411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, December 28, 2015

RAHASIA TAHI LALAT


1. Bibir atas kanan= Banyak rezeki, pandai
2. Bibir atas kiri = Ramai kawan, baik hati
3. Bibir bawah kanan= Disegani orang, ramai yang suka
4. Bibir bawah kiri = Pandai bicara, tak mudah kalah
5. Leher kanan = Cerdas, jujur, berani menderita

6. Leher kiri = Cerdas dalam segala hal dan banyak pengetahua
7. Leher di tengah= Tercapai cita-cita
8. Biji mata kanan = Suka serong dan pembohong
9. Biji mata kiri = Pembohong tetapi baik hati
10. Hujung mata kanan= Baik hati, sopan santun, cerdas
11. Hujung mata kiri= Baik budi, murah rezeki
12. Punggung kanan= Agak mengalami kesulitan
13. Punggung kiri = Malas dan suka duduk
14. Betis kanan= Suka berhibur, boros
15. Betis kiri= Rajin, tidak suka menganggur
16. Lutut kanan= Bersikap tidak peduli dan tidak mahu berusaha
17. Lutut kiri= Kurang kuat berusaha
18. Kepala sebelah kanan = Terkabul cita-cita
19. Kepala sebelah kiri= Sering menemui kesusahan
20. Kepala sebelah belakang= Jujur, sabar dan tekun
21. Kening kanan = Cerdas dan cekap
22. Kening kiri= Cerdas dan sopan santun
23. Tengah kening= Keras hati dan berani segala hal
24. Hujung mulut kanan= Kecil rezeki, tak mudah kalah
25. Hujung mulut kiri= Suka berpoya-poya
26. Ketiak kanan= Dapat menyimpan rahsia
27. Ketiak kiri= Jujur, banyak yang cinta
28. Pergelangan kaki kanan= Suka keluar rumah
29. Pergelangan kaki kiri= Kehendak kuat
30. Batang hidung= Banyak dicintai orang dan dapat menjadi kaya
31. Pada hidung= Banyak rezeki
32. Dagu bawah kanan= Jujur dan baik hati
33. Dagu bawah kiri= Bijaksana, dan berbudi luhur
34. Kemaluan kanan atau kiri= Baik, suka senggama
35. Tumit kanan= Jujur dan banyak kawan
36. Tumit kiri= Baik budi
37. Alis kanan= Suka menolong dan baik hati
38. Alis kiri= Ramai yang suka
39. Pangkal peha kanan= Kemahuan kuat
40. Pangkal peha kiri= Suka kerja apa pun
41. Telapak kaki kanan= Tak mudah mengeluh
42. Jari kaki kanan= Suka menolong
43. Jari kaki kiri= Berbudi, suka berbuat baik
44. Bahu kanan= Cermat dlm mbuat keputusan, byk tanggungan
45. Bahu kiri= Suka kerja keras, banyak tanggungjawab
46. Buah dada kanan= Baik hati, pendiam, simpan rahsia
47. Buah dada kiri= Ramai kawan, setia pada pasangan
48. Lengan kanan= Setia dan taat pada atasan
49. Lengan kiri= Menepati janji dan rajin
50. Pipi kanan= Ramai teman
51. Tengah-tengah pipi kanan= Ramai yang suka
52. Tengah-tengah pipi kiri= Ramai teman
53. Ubun-ubun= Kurang jujur
54. Pusat= Cerdas, tangkas, tekun
55. Pusat bahagian kanan= Sejahtera dalam hidup
56. Pusat bahagian kiri= Beroleh kemuliaan
57. Pinggang kanan= Sayang pada pasangan hidup
58. Pinggang kiri= Disayang pasangan hidup
59. Dada kanan= Dapat mengatasi masalah
60. Dada kiri= Berani, jujur dan sabar
61. Telapak kaki kanan= Tidak mudah mengeluh
62. Telapak kaki kiri= Baik budi pekertinya
63. Siku tangan kanan= Kuat ingin memiliki kejayaan
64. Siku tangan kiri= Baik hati, suka menolong
65. Jari tangan kanan= Serba beroleh keuntungan
66. Jari tangan kiri= Serba baik bekerja
67. Jari telapak tangan kanan= Banyak rezeki tetapi boros
68. Jari telapak tangan kiri= Banyak rezeki dan cermat
69. Pergelangan tangan kanan= Boros, suka bersukaria
70. Pergelangan tangan kiri= Dapat berpangkat
71. Perut bawah kanan= Banyak rezeki, suka memberi maaf
72. Perut bawah kiri= Baik hati, tenang hidupnya
73. Sudut mata kanan dalam= Disayang suami atau isteri
74. Sudut mata kiri dalam= Tidak mudah dilupakan pasangan
75. Sudut mata kanan luar= Baik budi, ramai yang cinta
76. Pelipis kiri= Murah rezeki, dapat jadi kaya
77. Pelipis kanan= Serba berhasil dalam usaha
78. Kelopak mata kanan atas= Baik hati, ramah, berjaya
79. Kelopak mata kiri atas= Baik budi, ramai yang suka
80. Kelopak mata kanan bawah= Agak malas
81. Kelopak mata kiri bawah= Agak bodoh, kurang bijaksana

