411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Wednesday, February 26, 2014

RENUNGAN DI JAMAN KALI


Agama Hindu muncul pertama di Lembah sungai Gangga,di daerah Industani (Asal nama hindu). Hindu merupakan ajaran yg paling pertama Tuhan turunkan. Artefak Hindu tertua ditemukan ilmuan sudah berumur 5000 sebelum masehi. Tahun 8 sebelum masehi Hindu berkembang di Nusantara, dan menjadi begitu pesat di Indonesia pada zaman majapahit 1300m ,dan saat itu hidup harmonis dengan Budha yang datang kemudian. Terbukti dengan adanya “Bhineka Tunggal Ika”.
Hindu di Indonesia kini banyak penganutnya di pulau Bali, yang mengungsi dari Jawa karena semakin kecil dan runtuhnya supremasi kerajaan Majapahit.

Hindu datang ke Bali dan tumbuh disana. Pribumi Bali,yaitu orang Tenganan, Trunyan kini meminggirkan diri hidup di danau Batur.

Dengan latar belakang Hindu yang telah tumbuh dan berkembang begitu lama, Hindu yang murni dan sejati kini terkikis maupun tertambah dengan akulturasi budaya,adat,kebiasaan, awig-awig,tata-toto dan kearifan lokal yang mengiringi tumbuhnya Hindu di setiap daerah. Kini kehidupan beragama Hindu seperti berkembang sendiri-sendiri di setiap daerah, Setiap daerah sepertinya mempunyai aturannya sendiri yang bertameng alasan atas desa kala patra.

Di Bali sendiri,jangankan antar kabupaten,antar desa dan kampung saja memiliki aturan yang berbeda-beda. Sungguh sangat disayangkan,
pesan dari Weda yang begitu murni, tulus, suci,dan penuh dengan essensi kehidupan yang sejati,harus tenggelam dikarenakan riuh rendahnya peraturan dan tata cara ritual yang rumit,berkelit,memboroskan energi dan materi.

Weda ‘kehilangan’ auranya karena ditutupi oleh semua ketidaktahuan dan tidak adanya keinginan untuk tahu dari para penganutnya.
Hal ini jika terus-menerus berkelanjutan,maka umat tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya dia sembah, dan mengapa menyembahnya. Seakan-akan umat hanya menyembah batu yang berukir,dan jika ditanya oleh Sahabat Lain,maka umat tidak tahu mau menjawab apa. Berhalakah Hindu dengan menyembah para Dewa di batu-batu?,Siapakah para Dewa?,mengapa tak menyembah Hyang Widi saja?
mengapa umat Hindu harus reinkarnasi terus,sampai kapan reinkarnasi?
bagaimana caranya agar tidak reinkarnasi lagi?
mengapa mati harus dibakar?
Setelah mati rohnya pergi kemana? Apakah dengan mati dibakar melalui upacara-upacara yang kompleks,rumit, megah meriah, rohnya dengan mudah lalunya mencapai Tuhan? Jika tidak diritualkan, lalu apakah Tuhan tidak menerimanya?
Mengapa biaya dari seluruh upacara yang mewah itu tidak dikumpulkan untuk membangun sekolah saja?
Atau dibagikan kepada orang yg membutuhkan? membangun sumur air di desa tertinggal?
Disinilah kemudian umat dengan kebodohan dan kesombongannya lalu menjawab “nak mule keto” memang begitu dari dulu.

Sungguh ironis dan naif.
Entah kemana PHDI sebagai puncak pengayom umat seperti tak bereaksi apa-apa. Tidak peka akan kehancuran laten dikemudian hari, yang tak terlihat bagai siluman maut.
Berbeda dengan majelis organisasi-organisasi Sahabat Lain,yang begitu tegas memberikan pakem-pakem,menuntun umatnya, memberikan pencerahan pembangunan rohani umat dan memposisikan eksistensinya.
Entah apa yang dilakukan para Mangku,Pinandita, Pedanda, tidak men-danda-ni umat dengan kemurnian Weda bagi kehidupan,kedamaian dan kesentosaan hidup tiap manusia yang bernafas.
Setelah dengan sombongnya mendentingkan genta di altar yang lebih tinggi dari umat,selesai ritual,kemudian ngacir aja pergi.
Pelit benar mengajar esensi Weda kepada para umat. Emangnya,hanya mereka saja yang bisa ‘berkomunikasi’ dengan para Dewa, hanya mereka saja yang berhak tahu akan ajaran hidup yg begitu luhur adi luhung adigang adigung adiguna dari Weda.
Atau mungkin malah mereka tak tahu sama sekali isi esensi kemurnian Weda yang luhur dan adiluhung itu?

