupan yang layak...
Tetapi sungguh sangat bahagia sekali, dan tak ingin rasanya berhenti bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa....
Dia lahir tanggal 31 Oktober 2009 dini hari pukul 03.00 Wita dengan panjang 50 Cm dan berat 2.90 Kg di Wing International Sanglah Denpasar oleh Dr. Mega Putra (Dokter Bedah) dan Dr. AA. Widnyana (Dr. Anak). Dengan kelahiran Caesar ia punya kondisi yang astungkara sehat begitu pula ibunya. Semoga Hyang Widhi selalu memberikan yang terbaik buat kita semua...
Kelahirannya juga tak terlepas dari bantuan dokter, perawat serta yang utama sekali yaitu paman-paman serta bibi-bibinya....
Pak Nyoman-nya (Komang Sugita - Camel) dengan penuh kesabaran dan ketulusan telah banyak membantu kelahirannya karna ia telah mengantar dan sampai menjemputnya ke rumah sakit.
Tak ketinggalan Neneknya ( Ni Wayan Nambreg) juga punya jasa yang luar biasa, karna telah menunggui dari sejak ia lahir sampai akhirnya pulang ke rumah serta Nenek dan Kakek dari ibunya juga banyak membantu...
Sekianlah orang-orang dan banyak lagi yang lain yang telah banyak membantu atas kelahirannya anak kedua saya..
Terima kasih buat semuanya, semoga selalu mendapat kesehatan dan karunia-Nya..
Namaste,

Tuesday, October 13, 2009

MAKNA PERAYAAN HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Om Swastyastu

Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmānaṁ sṛjāmy aham” - Kapanpun dan di manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharmam merajalela, pada waktu itulāh Aku Sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bhārata) Bhagavadgītā 4.7.



Pendahuluan
Setiap 210 hari sekali berdasarkan penanggalan Bali-Jawa (Javano-Balinese Calender) yakni pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan Umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Galungan dan sepuluh hari kemudian akan disusul dengan perayaan Kuningan. Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran (Dharma) dalam diri manusia. Disamping itu juga berarti kemampuan untuk membedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad) karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan sebagai berikut : "Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacuan pikiran" Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacuan pikiran (byaparaning idep) adalah wujud Adharma.

Rangkaian Perayaan
Hari Raya Galungan dan Kuningan di India dikenal dengan berbagai nama, di antaranya adalah Śraddhā Vijaya Daśami, Durgāpūjā atau Mahanavami. Berdasarkan data prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turuñan Prasasti yang berasal dari tahun 813 Śaka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan di māgha mahānavamī (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di māgha mahānavamī berarti perayaan Māgha Mahānavamī. Di India Mahānavami identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur (Dubois, 1981:569). Swami Śivānanda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan Dūrgāpūjā yang dirayakan dua kali setahun, yakni Rāmanavarātrī atau Rāmanavamī pada bulan Caitra (April-Mei), dan Dūrgānavarātrī atau Dūrgānavamī pada bulan Asuji (September-Oktober) . Perayaan ini disebut juga Vijaya Daśami atau Śrāddha Vijaya Daśami yang dirayakan selama sepuluh hari, seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Indonesia. Hari Raya Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat , Budha Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar "Purana Bali Dwipa"

Rangkaian perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan rangkaian perayaan yang paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu.

1. Rangkaian itu dimulai ketika hari Tumpek Pengarah atau Pengatag, yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Śaṅkara (nama lain Dewa Śiva) sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan

2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba yaitu; Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

3. Sugihan Bali; Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.

4. Panyekeban – puasa I; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan. Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang atau tape untuk banten.

5. Penyajaan – puasa II; Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.

6. Penampahan – puasa III; Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri

7. Galungan – lebar puasa; Hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.

8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi hari iniumat Hindu wajib mewartakan-menyampa ikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu: Dharma Cara- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam Vada – mengatakan dengan kesungguhan daan kejujuran.

9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknyanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan filosofisnya.

10. Sepuluh hari setelah Galungan disebut Kuningan merupakan tonggak kembalinya para dewata dan roh suci leluhur menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan endongan.