Tuesday, December 22, 2015

ME ARI ( NI RINTUT) MENUTUP USIA

Pada hari Sabtu Kajeng Pahing tanggal 19 Desember 2015, Me Ari ( Ni Rintut), Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan telah menutup usianya dengan tenang.

Oleh pratisentananya dilaksanakan upacara atiwa-tiwa pada hari Senin Beteng Wage tanggal 21 Desember 2015.

Semoga segala kebajikan yang telah beliau perbuat pada masa hidupnya menjadi tabungan untuk menyatu dengan-Nya ......Amoring Acintya

Thursday, December 10, 2015

ME MASIH MENINGGAL DUNIA

Pada hari Selasa tanggal 1 Desember 2015 telah meninggal Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu Men Masih.
Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 6 Desember 2015, bersamaan dengan upacara atiwa-tiwa Pan Siri, Warga Pasek Gaduh Sawangan.

Thursday, October 15, 2015

MAKNA POHON TEBU SAAT MEJAUMAN


Apabila Anda pernah ikut mengantar pengantin ke rumah pengantin perempuan saat mejauman pada perkawinan adat Bali, mungkin Anda akan melihat pohon tebu yang diikatkan pada kendaraan yang mengangkut kedua mempelai. Lalu apa makna pohon tebu tersebut ?
Setelah upacara awiwaha samkara (ngayab banten pekeraban) selesai umumnya akan dilanjutkan dengan upacara mejauman. Pada upacara mejauman pihak keluarga pengantin laki-laki mengantar kedua pengantin berkunjung ke rumah pengantin perempuan. Keluarga pihak pengantin laki-laki membawa bebanten (sesajen) untuk dipersembahkan ke hadapan roh leluhur pihak pengantin perempuan yang berstana di sanggah kemulannya (tempat pemujaan keluarga). Perlengkapan berupa bebanten (sesajen) itu disebut bebantenan jauman, yang berfungsi melaporkan kepada roh leluhur pihak pengantin perempuan bahwa sang pengantin perempuan telah pindah tempat tinggal dari keluarga pengantin perempuan ke keluarga pengantin pria.
Apabila rumah tempat tinggal pengantin perempuan cukup jauh dari rumah tempat tinggal pengantin laki-laki, saat mejauman biasanya keluarga pihak laki-laki menyiapkan kendaraan untuk mengangkut kedua pengantin, anggota keluarga maupun undangan yang akan ikut mengantar ke rumah pengantin wanita. Pada kendaraan yang mengangkut kedua mempelai diikatkan pohon tebu.
Makna pohon tebu dianalisis berdasarkan sifat-sifat yang ada pada pohon tebu. Sifat-sifat yang baik pada pohon tebu tersebut yang hendaknya dapat ditiru oleh pengantin baru yaitu :
Pertama, sifat pohon tebu itu adalah manis dari akar sampai dengan pucuknya. Walaupun sampai ke pucuk manisnya berkurang yang penting rasa manis tetap ada. Demikianlah hendaknya kedua pengantin itu hidup dalam suasana bermanis-manis (bermesra-mesraan) dari awal sampai akhir.
Kedua, pengantin laki-laki hendaknya jangan bersifat sebagai orang yang makan tebu, yaitu habis manis sepah dibuang.
Ketiga, tebu itu dapat hidup dalam segala iklim dari pantai sampai ke pegunungan. Maksudnya agar pengantin itu hidup rukun dalam suasana suka dan duka.
Keempat, sifat pohon tebu itu makin diperas makin bertambah manisnya. Maksudnya agar kebencian dibalas dengan kasih sayang dalam kehidupan bersuami istri. Kalau sang suami memarahi sang istri maka sang istri membalas dengan nada yang mampu melenyapkan kemarahan sang suami. Dengan demikian hidup rukun suami istri bisa tercapai.