Konyol kiranya.
Para Pejabat, Petinggi, cerdik dan cendikia yang berkepentingan akan hal ini,sungguh kiranya memiliki hati untuk concern akan hal ini. Jangan terkesan tutup mata tutup telinga, cuci tangan sembunyi tangan. Janganlah pula hanya gugun tuun akan hal ini,pikirkanlah,bagaimana caranya agar jiwa para umat selamat,tidak direkrut oleh roh-roh dan malaikat iblis yang jahat, hedonisme moderenisasi, degradasi moral korupsif dan korosif. Rekonstruksi ulang Silabus pelajaran agama Hindu yang lebih menekankan pada bekal ilmu rohani mengahadapi hidup dan kehidupan siswa. Buatlah Sentral Pakem ritual yang jelas yang membangun kerohanian umat. Berusahalah membangunlah pusat pencerahan umat di setiap kabupaten yang ada di Indonesia. Buatlah Pesraman yang memberikan pencerahan dan ilmu yang bermanfaat bagi umat,bukan hanya melulu menekankan pada ritual yang tak tahu juntrungan pembangunan karakter rohaninya.
Mestinya ada keseimbangan upacara dan tatwa susila. Ada Dharma Wacana di setiap kegiatan persembahyangan atau upacara, baik itu yang kecil maupun yang besar. Jangan melulu-lulu bergulat dan berkutat,muter-muter gak jelas di sajen,banten,dan pernak-pernik upakara saja. Mana esensi tatwa dan pengetahuan rohaninya?

Srada-Srada suci pengetahuan yang sebenarnya penting,major,utama dan urgent itu, kok jadi dikalahkan dan tenggelam oleh segala-gala banten, daun kelapa dan pis bolong, sesuatu yang sebenarnya hanya menjadi unsur yang kecil dan seimprit dari Weda yang luas jembar itu.
Lama kelamaan mundurlah lagi kita ke zaman animisme dan dinamisme, padahal Tuhan telah datang dengan ajaran theoismenya, yang sudah jelas dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Kok kita malah jadi manusia yang susah banget diajari,sudah macam belut masuk oli sahaja,licin setengah mati.

Bukankah Weda itu berasal dari urat kata Wid, yang artinya pengetahuan,seharusnya lebihlah menekankan dan menitikberatkan pada esensi tatwa ini,esensi pengetahuan dan ajaran rohani yang menjadi bekal umat menghadapi segala permasalahan dan beban berat kehidupan, yang terasa semakin hari semakin berat sahaja.
LPG yang lebih berat aja udah semakin mahal,udah berat mahal lagi.

Walaupun ini pekerjaan berat,mungkin sangat berat dan membutuhkan waktu yang tak sebentar, lama, namun jika kalau bukan kita siapa lagi?
kalau tidak dari sekarang kapan lagi?
Jika ada kejahatan di bali,selalu muncul jargon ‘sing ade nak bali keto,nak jawa pasti to’ .

Sungguh naif, kiranya orang Bali itu baik semua. Bukan rahasia umum di Bali, tidak sedikit di setiap keluarga Bali,pasti ada puik/bermusuhan,entah tidak saling tegur antar tetangga,tidak cocok sama ini,tidak cocok sama orang itulah, atau antar keluarga sendiri. Berbeda dengan jawa,kehidupan begitu toleran dan setiap orang lewat,ada lips service tegur sapa ‘monggo’ nya.
Di Bali,tingkah sesama manusia Bali,walau tidak semua, tidak sedikit yang sengak dan angkuh sekali. Tidak ada saling tegur sapa, tidak ada yang mau menegur duluan.
Bahkan jika menatap mata orang langsung,tinggi hatinya. Jika sama orang luar terlihat ramah,namun sama sesama kok seperti api dalam sekam,menggunting dalam lipatan.

Belum lagi pembedaan kasta,suatu produk keegoisan manusia yang tamasik rajasik dan gelap. Ngaben yang menghabiskan banyak sekali energi dan materi.Apa lagi banyak yang sampai menjual tanah dan warisan sesepuh untuk ngaben atau upacara,lama-kelaman kalau begini terus,tanah Bali bisa habis dimiliki orang luar sahaja.

Ngaben sampai membuat tumpeng yang tinggi-tinggi ,untuk apa sih itu semua,kesombongan?
Keluarga satu merasa jengah kalau tumpengnya kurang bagus dari yang lain,terjadilah gagah-gagahan,maknanya jadi semakin kosong dan tumpul.