Makna Penjelmaan
Menjelma sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya. Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain. Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia adalah tantangan yang datang dalam dirinya sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dari Daivisampad yang disebut Asurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antara sifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya. Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan Dharma. Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kemenangan pada kebajikan atau Dharma inilah diperingati melalui perayaan Galungan dan Kuningan, yang di India dikenal sebagai kejayaan Durga berhadapan dengan raksasa Raktawijaya, atau kemenangan Sri Rama berhadapan dengan raksasa Rawana yang dirayakan dalam upācara Durgapuja atau Dipawali yang sejenis dengan perayaan Galungan dan Kuningan di Indonesia. Pertarungan yang berlangsung sepanjang sejarah manusia itu, diamanatkan supaya umat manusia senantiasa berpihak dan perpegang kepada Dharma sebagai diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut:
“Dharmo viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti, Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ, pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ paramaṁ vadanti” - “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta ini.Seluruh dunia dan segenap umat manusia hendaknya selalu bergairah mengikuti ajaran Dharma. Yang mengikuti ajaran Dharma terbebas dari segala dosa. Segala sesuatunya akan berjalan mantap bila di jalan Dharma. Untuk itu patutlah Dharma itu disebut ajaran yang tertinggi”

Demikian pula di dalam Manavadharmaśāstra VIII.15 dinyatakan: Dharma Raksati Dharma Raksitah yang artinya mereka yang selalu melaksanakan Dharma, dilindungi oleh Dharma. Adpun terjemahan lengkapnya adalah sebagai berikut.

“Dharma eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo dharmo hato’vadhīt” - “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya. Dharma yang dilaksanakan melindungi pelaksananya, oleh karena itu janganlah melanggar Dharma, sebab bagi yang melanggar Dharma akan menghancurkan dirinya sendiri”

Memenangkan Dharma
Bagaimana kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang. Dalam era globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Dalam Hindu, dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi). Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air, melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwa Kama, di samping juga Lobha dan Krodha adalah tiga pintu gerbang yang mengantarkan Atma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu, Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.
Bagaimana caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab Taittiriya Upanisad I.1.11: Satyam vada Dharmacara svadhyaya ma pramadah - Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan belajar dan memuja Tuhan Yang Maha Esa dan janganlah lalai/sampai lupa.
Memang bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat. Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik. Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini. Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran, ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik, maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:
1) Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.
2) Tyāga atau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.
3) Santosa yang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahtraan jasmaniah) dan Moksa (kebahagiaan sejati).
4) Sthitaprajna yang artinya hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.

Aktualisasi Makna Hari Raya
Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Galungan dan Kuningan adalah hari kemenangan dan kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vrhaspatitattva, yaitu:
1) Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2) Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3) Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4) Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Narayana.
5) Prawrijya, mengembara menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6) Diksa, penyucian diri dan
7) Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Penutup
Dengan melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan di sekitar kita.

Tuesday, October 06, 2009

IJINKAN AKU MENCIUMMU IBU

Om Swastyastu
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masakecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Wednesday, September 02, 2009

NGIRING NYEKAH RING SANUR

Rangkaian Upacara Nyekah ring Griya Puseh Sanur, yang diikuti oleh para Sisyan Ida Pedanda Istri Ngurah ring Griya Gede Puseh Sanur. Untuk pengiring dari Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang diikuti pula oleh Pura Dadia Pasek Sumerta Sawangan, Pura Dadia Arya Medura Sawangan mengawali upacara dengan Upacara Nuntun di Pantai Geger.
Upacara Nuntun dilakukan pada hari Minggu tanggal 30 Agustus 2009 kira-kira pukul 11.00 Wita. Selain dari Sawangan ada juga yang melakukan penuntunan dari Banjar Peminge yang ikut ngiring di Griya Gede Puseh Sanur yaitu warga Pura Ibu Pasek Sumerta Peminge, Istrinya Pak Rampun. Pengiring dari Banjar Peminge yaitu Keluarga Mangku Kengsi, I Wayan Ramat, I Sengat (Keluarga I Wayan Tara).

Setelah dilakukannya upacara nuntun di Pantai Geger, lalu dilanjutkan dengan upacara nganggetin di Depan Griya Ngenjung Sanur. Upacara nganggetin dimulai kira-kira pukul 14.00 wita pada hari yang sama.



Pada hari Selasa tanggal 1 September 2009, untuk keluarga I Wayan Ronci dan I Made Ugi melakukan dresta, mabina krama dengan ngundang makan bersama seluruh ijasan dan beberapa orang yang punya hubungan kekerabatan dengan Ni Molog dan Ni Rabig yang diupacarai ngiring Nyekah di Griya Gede Puseh Sanur.