Wednesday, September 23, 2015

Sekilas tentang Pura Besakih


Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula... sebelum ada Segara Rupek(Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeyamenyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnyaseperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.

1. Pura Pesimpangan
Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung.

2. Pura Dalem Puri
Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari Durga yang dahulu dinamai Pura Dalem Kedewatan. Para umat Hindu yang telah selesai mengadakan Upakara Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.

3. Pura Manik Mas
Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa). Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek Uduh). Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan mempersembahkan aturan sepatutnya sebelum ia akan ke Pura Penataran Agung Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya baik diPura Penataran Agung maupun di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua, bahwa di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke Besakih dengan menunggang kuda, diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas beliau turun, kemudian bersama-sama muspa(sembahyang) di Pura Manik Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura Penataran Agung Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura Manik Mas sampai ke puncak disebut Telajakan Pura Besakih yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya pula baik sekali bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan kemudian barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura Penataran Agung sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih ini akan semakin dapat dirasakan serta diresapi.

4. Pura Bangun Sakti
Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesadan Hyang NagaTaksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan Ngusaba Posyapada hari Tilem sasih keenem. Di pura inilah kononDanghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah beberapa lamanya wafat akibat kesalahannya kepadaHyang Naga Basukih.

5. Pura Ulun Kulkul
Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul (kentongan besar) terdapat di pura ini dan dipandang sebagai kulkulyang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau krama pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut. Adapunpiodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan, sedang pada setiap hari tilem ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulumenghaturkan aci sarin tahun. Aci Pengurip Bumi dimaksudkan untuk memohon agar semua tanam-tanaman baik di sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang dinamakan aci sarin tahun. Jika ada Upakara-upakara Yadnya di Pura ini dan di Pura Penataran Agung, maka semua bangunan Pelinggih yang terdapat di dalamnya harus dihias dengan pengangge-pengangge sarwa jenar atau hiasan serba kuning.

6. Pura Merajan Selonding
Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan jalan raya terdapat Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwaBhagawan Narada mengajarkan para pertapa menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Keliwon Warigadian.

7. Pura Goa
Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan(susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehinggaDang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk keGua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalandi pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu.

8. Pura Banua Kawan
Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.

9. Pura Merajan Kanginan
Letaknya di sebelah timur Banua Kawan, yaitu di ujung timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau tumpek Kerulut. Menurut ceritera-ceritera yang pernah didengar oleh para orang-orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih.

10. Pura Hyang Haluh (Pura Jenggala)
Dari Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak agak jauh ke dalam dan kemudian membelok ke utara akan kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan sebagaiKahyangan Prajapati. Hal ini bisa dimengerti karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra Agung. Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai seorang resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih. Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.

