411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Tuesday, January 25, 2011

I Made Grendeng menutup mata untuk selamanya

Pada hari selasa tanggal 25 Januari 2011, kembali lagi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dalam usia kurang lebih 75-an telah berpulang menghadap Pencipta. Beliau adalah I Made Grendeng. Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 29 Januari 2011 oleh prathisentananya. Upacara atiwa-tiwa beliau dipuput oleh Ida Pedanda Anom dari Griya Santrian.

Ni Nyoman Parni menutup usia

Belum genap setengah baya, Ni Nyoman Parni, istri I Made Lideg telah berpulang menuju nirwana menghadap Hyang Widhi untuk menerima Pahala dari Karma yang telah ia perbuat di Maya Pada ini. Beliau telah kembali ke alamnya pada awal tahun 2011 yang tepatnya pada hari Minggu, 16 Januari 2011. Mengenai Upacara Atiwa-tiwa yang dilaksanakan oleh Prathisentananya pada hari minggu, tanggal 23 januari 2011. Upacara pengabenannya berbarengan dengan pengabenan I Ketut Reka, semeton Arya Wang Bang Pinatih Sawangan.

Thursday, January 06, 2011

SIWA RATRI

SIWA RATRI – DALAM KONSEPT – KEKINIAN


Brata Ciwaratri adalah brata yang paling utama diantara semua brata.

Bagaikan Meru diantara pegunungan

Bagaikan matahari diantara semua yang menyala

Bagaikan pertapa diantara mahluk mahluk yang berkaki dua

Bagaikan Kapila diantara mahluk mahluk yang berkaki empat

bagaikan Gayatri diantara semua Mantram

bagaikan amreta diantara yang cair

Bagaikan wisnu dari semua pria

bagaikan arundatai diantara para wanita

(padma purana 239.7-9a)

Hari Siwaratri yang jatuh pada Purwanining Tilem Kapitu, Senen 03/1/2011 ini, merupakan momen yang sangat tepat untuk merenung dan mengendalikan diri. Pada hari suci penuh pengampunan itu, umat Hindu diajak untuk bisa mengekang hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi. Nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari malam Siwaratri dalam konteks kekinian? Kemudian, apakah figur si pemburu Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri masih relevan dengan kehidupan sekarang

Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dbawah ini.


RAGADI MUSUH MAPARO,

RING HATI YA TUNGGUWANNYA TAN MADOH RING DEWEK

Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat

Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri

Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari voyeges ini.

Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dlm artian jgn ada kalimat kepalang ahh

Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, akhirnya menyebabkan orang menjadi tersinggung. Karena dlm kasus ini melakukan tapa mona-brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati lantaran mereka tidak tau kita lagi monobrata. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian. Nah itu pun jaman dulu kan begitu, nah sebanarnya kalau kita ambil inti sari dari Monobrata, bagaimana kita meminimize ucapan yg negative point kpd orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya. Konsept kekinian makan jangan sampai berlebihan, sedangkan disatu sisi banyak sekali kita melihat saudara kita barangkali bisa makan nasi satu kali sudah angayubagia, nah kalau demikian bagaimana kita melakukan yadnya kita dg menyisihkan makan yg berlebihan itu kita sisihkan / yadnyakan kepada saudara kita yg sangat membutuhkannya, atau dananya kita jadikan dana pendidikan.dllnya

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Tetapi konsept kekinian kita pergunakan berdiskusi, belajar tentang Tatwa, tentang tutur-tutur pinehayuan lan ke ahdiatmikaan, atau barangkali bedah Bhagawagt bisa jadi Manawa dharmasastra, Sarasamuscaya, kekidung lan kekwain dsbnya. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan ke-papaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh ahamkara nafsu-nafsu indrianya/raganya, serta kegelapan yang tak mampu untuk mengintrospeksi dirinya, sehingga kabut gelap yang selalu menyelimutinya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa Peteng Pitu (7/tujuh) kegelapan yg disebut dgn Sapta Timira” (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Ingat Penyakit orang Ganteng : Kecendrungannya menjadi Play Boy / Girl, Penyakit Orang Kaya = adalah Kikir punya makanan lebih baik busuk daripada diberikan kepada orang lain, meskipun sangat dibutuhkannya. Penyakit orang Dharmawan = adalah suka mengungkit ungkit pemberian.

Penyakit orang banyak omong = adalah Gosif dan terkadang berbohong, kalau tidak begitu tidak asyiikkk....he.....he,

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan Hyang Siwa, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka karmawasananya akan selalu diperhitungkan oleh sang Surat-atma, kurangi dosa, perbanyaklah bertobat.

Rsi Empu Tanakung juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.

Niyasa yang terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :

Tilem ke pitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang lebih gelap dari ”SAPTATIMIRAPETENG PITU”


JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan memplejari ilmu ilmu keagamaan yang kita yakini ”HINDU”

MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan ASMARANAM Melakukan japa mala.

UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah- sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.

Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti )

Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok harus lebih baik dari yang sekarang, itu prinsip


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.