Tepat pada hari Purnama Ketiga hari Jumat tanggal 4 September 2009 dilaksanakan Upacara pengesengan di halaman Griya Gede Puseh Sanur. Upacara pengesengan ini diikuti oleh total jumlah puspa sebanyak kurang lebih 300 puspa dari berbagai daerah yang menjadi sisya Ida Bhetara Pedanda Istri Ngurah Griya Gede Puseh diantaranya dari Daerah Kedonganan, Gianyar, Panjer, Sawangan dan Sanur.


Sekitar 6.000 orang lebih terlibat dalam upacara pengesengan tersebut, sehingga memadati areal pengesengan yang dilangsungkan di bilangan Jalan Tukad Bilok Banjar Puseh Sanur. Penuh sesak orang-orang yang ingin terlibat dalam upacara tersebut membuat suasana riuh berebut untuk dapat ambil bagian dalam upacara tesebut. Upacara baru berlangsung dinihari hari Sabtu tanggal 5 September 2009 sekitar pukul 04.30 Wita, yang diawali dengan mundut Puspa ke masing-masing tempat pengesengan.
Upacara pengesengan dilaksanakan dengan kidmat oleh para ahli-ahli dalam upacara tersebut. Silih berganti anggota keluarganya masuk dan keluar dari tempat pengesengan, membuat suasana menjadi semakin riuh. Sesekali terdengar gumaman orang-orang yang tidak dapat masuk ke tempat pengesengan sehingga membuat suasana pada saat itu menjadi rame oleh kibasan kipas tradisional dan kobaran api yang membakar puspa masing-masing keluarga yang ikut upacara pengesengan tersebut. Setelah semuanya terbakar dan telah menjadi abu barulah kemudian dimasukkan ke dalam Bungkak Nyuh Gading yang telah dipersiapkan, untuk kemudian di hias menjadi adegan untuk di anyut ke pantai.
Sekitar pukul 07.30 Wita, usai sudah upacara pengesengan, lalu kemudian semua adegan beriring-iringan berjalan ke Pantai Matahari Terbit Sanur. Oleh karena saking banyaknya pengikut penyekahan ini, maka tak elak bilangan jalan Griya Puseh menuju Pantai Matahari Terbit menjadi macet total. Kurang lebih pukul 09.30 wita sampailah semua di Pantai Matahari Terbit.
Di pantai masih pula ada upacara yang harus diikuti oleh semua pengiring seperti upacara natab banten penganyutan sampai dengan menyembah adegan dan akhirnya melakukan upacara pepegat, barulah akhirnya adegan dianyut ke pantai.

Deburan ombak Pantai Matahari Terbit menggerus semua adegan yang dianyut oleh masing-masing pengiring dan akhirnya bersatu dengan laut. Upacara berakhir kira-kira pukul 11.00 Wita.



Dengan berakhirnya upacara penganyutan tersebut, bukan berarti berakhir rangkaian upacara penyekahan ini, karena masih ada upacara Nuntun lan Mendem ring pura dadia masing-masing.
Pada hari Senen tanggal 7 September 2009 dilaksanakan lagi upacara Nuntun di Pantai Matahari Terbit dan kemudian adegan diiring ke pura dadia masing-masing. Upacara nuntun dilanjutkan dengan Upacara Mendem. Upacara mendem di Pura Dadia Pasek Gelgel Sawangan dilangsungkan mulai pukul 19.30 dan berakhir pukul 01.30 Wita dini hari. Prosesi upacara ini dipuput oleh Ida Pedanda Nabe Oka Timbul di Griya Timbul dan dibantu oleh beberapa Dayu Tukang, termasuk Ida Ayu Jegeg dan Jero Seroja.
Dengan berakhirnya upacara pemendeman ini maka berakhirlah rankaian upacara penyekahan yang berlangsung mulai tanggal 30 Agustus 2009 dengan upacara nuntun di Pantai Geger.