Sungguh mana penghapusan Sad Ripu di upacara mepandes/metatah? Jika loba,matsarya,iri hati dan dengki merajalela?
Apa guna semua banten-banten itu? Dibuat berlelah-lelah,berhari-hari,namun hanya dipakai dalam semenit kemudian di buang dan bikin sampah .
Alasan agar turis ke bali? Ritual Hanya menyedot 20 %. Turis ke Bali, sisanya kesenian dan keindahan alam.Mengapa menjual keimanan murni Hindu hanya untuk 20 % itu?

Jika ingin ritual atau ceremonial yang hanya untuk menarik turis, Govern Legislator, buatlah karnaval seperti di Brasil saja,atau dipusatkan pada tempat-tempat, yang tujuannya memperkenalkan kepada turis, bukan malah membodohi umat untuk terjebak pada ritus-ritus itu.
Dan juga kebiasaan minum-minuman keras,arak, kadangkala diadakan pada upacara dan yadnya,bahkan di acara pernikahan desa tradisi minum-minuman keras diadakan. Generasi muda di desa sepertinya dihancurkan oleh hal ini. Entah Dimana suara dan ketegasan Pihak yang berkepentingan di sini ??? Jajaran Trias Politika Bali Eksekutif,Legislatif,Yudikatif mana kepala mu??? Janganlah hanya melulu memikirkan sudut materi dan anggaran pendapatan daerah saja. Apa bagusnya gencar pembangunan Hotel, Villa dan fasilitas wisata menjamur seperti merang di musim hujan jika esensi kehidupan hilang,degradasi moral,dan tata toto titi tentrem masyarakat menjadi goyah?

Perselisihan dan bentrok warga yang dikarenakan hal sebenarnya terkesan sepele dan tidak fundamental, lahan ngaben,mesurya,bebantenan dan lainnya, sudah saatnyalah kita selalu eling lan waspodo akan semua hal ini. Mari saling asih,asuh,asah.

Buka wawasan pengetahuan selebar dan seluas-luasnya.Tradisi yang baik adi luhung dari leluhur,kita pelihara,tradisi yang jelek,tak masuk akal,dan tiada membangun kesadaran rohani umat,janganlah kita pakai lagi.

Tinggalkanlah saja itu semua. Sudah seharusnya pihak yang memiliki power untuk menetapkan regulasi,tokoh masyarakat dan pemuka rohani bahu membahu meruntuhkan proto paradoto ini,aturan dari nenek moyang yang kiranya tidak memililki manfaat dan mudharat bagi kemaslahatan pembangunan rohani umat. Berjalan kearah yang lebih maju,baik, dan sentausa bagi semua, tidak ada pengecualian.

Perjudian harum semerbak di mana-mana,ceki,kartu,adu ayam,dll. Konyolnya lagi, Bahkan upacara agama pun diadakan judi gaplek,adu ayam atau judi bola adil. Atau bahkan mempertontonkan tarian Joged bung-bung yang tak patut ditonton remaja kecil,
duh Jahat sekali Hindu di Bali kalau begini terus. Kehidupan pubs dan hiburan malam yang menjamur,gempuran erotis dari barat,transaksi2 gelap,duh keji sekali.

Bali sedang mengalami penjajahan moral.
Segala apa-apa dihubungkan ke banten dan ritual sesaji. Tanpa tahu arti dari itu semua untuk siapa,mengapa, bisa saja hikmat roh gelap yang berada di belakangnya sedang ambil kuasa akan manusia itu?
Jikalaupun Tuhan,apakah Tuhan mau di sembah-sembah dengan hiperbolik seperti itu?
apakah Tuhan gila hormat dan dapat dibeli dengan sajian dan sesaji seperti itu? Apakah Tuhan gila akan kemewahan?
Tuhan yang baik,yang dikenal oleh kemurnian Weda atau seluruh kitab yang lain,tidaklah seperti itu.
Entah tuhan yang mana itu yang gila hormat.Tuhan yang baik selalu mengajarkan kerendahan hati dan kesederhanaan.
Lagi pula Tuhan tak memerlukan itu semua haturan itu,wong Dia yang menciptakan semesta raya dengan segala isinya. Yang Dia ingini adalah ketulusan dan kebersihan hati kita.

Theolog-theolog Hindu lokal jebolan IHDI dan UNUD mempunyai beban dan peran penting sebagai agen pembaharuan dan perubahan dalam hal ini. Setiap petinggi-petingi Bali dan stakeholdernya merupakan mata tombak yang utama. We need change!!!