11. Pura Basukihan
Di kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dariKahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh, pura Desadan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih-palinggihyang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu.

12. Pura Penataran Agung
Di sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenisupakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh.

13. Pura Batu Madeg
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.
Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri daripiodalan pada hari Soma Umanis Tolu Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima danBenaung Bayu pada hari tilem sasih kelima
Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:
Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.Bale Tegeh Palinggih Lingga.Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur. Bangunan-Bangunan  Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar
Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.

14. Pura Batu Kiduling Kreteg
Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharmandan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyanganSang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagaiHyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang PuraKiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada diPura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa.
Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di Pura Kiduling Kreteg antara lain:
Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara Agung Sakti.Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus Bayusan. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Swa.Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Soha.Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi. Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.Bale Pesamuan Agung. Bale Agung. Bale Pegat. Bale Pawedaan. Bebaturan. Bale Tegeh. Bebaturan. Panggungan. Bale Gambang. Bale Gong. Candi Bentar. Bale Pesambiyangan.
Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen pelinggih berwarna merah.

15. Pura Gelap
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih

16. Pura Pengubengan
Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentardan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu (Rerainan) kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke Pura Pura itu termasukYadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.

17. Pura Batu Tirtha
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan. Piodalan dipura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.

18. Pura Batu Peninjoan
Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agungdapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan.Piodalan di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage tolu

Ni Made Kecap telah berpulang......

Om Swastyastu,
Om Tattwatma Naryatma Swadah Ang Ah
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.
Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha...
Om Vayur Anilam Amartam Athedam
Basmantam Sariram,
Om Krato Smare, Klie Smare, Krtam Smara....
Om Ksama sampurna ya namah,
Om Santih, Santih, Santih, Om 
Menyusul kepergian I Wayan Raba... satu lagi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu Ni Made Kecap telah berpulang dengan senyuman, pada hari Senin 21 September 2015 kurang lebih Pukul 20.30 Wita.

Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Selasa Kajeng Umanis tanggal 29 September 2015 bersamaan dengan upacara atiwa-tiwa I Wayan Raba.

Doa adalah hal yang paling bermakna yang hendaknya menjadi bekal beliau menuju nirwana...

"Semoga kabajikan selalu menjadi phala dalam tabungan untuk bekal beliau menyatu dengan-Nya (amoring acintya)...

I WAYAN RABA MENGHEMBUSKAN NAFAS TERAKHIR....

Merupakan kodrat dan telah menjadi Hukum Kehidupan.....Lahir, Hidup dan Mati.....
Namun rahasia kematian adalah milik-Nya...entah kapan kita akan berpulang dan bagaimana proses kita akan berpulang, juga menjadi rahasia-Nya...

Pada Hari Minggu Kajeng Paing, tanggal 20 September 2015, telah berpulang warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu I Wayan Raba, setelah berjuang melawan penyakit Kanker Otak yang ia derita setahun lebih. Mengenai upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Selasa Kajeng Umanis, tanggal 29 September 2015...

Walaupun dalam lingkungan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, namun pengambilan bentuk dan prosesi pengabenan masih berbeda-beda tetapi bukan berarti menjadi hal yang harus diperdebatkan tentang benar dan salahnya.... Karena Benar dan Salah mutlak milik-Nya...sehingga perbedaan ini akan menjadi sebuah renungan akan nilai demokratisasi di lingkungan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan...

Dengan begitu tenang beliau telah menuju Sang Sangkan Paraning Dumadi.....
Semoga amal baiknya senantiasa menjadi tabungan kebajikan untuk menyatu dengan-Nya ( Amoring Acintya )...


