411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Sunday, August 16, 2009

I MADE KENENG MENUTUP USIA


Setelah 9 hari dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu, karena divonis mengidap penyakit Ernia dan Usus Buntu serta telah mendapat penanganan intensif dari dokter, ternyata kalau sudah giliran akan menghadap Beliau Ida Hyang Widhi Wasa pasti akan kembali juga. Tepatnya pada hari Minggu Umanis Wuku Ukir tanggal 16 Agustus 2009 menjelang Tajeg Surya (tengah hari) Beliau telah menutup mata sembari mengucap selamat tinggal semuanya....
Berbeda dengan Beliau yang telah kembali ke alamnya, mereka yang ditinggalkan menjadi sangat pilu dan menyakitkan. Mengapa tidak..??? Oleh karena anak-anaknya yang masih muda belia serta tanpa sosok orang tua satupun mereka akan menjalani hidup dua batang kara. Eka dan Eko anaknya akan melanjutkan swadharma bapaknya kelak kemudian hari dengan kemampuan yang ada serta kekuatan yang mereka miliki....

Mengenai upacara atiwa-tiwa akan dilaksanakan pada hari Jumat Umanis Wuku Ukir tanggal 21 Agustus 2009.
Demikianlah akhir swadharma dari anggota Warga Pasek Gelgel Sawangan khususnya Trah Ki Bongol..
Dalam prosesi pengabenan ini diawali dengan membuat Bambang di Kuburan oleh warga tempekan banjar yaitu Tempekan I Komang Suarnata pada pagi harinya. Usai membuat bambang maka dilakukan upacara mapag di Lebuh bagi mereka yang ikut membuat bangbang pada saat itu. Upacara ini merupakan kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh setiap anggota banjar Sawangan yang meninggal dan melakukan pengabenan. Upacara ini biasanya dilakukan dengan acara makan bersama setelah selesai natab. Upacara ini dipuput oleh Jro Mangku I Made Rabih. Setelah selesai upacara ini kira-kira jam 10.00 pagi pada hari jumat itu baru dilakukan Upacara Nyiramang/Pabersihan layon yang terdiri dari dua tahap :
1. Tahap pebersihan hidup, merupakan pebersihan bagi layon yang dianggap masih tidur
walaupun atmannya sudah terlepas dari raganya. Biasanya bagi mereka yang belum
melakukan upacara metatah semasa hidupnya, akan dilakukan pada saat setelah pebersihan
hidup ini. Setelah selesai dibersihkan layaknya masih hidup, maka akan dilakukan upacara
natab banten oton, untuk pemberian upacara otonan yang terakhir kalinya.
2. Tahap pebersihan mati, merupakan pebersihan yang dilakukan kepada layon setelah dianggap
atmannya terlepas dari raganya. Dalam upacara ini biasanya menggunakan beberapa sarana
seperti, Don Intaran untuk diletakkan di alisnya, Pecahan cermin (meka) untuk diletakkan
pada kedua matanya, Lempengan tambaga untuk diletakkan di giginya, Bunga Kelor untuk
diletakkan di kedua lubang hidungnya, dan lain sebagainya. Setelah selesai dilakukan pebersihan mati ini, baru kemudian layon akan diletakkan dalam peti yang nantinya akan digotong oleh warga banjar bersama-sama dengan Wadah/Bale-balean bila ada.
Setelah usai proses kedua pebesihan diatas baru kemudian dilakukan upacara pemerasan, dengan mengitari Banten Pemerasan, yang biasanya diletakan pada sebuah meja. Usainya proses upacara pemerasan ini biasaya akan dilanjutkan dengan ngajum kajang yang maknanya menurut Sang Wikan sebagai upacaran Dwijati bagi atman yang telah meninggalkan raganya. Selain dalam bentuk Kajang juga akan dibuat dalam bentuk Adegan (semacam Daksina Linggih).
Dengan berakhirnya proses ngajum kajang yang dilakukan pula dengan nyuntik kajang ini, maka upacara akan dilanjutkan dengan upacara Mapepegat.

Upacara mapepegat ini bermakna sebagai pelepasan bagi sanak saudara dan atau teman-teman dekatnya terhadap yang telah meninggalkan/meninggal, sehingga nantinya tidak lagi teringat dengan hal-hal tertentu yang kemudian akan membuat trachuma.
Setelah proses upacara ini maka layon yang telah diletakkan pada Bale-balean bersama-sama dengan peti akan di arak ke kuburan oleh warga tempekan banjar yang bertugas dengan diikuti oleh keluarga dan warga banjar lainnya. Iring-iringan akan diawali dengan Peras Marga. Banten ini biasanya di persembahkan setiap ketemu dengan persimpangan jalan. Banten ini biasanya diikuti pula dengan meletakkna ikatan padi dan uang kepeng pada bambu. Setelah banten ini akan disertai pula oleh iring-iringan genjer-genjer, rantasan, adengan, kajang. Bale-balean yang telah diletakkan layon akan ditarik dengan benang Tri Datu beserta tulup yang akan dipegang oleh satu orang. Untuk bale-balean biasanya akan dinaiki pula oleh dua orang Ida Bagus dengan memegang Burung Kedewatan dan Beras Kerura. Untuk beras kerura akan dilemparkan setiap ketemu persimpangan jalan.
Setelah layon sampai di Kuburan/Setra baru kemudian layon akan diturunkan dari bale-balean dan kemudian akan diletakkan pada tempat yang telah disiapkan di Kuburan untuk kemudian akan dilakukan upacara ngentas dan penggesengan. Walaupun di Desa Adat Peminge tidak dilakukan proses pembakaran mayat, tetapi prosesi secara simbolis tetap dilakukan dengan menembakkan tirta penggesengan. Berakhirnya proses upacara pengentasan, maka layon akan dikuburkan dan kemudian tanahnya akan diambil untuk kemudian akan direka(dibentuk) menjadi adegan yang akan dianyut ke laut.
Setelah tanah yang diambil dengan menggunakan sehelai daun dapdap direka/dibentuk menjadi adegan baru kemudian akan dilakukan upacara peningkatan status atma oleh Ida Pedanda, yang dalam upacara atiwa-tiwa ini dipuput oleh Ida Pedanda Griya Santrian Sanur ( Ida Bagus Anom - saat Welaka)
Setelah dilakukan upacara oleh Ida Pedanda, dilanjutkan dengan sembahyang bersama memberi doa kepada atma Semoga dapat menghadap Ida Hyang Widhi Wasa dengan selamat sentausa. Berakhirnya persembahyangan bersama, maka akan dilakukan prosesi mengelilingi bale wantilan Ida Pedanda bersama adegan yang akan dianyut sebanyak tiga kali.
Setelah selesai prosesi upacara yang dilakukan di kuburan, baru kemudian dilakukan upacara nganyut ke Segara/Pantai Geger Desa Adat Peminge. Dengan berakhirnya upacara nganyut ke segara, yang dalam hal ini dipimpin oleh Jro Mangku Mrajapati/Prajapati yaitu Jero Mangku I Made Rabih, maka selesailah prosesi upacara Atiwa-tiwa I Made Keneng yang terlaksana pada Hari Jumat Umanis Wuku Ukir tanggal 21 Agustus 2009.
Semoga amal bhaktinya dapat menjadikan tabungan untuknya menuju nirwana menghadap kepada-Nya..
Namaste,


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.