Mungkin di setiap kabupaten di Bali, beberapa minggu sekali, diadakan pengupasan,pembedahan dan pembelajaran Weda di balai kota, yang diwajibkan untuk para murid sekolah mengikutinya. Atau dibangun Taman Pendidikan Weda di setiapnya,agar sejak dini anak remaja dikenalkan kemurnian Weda yang benar. Diisi rohaninya dengan kesejatian rohani, agar benar jalan hidupnya,baik masa depannya, damai hatinya. Lambat laun damai dan maju future Nusantara.

Tuhan sudah berfirman melalui Bhagavadgita Bab 18 ayat 66 : Serahkanlah semua kewajiban, datanglah kepadaKu semata untuk berlindung. Janganlah bersedih! Akan Kubebaskan dikau dari semua dosa-dosa.

Sloka ini dianggap sebagai sloka yang amat penting dalam Bhagavad Gita, dan merupakan suatu ungkapan dan ajaran yang dianggap amat rahasia sekaligus penuh dengan kasih-sayang Yang Maha Esa yang tak terbatas.

Ajaran atau wejangan ini dianggap sebagai suatu kebijaksanaan yang amat dalam artinya dan menjadi patokan yang amat disegani dan dihormati oleh umat Hindu yang suci semenjak ribuan tahun yang silam di India dan di mana saja agama Hindu ini berkembang.
“Serahkan semua kewajiban,” pada sloka ini berarti tanggalkan atau lepaskanlah dharma yang ditekankan atau terdapat di pustaka-pustaka suci kuno untuk sesuatu yang nilainya lebih luhur dan agung, yaitu dengan menjadikan Yang Maha Esa secara tunggal tempat kita berlindung, memohon dan mengabdi, dan memandangnya sebagai Yang mengayom dan Yang Menuntun kita sesuai dengan kehendakNya semata. Jangan membuang-buang waktu untuk mendiskusikan soal kasta yang sudah jelas maksudnya, yaitu pembagian kerja dan bukan perbedaan status atau diskriminasi.

Jangan membuang-buang waktu yang berharga dengan melakukan tradisi dan upacara-upacara yang membingungkan dan membuang-buang energi, tetapi langsung saja menuju ke suatu perbuatan nyata yang hakiki dan sejati sifatnya, yang tanpa pamrih demi dan untuk Yang Maha Esa semata, dan bukan demi kepuasan mata, kepuasan jiwa atau indra-indra dan pikiran pribadi kita. Janganlah menerapkan kewajiban-kewajiban atau instruksi-instruksi dalam dharma-shastra kita secara ngawur dan salah, secara metafisik dan etika belaka, tetapi lakukanlah secara murni sesuai dengan sabda-sabda Tuhan, Tuhan dari semua dewa- dewa dan kekuatan-kekuatan di alam semesta ini. Semua kewajiban dan instruksi yang terdapat di dalam dharma- shastra ini akan hilang nilai dan artinya sekali seseorang sudah melakukan bhakti yang luhur dan tulus kepada Yang Maha Esa secara langsung.

Seorang jignasu (pencari kebenaran) harus menyerahkan secara total, jiwa dan raganya bagi Yang Maha Esa, dan Yang Maha Esa pasti akan membebaskannya dari segala dosa-dosa dan keterbatasannya, dari kekurang- pengetahuannya dan dari semua segi negatifnya. Ini adalah janji tulus Hyang Widi , Yang Maha Esa, kepada kita semua dan ini menunjukkan kasihNya Yang Agung dan Suci. Rahasia ke Tuhan Yang Maha Suci adalah bhakti yang tulus dan tanpa pamrih, tanpa benci, tanpa keinginan duniawi, tetapi hanya demi dan untuk Ia semata. Terjadilah kehendakNya.Seseorang yang dedikasinya kepada Yang Maha Esa masih dalam taraf yang belum matang, sewaktu bertindak sesuatu akan menganalisa dan mengkonfirmasikan setiap tindakan dan efeknya secara mental, fisik, moral, kewajiban, hukum, kaidah, kegunaan, bahkan dari segi spiritual juga akan diperhitungkan olehnya. Tetapi sekali ia berjalan dan berdedikasi secara tulus, tanpa pamrih dan dengan kesadaran yang matang, maka semua unsur, kaidah, dan nilai-nilai kewajibannya akan sirna, dan kemudian hanya timbul satu kesadaran Ilahi yang amat sukar diterangkan dengan kata-kata atau bahasa awam. Kesadaran ini bentuknya amat spiritual dan orientasinya hanya Yang Maha Esa semata. Di sini semua yang dikerjakan, diperbuat dan setiap aksi akan menjadi ibadah atau dedikasi yang amat tulus sifatnya dan setiap bentuk perbuatan pemuja ini akan sinkron dengan kehendakNya,
dan inilah misteri dari kehendakNya, yang hanya bisa dimengerti secara spiritual dan duniawi oleh pemuja itu berkat karuniaNya juga.