Sunday, August 16, 2009

I MADE KENENG MENUTUP USIA


Setelah 9 hari dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu, karena divonis mengidap penyakit Ernia dan Usus Buntu serta telah mendapat penanganan intensif dari dokter, ternyata kalau sudah giliran akan menghadap Beliau Ida Hyang Widhi Wasa pasti akan kembali juga. Tepatnya pada hari Minggu Umanis Wuku Ukir tanggal 16 Agustus 2009 menjelang Tajeg Surya (tengah hari) Beliau telah menutup mata sembari mengucap selamat tinggal semuanya....
Berbeda dengan Beliau yang telah kembali ke alamnya, mereka yang ditinggalkan menjadi sangat pilu dan menyakitkan. Mengapa tidak..??? Oleh karena anak-anaknya yang masih muda belia serta tanpa sosok orang tua satupun mereka akan menjalani hidup dua batang kara. Eka dan Eko anaknya akan melanjutkan swadharma bapaknya kelak kemudian hari dengan kemampuan yang ada serta kekuatan yang mereka miliki....

Mengenai upacara atiwa-tiwa akan dilaksanakan pada hari Jumat Umanis Wuku Ukir tanggal 21 Agustus 2009.
Demikianlah akhir swadharma dari anggota Warga Pasek Gelgel Sawangan khususnya Trah Ki Bongol..
Dalam prosesi pengabenan ini diawali dengan membuat Bambang di Kuburan oleh warga tempekan banjar yaitu Tempekan I Komang Suarnata pada pagi harinya. Usai membuat bambang maka dilakukan upacara mapag di Lebuh bagi mereka yang ikut membuat bangbang pada saat itu. Upacara ini merupakan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh setiap anggota banjar Sawangan yang meninggal dan melakukan pengabenan. Upacara ini biasanya dilakukan dengan acara makan bersama setelah selesai natab. Upacara ini dipuput oleh Jro Mangku I Made Rabih. Setelah selesai upacara ini kira-kira jam 10.00 pagi pada hari jumat itu baru dilakukan Upacara Nyiramang/Pabersihan layon yang terdiri dari dua tahap :
1. Tahap pebersihan hidup, merupakan pebersihan bagi layon yang dianggap masih tidur
walaupun atmannya sudah terlepas dari raganya. Biasanya bagi mereka yang belum
melakukan upacara metatah semasa hidupnya, akan dilakukan pada saat setelah pebersihan
hidup ini. Setelah selesai dibersihkan layaknya masih hidup, maka akan dilakukan upacara
natab banten oton, untuk pemberian upacara otonan yang terakhir kalinya.
2. Tahap pebersihan mati, merupakan pebersihan yang dilakukan kepada layon setelah dianggap
atmannya terlepas dari raganya. Dalam upacara ini biasanya menggunakan beberapa sarana
seperti, Don Intaran untuk diletakkan di alisnya, Pecahan cermin (meka) untuk diletakkan
pada kedua matanya, Lempengan tambaga untuk diletakkan di giginya, Bunga Kelor untuk
diletakkan di kedua lubang hidungnya, dan lain sebagainya. Setelah selesai dilakukan pebersihan mati ini, baru kemudian layon akan diletakkan dalam peti yang nantinya akan digotong oleh warga banjar bersama-sama dengan Wadah/Bale-balean bila ada.
Setelah usai proses kedua pebesihan diatas baru kemudian dilakukan upacara pemerasan, dengan mengitari Banten Pemerasan, yang biasanya diletakan pada sebuah meja. Usainya proses upacara pemerasan ini biasaya akan dilanjutkan dengan ngajum kajang yang maknanya menurut Sang Wikan sebagai upacaran Dwijati bagi atman yang telah meninggalkan raganya. Selain dalam bentuk Kajang juga akan dibuat dalam bentuk Adegan (semacam Daksina Linggih).
Dengan berakhirnya proses ngajum kajang yang dilakukan pula dengan nyuntik kajang ini, maka upacara akan dilanjutkan dengan upacara Mapepegat.