Om Tattwatma Naryatma Swadah Ang Ah
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.
Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha...
Om Vayur Anilam Amartam Athedam
Basmantam Sariram,
Om Krato Smare, Klie Smare, Krtam Smara....
Om Ksama sampurna ya namah,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Saturday, August 01, 2015

Mulai masuk TK



Tidak terasa sudah lebih 5 tahun Ni Made Diaz Krishna Savitri.....
Telah tiba waktunya masuk sekolah TK....
Si Cantik Diaz Krishna Savitri mulai sekolah TK sejak tanggal 27 Juli 2015...

Semoga menjadi anak yang baik, pintar dan rajin serta menjadi kebanggaan orang tua....

Tuesday, July 21, 2015

Asal Usul Nama Orang Bali : Wayan, Made, Nyoman, Ketut




Jika Anda sedang berada di Bali, Anda tentu sering mendengar nama-nama khas Bali mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan sebagainya. Semua nama itu ternyata ada artinya.

Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi,  maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat.  Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.

Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" yang artinya yang paling matang.  Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setelah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak.

Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak "bonus" yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini.

Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada  di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”.  Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.

Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel hirarki kelahiran orang Bali memiliki sinonim; untuk Wayan: Putu, Kompiang, atau Gede; untuk Made: Kadek atau Nengah; untuk Nyoman: Komang. Sementara nama Ketut yang istimewa tak bersinonim.

Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki nama marga atau nama keluarga (family name).  Jadi kalau dilihat dari kaca mata orang barat, orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon ini memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang.  Bahkan bila terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku sebagai orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa memakai titel I atau Ni.

Meski tidak mengenal nama marga atau fam, ada juga orang Bali yang yang turun temurun dengan jelas menambahkan nama marga atau sub marga sepeti  Dusak, Pendit, dan lain lain di belakang nama depan . Misalnya saja (hanya rekayasa), Wayan Sujana Pendit.  Di jaman modern ketika nama keluarga jadi penting untuk urusan paspor atau kalau tinggal di luar negeri, beberapa keluarga Bali yang progresif membuat nama marga baru yang biasanya diambil dari nama seorang ayah yang berpendidikan tinggi dan “sukses”.

Banyak hal yang berubah di Bali sejak  kemerdekaan Indonesia. Bila di zaman dulu orang menamai anaknya sekehendak hati, sering tanpa arti, atau hanya onomatope, di zaman sekarang ini, orang-orang mulai ramai memakai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ada juga nama orang Bali kini yang sudah 'bernuansa' barat seperti misal I Ketut Bobby atau Ni Luh Ayu Cindy.

Sumber :
http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/dps/detail/2013/04/26/Asal-Usul-dan-Arti-Nama-Orang-Bali/201107022503

Saturday, July 18, 2015

Pan Sirat telah berpulang...

Pada hari Saniscara, Beteng Pon wuku Dungulan sasih Karo tanggal 18 Juli 2015 jam 03.00 Pagi, orang tua  I Wayan Surata yaitu I Rate dengan tenang melepaskan semua yang ia rasakan di mayapada menuju sunya loka dengan hembusan napas terakhirnya dan tersenyum laksana salam seorang ayah kepada prthisentananya.......

Kewajiban yang ditinggal sesuai sastra, kuna dan loka dresta akan dilaksanakan upacara atiwa-tiwa pada hari Sukra Beteng Wage, wuku Kuningan, tanggal 24 Juli 2015, dengan kondisi yang sedikit berbeda dengan sebelumnya dalam hal upakara, dalam upacara atiwa-tiwa ini akan sama seperti saat upacara atiwa-tiwa I Nyoman Kiteh yaitu dirangkai dengan upacara tarpana saji yang dipuput oleh Ida Pedanda di rumah duka.
Adalah kewajiban bagi kita pula untuk mendoakan orang tua, keluaga, saudara dan teman kita yang telah mendahului kita menuju alam sunyaloka dari mercapada, semoga beliau dapat diterima amal bhaktinya di merchapada sebagai pertimbangan untuk Amoring Acintya.