Suatu bentuk pengalaman atau kehidupan yang sukar dapat diterangkan dengan logika duniawi. Maka seyogyanyalah jangan menjadikan diri anda sebagai budak dari tradisi, kewajiban yang belum tentu positif nilainya, atau sesuatu tindakan yang nampaknya positif berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Ini bukan wejangan sesat atau ajaran yang salah, tetapi bhakti yang tulus kepada Yang Maha Esa memang akan menimbulkan semacam prema (kasih-Ilahi) yang tak terbatas agung dan suci yang penuh dengan pengetahuan- pengetahuan spiritual yang sukar dijangkau dengan logika duniawi, dan sukar diterangkan dengan kata-kata biasa, dan kebijaksanaan atau kesadaran Ilahi ini berada di atas semua kebaikan dan keburukan duniawi.

Tanggalkanlah semua baju-baju duniawi anda, dan secara murni lepaslah dari nafsu-nafsu dan keinginan. Sambutlah Yang Maha Esa dengan bhakti yang tulus, berlindunglah di dalamNya dan selalulah berdoa “terjadilah kehendakNya.”Inilah intisari ajaran Bhagavadgita yang agung dan suci ini.
Aliran Ramanuja di India menyimpulkan sloka 66 ini sebagai intisari atau epicentrum dari ajaran Bhagavad Gita. Bekerja, bertindak dan berbuat suatu apapun;

misalnya hal-hal yang dianggap terbaik dan suci, tetapi demi Yang Maha Esa semata dan tanpa harapan akan imbalan, maka perbuatan ini akan dilindungi oleh Yang Maha Esa dan sang pemujanya akan diselamatkan dari segala mara bahaya. Tetapi kalau sang pemuja sebaliknya berpikir bahwa semua tindakan tanpa pamrih ini malahan akan melepaskannya dari mara-bahaya dan akan dilindungi oleh Yang Maha Esa, maka pikiran semacam ini tidak murni lagi karena sudah terkena polusi dari pamrih itu sendiri. Ingat secercah harapan sekecil apapun merupakan tanda bahwa dedikasi itu sudah tidak murni lagi. “Terjadilah kehendakNya,”
apapun itu! Baik yang terlihat negatif maupun positif, Yang Maha Esa yang tahu apakah hasil dan efek yang diberikannya kepada seseorang itu negatif atau positif. Seorang yang bersatu denganNya secara sejati akan mendapatkan juga pengetahuan ini, dan ia akan selalu bahagia dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa kepadanya.

Om Tat Sat.

Ayat ini merupakan ayat yg supreme,causa prima dan begitu di hormati oleh umat Hindu di segala penjuru bumi. Tuhan tak mengingini umat terjebak pada tata kasta yg dibuat manusia, ritus-ritus dan tata cara upacara yang sangat ribet sehingga umat lupa apa yang sesungguhnya harus mereka imani,yaitu Pribadi Tuhan, bukan malah menuhankan ritual,liturgi,tata cara dan sakralitas.

Bhagavadgita Menyingkap arti hidup yang sesungguhnya di waktu-waktu terakhir dunia kita ini, di mana kita telah dikondisikan oleh prasangka kita terhadap materialisme, yang seakan-akan menjadi tujuan, untuk pemenuhan indera-indera yang gelap. Dan inilah jawaban untuk segala kehidupan.Mencapai kedamaian hakiki yang abadi dan tak berkesudahan

Bhagavadgita merupakan ‘penyelamat’ umat dari diversifikasi Sanata Dharma Hindu. Ia adalah benang merah dari 108 upanisad weda. Ia adalah titik kulminasi dari holistiksitas Weda. Dia satu tubuh Sruti dan Smerti. Dia bagai air embun yang menyejukan kehidupan setiap manusia yang membacanya habis, dan mau menyadarinya.Sungguh berterima kasih kepada-Nya,memberikan air sejuk yg mendamaikan jiwa.

Inti dari Agama Hindu adalah AUM : Om , Ang Ung Mang (Tuhan)

Tat Wam Asi yang artinya mengasihi orang lain sebagaimana mengasihi dirinya sendiri.


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.