Upacara mapepegat ini bermakna sebagai pelepasan bagi sanak saudara dan atau teman-teman dekatnya terhadap yang telah meninggalkan/meninggal, sehingga nantinya tidak lagi teringat dengan hal-hal tertentu yang kemudian akan membuat trachuma.
Setelah proses upacara ini maka layon yang telah diletakkan pada Bale-balean bersama-sama dengan peti akan di arak ke kuburan oleh warga tempekan banjar yang bertugas dengan diikuti oleh keluarga dan warga banjar lainnya. Iring-iringan akan diawali dengan Peras Marga. Banten ini biasanya di persembahkan setiap ketemu dengan persimpangan jalan. Banten ini biasanya diikuti pula dengan meletakkna ikatan padi dan uang kepeng pada bambu. Setelah banten ini akan disertai pula oleh iring-iringan genjer-genjer, rantasan, adengan, kajang. Bale-balean yang telah diletakkan layon akan ditarik dengan benang Tri Datu beserta tulup yang akan dipegang oleh satu orang. Untuk bale-balean biasanya akan dinaiki pula oleh dua orang Ida Bagus dengan memegang Burung Kedewatan dan Beras Kerura. Untuk beras kerura akan dilemparkan setiap ketemu persimpangan jalan.
Setelah layon sampai di Kuburan/Setra baru kemudian layon akan diturunkan dari bale-balean dan kemudian akan diletakkan pada tempat yang telah disiapkan di Kuburan untuk kemudian akan dilakukan upacara ngentas dan penggesengan. Walaupun di Desa Adat Peminge tidak dilakukan proses pembakaran mayat, tetapi prosesi secara simbolis tetap dilakukan dengan menembakkan tirta penggesengan. Berakhirnya proses upacara pengentasan, maka layon akan dikuburkan dan kemudian tanahnya akan diambil untuk kemudian akan direka(dibentuk) menjadi adegan yang akan dianyut ke laut.
Setelah tanah yang diambil dengan menggunakan sehelai daun dapdap direka/dibentuk menjadi adegan baru kemudian akan dilakukan upacara peningkatan status atma oleh Ida Pedanda, yang dalam upacara atiwa-tiwa ini dipuput oleh Ida Pedanda Griya Santrian Sanur ( Ida Bagus Anom - saat Welaka)
Setelah dilakukan upacara oleh Ida Pedanda, dilanjutkan dengan sembahyang bersama memberi doa kepada atma Semoga dapat menghadap Ida Hyang Widhi Wasa dengan selamat sentausa. Berakhirnya persembahyangan bersama, maka akan dilakukan prosesi mengelilingi bale wantilan Ida Pedanda bersama adegan yang akan dianyut sebanyak tiga kali.
Setelah selesai prosesi upacara yang dilakukan di kuburan, baru kemudian dilakukan upacara nganyut ke Segara/Pantai Geger Desa Adat Peminge. Dengan berakhirnya upacara nganyut ke segara, yang dalam hal ini dipimpin oleh Jro Mangku Mrajapati/Prajapati yaitu Jero Mangku I Made Rabih, maka selesailah prosesi upacara Atiwa-tiwa I Made Keneng yang terlaksana pada Hari Jumat Umanis Wuku Ukir tanggal 21 Agustus 2009.
Semoga amal bhaktinya dapat menjadikan tabungan untuknya menuju nirwana menghadap kepada-Nya..
Namaste,

Sunday, July 05, 2009

PENGABENAN I WAYAN RAMAT

Setelah beberapa tahun dikubur I Wayan Ramat, pada hari Minggu 5 Juli 2009 dilakukan upacara atiwa-tiwa yang di puput oleh Ida Pedanda Oka Griya Timbul.
Upacara atiwa-tiwa ini dilakukan bersama dengan beberapa sawa dari Sawangan ( Dong Rinso, Dong Darya, dan I Nargi) dan di Peminge (I Wayan Ramat, Keluarga Pak Loteng, Keluarga Pan Kengsi).
Prosesi upacara ini dilakukan pada sore hari, kira-kira pukul 13.00 wita, namun prosesi ngulapin dilakukan sehari sebelum upacara atiwa-tiwa yaitu hari Sabtu tanggal 4 Juli 2009.

Demikianlah prosesi upacara atiwa-tiwa yang merupakan pembayaran hutang (Rna) kepada orang tua, telah berjalan dengan baik sesuai harapan.
Semoga apa yang telah dilakukan dapat bermanfaat guna bagi kehidupan kita semua untuk menjaga keharmonisan tiga bhuwana.