"Om svargantu Pitaro devah
Svargantu pitara ganam
Svargantu pitarah sarvaya Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat tempat di surga
Semoga semua atma yang suci mendapat tempat di surga
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om moksantu Pitaro devah
Moksantu pitara ganam
moksantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mencapai moksa
Semoga semua atma yang suci mencapai moksa
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om sunyantu Pitaro devah
Sunyantu pitara ganam
Sunyantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat ketenangan
Semoga semua atma yang suci mendapat ketenangan
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om bagyantu Pitaro devah
Bagyantu pitara ganam
Bagyantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat kebahagian sejati
Semoga semua atma yang suci mendapat kebahagiaan sejati
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om ksamantu Pitaro devah
Ksamantu pitara ganam
Ksamantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat pengampunan
Semoga semua atma yang suci dibebaskan segala dosanya
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci".

Monday, May 04, 2015

Kak Kastra alias Pan Kubuk aka I Kebek menutup usia

Pada hari Minggu Paing, Tanggal Masehi 3 Mei 2015 kira-kira pukul 18.00 Wita, bertepatan dengan hari Purnama Sasih Desta Icaka Warsa 1937, I Kebek aka Kak Kastra warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan telah menutup usianya.
Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Minggu Wage, Tanggal Masehi 10 Mei 2015, panglong ping 7 sasih Desta Icaka Warsa 1937.


Om svargantu Pitaro devah
Svargantu pitara ganam
Svargantu pitarah sarvaya Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat tempat di surga
Semoga semua atma yang suci mendapat tempat di surga
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om moksantu Pitaro devah
Moksantu pitara ganam
moksantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mencapai moksa
Semoga semua atma yang suci mencapai moksa
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om sunyantu Pitaro devah
Sunyantu pitara ganam
Sunyantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat ketenangan
Semoga semua atma yang suci mendapat ketenangan
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om bagyantu Pitaro devah
Bagyantu pitara ganam
Bagyantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat kebahagian sejati
Semoga semua atma yang suci mendapat kebahagiaan sejati
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci.

Om ksamantu Pitaro devah
Ksamantu pitara ganam
Ksamantu pitarah sarvaya
Namah svada

Om Hyang Widhi semoga atmanya mendapat pengampunan
Semoga semua atma yang suci dibebaskan segala dosanya
Sembah hamba hanyalah kepada Hyang Widhi
Dan hormat hamba kepada semua atma suci. 

Wednesday, April 29, 2015

Bhisama PHDI Catur Warna (Penghapusan Kasta di Bali)

Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang.
Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu.
Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat.
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45.Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharmanya masing-masing.
Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.
Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.
Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.
Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:
1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.
Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002

Monday, March 23, 2015

Ni Ketut Waluh meninggal dunia

Setelah berjuang melawan sakit diabetes, tepat pada malam pengrupukan yang merupakan rangkaian Hari Raya Nyepi tahun Caka 1937, pada hari Sukra, Beteng Pon, tanggal 20 Maret 2015, kira-kira pukul 22.30 Wita telah berpulang warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang namanya Ni Ketut Waluh.
Upacara atiwa-tiwa akan mengambil tingkatan Upacara Sawa Prakerti khususnya Pranawa dengan rankaian upacaranya memakai sarana Damar Kurung, Tarpana Saji yang dipuput oleh Ida Pedanda Anom Griya Santrian.

Mengenai kajang yang dipakainya adalah sebagai berikut :
1. Kajang Kawitan ring Jro Mangku Lila sebanyak 1 buah yang akan diajum dan kajang pengringkes satu  set termasuk daun pisang kaikik.
2. Kajang Kawitan ring Jro Mangku Suwandi sebanyak 1 buah.
3. Kajang Kawitan ring Jro Mangku Srada sebanyak 2 buah, 1 buah Kajang Gede yang akan diajum dan satu lagi akan dipakai rurub.
4. Kajang Pemuput saking Ida Pedanda Oka Griya Timbul.