Namaste,

KENAPA NAMANYA BALI

TAHUKAH Anda dari mana asal nama Bali untuk menyebut sebuah pulau di timur Pulau Jawa?Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan pengaruh besar pada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa sakti di Gunung Raung, Jawa Timur.Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa (pulau Jawa sekarang). Dawa artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan.Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yang sekarang disebut Besakih.Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual menanam Panca Dhatu berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yang ada beliau bagi-bagi kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah, dan tempat suci yang dinamai Wasukih (Besakih).Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya sewana) tiga kali dalam sehari, menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yang terdiri atas tiga unsur benda: air, api, dan bunga harum.Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata bebali yang artinya sesajen.Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM: "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Thursday, June 11, 2009

Bersimbah Darah Menghormati Leluhur

Dengan hati-hati Kadek Budi Juliantara, 13 tahun, membersihkan duri di pundak Kadek Anjasmara, 12 tahun. Menggunakan ujung peniti, Juliantara menusuk goresan-goresan luka di pundak temannya itu untuk mengambil sisa duri di bekas luka itu.
Dua remaja ini berpakaian adat. Berbeda dengan pakaian adat Bali pada umumnya yang menggunakan baju, pakaian adat di Tenganan tanpa baju. Dua remaja ini pun bertelanjang dada. Mereka hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju. Bersama teman-temannya, dua remaja ini sedang menunggu perang pandan dimulai.Peran pandan adalah tradisi warga Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem tempat di mana dua murid SMP Negeri 1 Manggis ini tinggal. Sebagai warga Tenganan, Juliantara dan Anjasmara pun harus ikut kegiatan yang oleh warga setempat disebut mekare-kare ini. Ritual ini digelar tiap tahun di Desa Tenganan. Desa yang terletak di 70 km timur Denpasar ini masuk salah satu desa tua di bali, disebut bali aga, selain Trunyan di Kintamani, Bangli.
Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.Karena memuja Dewa Indra sebagai dewa tertinggi, maka perang adalah sesuatu yang akrab bagi Tenganan. Bentuk desa ini dibuat seperti benteng. Struktur desa adalah jaga satru yang berarti waspada pada musuh. Hanya ada empat pintu utama (lawangan) untuk masuk desa ini sehingga memudahkan warga untuk tahu siapa saja yang datang. Lokasi desa yang dikelilingi bukit, menurut mantan Kepala Desa I Nyoman Sadra, adalah benteng itu sendiri.Selain bentuk desa, ritual di desa ini pun akrab dengan simbol-simbol perang. “Bagi kami, perang adalah upacara untuk menghormati leluhur,” kata Sadra dalam sebuah obrolan dengan saya.Perang yang digelar di Tenganan antara lain adalah mesabatan biu atau perang pisang yang digelar untuk menunjukkan kedewasaan. Perang pisang ini hanya diikuti oleh remaja. Ada pula perang lumpur yang tujuannya kurang lebih sama dengan perang pisang. Di antara perang-perang tersebut, perang pandan sudah kadung jadi yang paling terkenal.Semula perang ini dilakukan tertutup dalam artian hanya untuk warga Tenganan. Perang ini memang bagian dari upacara besar yang disebut Usaba Sambah. Ketika pariwisata mulai masuk desa ini pada 1930an, perang pandan yang semula sakral pun jadi profan. Orang luar tak hanya boleh menonton, mereka pun boleh ikut bertarung.
Tahun ini perang pandan digelar pada 9-10 Juni. Ribuan penonton pun tumpek blek di desa ini. Menjelang masuk desa, mobil dan bis berjejer sepanjang jalan yang biasanya relatif sepi. Di dalam desa, saya bahkan sampai kesulitan mencari tempat parkir sepeda motor saking penuhnya. Padahal biasanya sepeda motor selain milik warga lokal tidak boleh masuk.Selama perayaan perang pandan Tenganan pun mirip pasar malam. Di sekitar bale petemu, tempat perang digelar, banyak pedagang kaki lima. Penjual minuman, bakso, mainan, sampai bra pun berjejer di depan rumah warga. Pedagang musiman ini bersaing dengan warga setempat yang memang menjadikan rumahnya sebagai art shop untuk menjual aneka cindera mata khas Tenganan seperti kain tradisional gringsing, kalender, dan lukis telur.