Demikianlah gambaran kecil pelaksanaan Upacara Atiwa-tiwa Ni Ketut Waluh.

Om Tattwatma Naryatma Swadah Ang Ah
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.
Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha...
Om Vayur Anilam Amartam Athedam
Basmantam Sariram,
Om Krato Smare, Klie Smare, Krtam Smara....
Om Ksama sampurna ya namah,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Wednesday, March 18, 2015

4 Makna Melasti yang Harus di Ketahui

Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala).

Maksudnya: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.

Setiap Sasih Kesanga umat Hindu di Nusantara mengadakan Upacara Yadnya yang disebut melasti yang dilanjutkan dengan nyejer. Ritual melasti dan nyejer ini sebagai pendahuluan dari Hari Raya Nyepi. Melasti, Nyejer dan Nyepi sebagai kegiatan keagamaan Hindu untuk memperingati Tahun Baru €aka.

Hakikat semua perayaan keagamaan Hindu tersebut sebagai suatu proses evaluasi penyelenggaraan kehidupan yang dilakukan setiap tahun. Proses evaluasi ini amat dibutuhkan untuk mencermati penyelenggaraan kehidupan di bumi ini agar senantiasa berada dalam jalur yang benar sesuai dengan ketentuan pustaka suci Weda.

Kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala di atas itu, menjelaskan empat tujuan Melasti. Sedangkan tujuannya yang tertinggi dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yang dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.

Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti.

Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada empat sasarannya yaitu:
1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai.

2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita.

Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombong-sombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar.

Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala.

3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan.

Hidup yang ”papa” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana sudah diterangkan di bagian depan dari tulisan ini. Lima klesa (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan.

4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”Letuh” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut Abhuta Hita artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya.

Jangan lima unsur Bhuta itu diganggu kelestariannya. Jadinya Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan.

Tentunya Upacara Melasti akan menjadi mubazir kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan.

Friday, March 13, 2015

Berpulangnya Anak I Wayan Nonik (cucunya I Nyoman Roneng)

Pada hari Wrahaspati Kliwon tanggal 12 Maret 2015 telah berpulang generasi Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dengan tenang setelah ia menghembuskan napasnya di dunia ini. Ia adalah anak dari I Wayan Nonik...
Karna bertepatan dengan hari Pengliwonan di Banjar Sawangan maka upacara penglelungahan baru dilaksanakan setelah usai pelaksanaan acara pengliwonan tersebut kira-kira pukul 23.00 malam.

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT YANG DI SEMBUNYIKAN PEMERINTAH


OM Swastiastu,
——————————————–
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit. Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.
Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta (Wilwotikto).
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. (Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan).
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. (Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! (Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha (Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka).
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
R U N T U H N Y A   M A J A P A H I T
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)
Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka).
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta Majapahit.
Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, didaerah Sulawesi).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. [Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang].
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah.
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka).
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Mendekati detik-detik pemberontakan
Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. (Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).
Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.
Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri Manggana.
Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. (Akan saya buat catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).
Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin gerakan.
Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.
Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur.
Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!
Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.
Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.
Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.
Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara Majapahit.
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.
Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara. Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.
Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.
Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!
Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!
Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.
Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!
Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah penyerangan!
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.
Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.
Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.
Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa!
Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain.
Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah terlambat!
Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah yang sudah muslim.
Dan, peperangan pecah sudah!
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut mengamuk dimedan laga!
Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan Demak Bintara terpukul mundur!
Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! (Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!
Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!
Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.
Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).
Majapahit kebobolan luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!
Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih dibutuhkan!
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat ini.
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten Ponorogo.
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. (Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka).
Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.
Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.
Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur karena kepicikan.
Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.
Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.
Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana, dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. (Suku Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno. Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).
Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat diberlakukan.
Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi.
Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Sirna Ilang Kerthaning Bhumi
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.
Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman :Damar Shashangka).
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka ‘0’. ILANG berarti angka ‘0’. KERTA berarti angka ‘4’ dan BHUMI berarti angka ‘1’. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.