Di antara para pedagang itu, ada pula para penjudi tradisional seperti bola adil. Judi memang sesuatu yang jadi parasit dalam setiap upacara besar di Bali. Dia selalu mendompleng ritual di Bali, termasuk di perang pandan ini. Ironisnya, pemain judi ini justru sebagian besar anak-anak. Jadi sekalian main judi, mereka juga menonton perang pandan.
Tiap laki-laki di desa ini wajib ikut perang pandan ini. Begitu pula Juliantara. Hari ini dia kembali ikut perang. Sambil menunggu perang pandan dimulai, Juliantara dan teman-temannya membersihkan sisa duri pandan di tubuh mereka sisa perang sehari sebelumnya. Selain di pundak, luka-luka itu terlihat pula di punggung dan pinggang.
Luka yang sudah mengering itu akibat goresan duri daun pandan (Pandanus amaryllifolius) . Daun bergerigi di dua sisinya inilah yang mereka bawa siang itu sambil menunggu perang dimulai. Daun pandan itu dipotong sepanjang sekitar 15 cm lalu diikat sebanyak 10-15 buah. Sebagian anak-anak mengurangi tajamnya gerigi itu dengan menggoreskannya pada batu atau dinding rumah, termasuk Juliantara. “Biar durinya tidak terlalu sakit,” kata Anjasmara.
Juliantara dan Anjasmara adalah dua sahabat. Mereka berteman sejak kecil, di rumah maupun di sekolah. Namun ketika perang pandan digelar mereka jadi lawan bagi satu sama lain. “Sejak kecil sampai sekarang dia jadi lawanku,” kata Juliantara.
Sekitar pukul 2 siang gamelan di bale petemu, balai pertemuan, mulai ditabuh. Suara penonton makin riuh. Juliantara dan teman-temannya beranjak mendekati panggung.
Ribuan penonton sesak mengelilingi panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, panggung benar-benar seperti ring tinju. Bedanya ini tanpa tali pengaman mengelilingi. Pengamannya adalah para pemedek (orang yang ikut upacara) itu sendiri.Sebelum perang pandan dimulai, ada ritual minum tuak dulu. Tuak di bambu itu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Semua lalu dikumpulkan pada satu orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping panggung. Bau tuak tercium kuat siang itu.
Mangku Widia, pemimpin adat di Desa Tenganan, duduk di salah satu pojok panggung. Dia memberi aba-aba dengan suaranya. Dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman daun ata di tangan kiri. Penengah, layaknya wasit, berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan.Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.
Pertandingan itu tak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain.
Hingga giliran Juliantara dan Anjasmara pun tiba. Mereka berhadapan lalu saling menyerang. Saya teringat Achiles di film Troy yang menyerang musuhnya dengan garang. Tapi ini berbeda. Kalau Achiles yang diperankan Brad Pitt itu menyerang lawan untuk menghabisi nyawa, maka dua remaja ini menyerang hanya untuk melukai. Achiles berperang demi kekuasaan, Juliantara berperang karena penghormatan pada leluhur.
Ketika penengah memisahkan maka selesailah pertandingan Juliantara dan Anjasmara. Mereka mundur dari gelanggang lalu kembali menonton pertandingan lain.
Seperti pertandingan lain, selalu ada ketakutan yang muncul sebelumnya bertanding. Begitu pula Juliantara. “Sebelum mulai selalu deg-degan. Takut sakit. Tapi begitu mendengar gamelan, takutnya langsung hilang. Gamelannya membuat saya berani,” katanya.
Keberanian itu, menurut Juliantara, datang begitu saja ketika pertandingan tiba. “Saya juga tidak tahu kok bisa begitu,” tambah Anjasmara.
“Biar keliatan gagah juga,” sahut Juliantara diiringi tawa teman-temannya.Perang pandan memang kegiatan maskulin, macho. Pesertanya hanya laki-laki. Perempuan hanya menjadi penyaksi ketika perang berlangsung. Namun begitu perang selesai, para perempuan sigap memberikan obat. “Kalau sudah dikasih obat baru terasa perih. Tapi cepat sembuhnya,” ujar Anjasmara.Selesai perang, punggung dan pundak peserta memang penuh bercak darah yang mengalir akibat geretan daun pandan. Tapi bagi mereka itulah bukti bahwa mereka sudah berbakti pada tradisinya. “Kalau sudah keluar darah, saya merasa sudah melakukan bakti saya pada leluhur,” kata Juliantara. [b]

Wednesday, April 08, 2009

Anaknya I Nyoman Widya lahir muda dan telah berpulang

Adalah hari yang sangat menyedihkan bagi semeton Pasek Gelgel Sawangan I Nyoman Widya..
Belum sempat menghirup udaranya bhuwana anaknya I Nyoman Widia yang baru berumur 4-5 bulan dalam kandungan telah pergi tanpa minta apapun dari orang tuanya...
Pada malam hari kira-kira pukul 02.00 Wita dini hari, dalam hitungan hari pawukon masih termasuk Hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia, bertepatan dengan Piodalan di Pura Sad Kahyangan Uluwatu, tanggal 7 April 2009 ia telah lahir tanpa menghela napas sedikitpun.
Upacara ngelungah dilakukan pada hari Rabu Umanis wuku Medangsia pada sore hari.

Proses makekelud akan dilakukan pada hari ke-21 yaitu pada tanggal 29 April 2009.
Walaupun konsistensi prajuru Dadia Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan kurang dapat di pahami, tetapi proses tersebut harus tetap dijalankan untuk menjaga keutuhan dresta.
Tidak kosisten dimaksud karna pada saat meninggalnya anak I Nyoman Dorin yang juga "ngaba mala" hanya ngambil sebel/cuntaka 7 hari, tepatnya dilakukan pada tanggal 11 Maret 2009 setelah dikuburkan pada tanggal 5 Maret 2009.

Yah begitulah harus tetap dimaklumi karna kurang profesionalnya prajuru Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan...

Tapi haruskah ini terus terjadi..????

Namun...............

Semoga ia yang pergi dengan sisa karmanya dan amoring acintya menyatu dengan-Nya...

Namaste,

Monday, April 06, 2009

Semeton Pasek Gelgel Sawangan "Bapak Made Rodin" istirahat panjang

Telah beristirahat panjang semeton Pasek Gelgel Sawangan yang bernama "I Made Rodin" pada hari Senen Wage wuku Medangsia tanggal 6 April 2009 pagi-pagi....
Hari yang sangat cerah di suasana Karya Panca Bali Krama di tahun 2009 ini beliau berpulang tanpa meninggalkan sesal apapun...
Berbicara tentang tugas dan tanggungjawabnya, beliau telah selesai membesarkan anak sehingga berbuah cucu yang lucu-lucu....
Oleh karena masih dalam suasana Upacara Agung Panca Bali Krama, maka kepergian beliau tidak serta merta dilanjutkan dengan Upacara Atiwa-tiwa...
Penguburannya langsung dilangsungkan saat itu pula (tanggal 6 April), tanpa upacara Atiwa-tiwa...

Semoga amal dan bhaktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memberikan beliau tempat dan dapat menjadi tabungan kebajikan untuk Amoring Acintya....

Namaste..

Monday, March 23, 2009

RENUNGAN NYEPI

Dikau bukanlah bumi, bukan juga dikau ini Agni, bukan juga Akasa (angkasa), bukan juga Tirta (air), dan bukan juga Bayu (udara, angin). Untuk mencapai kebebasan kenalilah Sang Jati Diri sebagai "saksi dari semua ini"......yang merupakan manifestasi dari Kesadaran Yang Murni dan Hakiki itu sendiri

Thursday, March 19, 2009

Buah Hati Semeton Pasek Gelgel telah Berpulang

Menjelang perayaan piodalan di Pura Pengastulan telah lahir seorang bayi yang akhirnya harus kembali secepatnya ke pangkuan Ida Hyang Widhi Wasa....

Anak ketiga dari I Nyoman Dorin dengan Ni Wayan Nik Suwitri ini, tidak meninggalkan dosa apapun di dunia ini pada tanggal 5 Maret 2009..
Pakeludan dilakukan pada tanggal 11 Maret 2009 tepatnya setelah ngambil cuntaka 7 hari (bertentangan dengan Perarem yang dibuat bersama warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan)
Dalam peristiwa ini Prajuru beserta semua penglingsir dan Pemangku Pura IBu Pasek Gelgel Sawangan tidak mengambil kecuntakan sesuai perarem yang telah disepakati....

Yaaaah... apalah boleh dikata....
mungkin karna mereka memang sudah pintar dan melebihi kekuasaan-Nya..
sehingga Dresta dan perarem warga tidak perlu lagi....

Om Awighnamastu...
Om Tat Sat..
Namaste,


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.