411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Tuesday, December 13, 2016

Ngeruwak lan Mecaru ring Punduk Dawa, Rencana Linggih Ida Bhatara Mpu Gana. Wujud bhakti warga MGPSSR ring Ida Bhatara Kawitan

...................................................... sebagai wujud bhakti pratisentana Pasek kepada leluhur/lelangit....
sikap yang diambil saat Pemacekan Agung, dimana Pujawali Ida Bhetara Mpu Gana yang sedianya dilaksanakan di Pura Dasar Buana, dilakukan Piodalan/Pijawali di Catur Lawa Besakih.
Sebagai kelanjutan sikap tersebut, maka Semeton Pasek melalui MGPSSR Pusat telah sepakat dan pada tanggal 13 Desember 2016..bertepatan dengan Purnama Kenem....













Sunday, November 20, 2016

NI WAYAN METRI BERPULANG

Pada hari Sabtu Umanis tanggal 12 Nopember 2016 telah berpulang warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu Ni Wayan Metri telah meninggalkan suami dan anak-anaknya serta seorang cucu menghadap Hyang Widhi Wasa.

Upacara atiwa-tiwa sebagai bhakti para prathisentana kepadanya, pada hari Jumat Paing tanggal 18 Nopember 2016.

Sunday, October 23, 2016

KAPITAYAN AGAMA PERTAMA DI NUSANTARA (copas dari BLOG CATATAN ANAK NEGERI)


SEBENARNYA AGAMA APA YANG ADA PERTAMA KALI BERKEMBANG DI NUSANTARA?

Agama yang paling awal berkembang di Nusantara adalah Kapitayan. Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sanghyang Taya” yang bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu, supaya bisa disembah, Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat adikodrati.

Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata “taya” artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak ada.

BAGAIMANA DASAR PEMAHAMAN AJARAN TERSEBUT?

Dalam sistem ajaran Kapitayan yang begitu sederhana waktu itu, Sanghyang Taya tidak bisa dikenali kecuali ketika muncul dalam bentuk kekuatan gaib yang disebut “Tu”. “Tu” adalah bahasan kuno yang artinya benang atau tali yang menjulur. “Tu” inilah yang dianggap sebagai kemungkinan pribadi Sanghyang Taya.

“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik dan sifat tidak baik. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan, dan “Tu” yang tidak baik disebut Hantu.

“Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “tu” yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.


DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM APAKAH WALISONGO MENGADOPSI KAPITAYAN?


Memang Kapitayan ini diadopsi oleh Wali Songo untuk menyebarkan Islam. Karena selama 850 tahun Islam tidak bisa masuk pada kalangan pribumi yang mayoritas penganut Kapitayan. Karena apa? Karena para saudagar muslim menceritakan bahwa Allah itu duduk di atas singgasana bernama Arsy. Lho, itu kan seperti manusia?. Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika seperti itu. Bagaimana Tuhan duduk, itu kan sama seperti manusia?

LALU PRINSIP AJARANNYA BAGAIMANA ?

Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Nah, pada jaman Wali Songo, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sanghyang Taya adalah laisa kamitslihî syai’un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.

Wali Songo juga menggunakan istilah ‘sembahiyang’ dan tidak memakai istilah shalat. Sembahiyang adalah menyembah ‘Yang’. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan kemudian diubah menjadi seperti langgar-langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat tidak ngerti tapi menggunakan istilah ‘upawasa’ kemudian menjadi puasa.

Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan pakai tumpeng. Jadi, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak.

Hindu pun ketika masuk ke Nusantara juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

MENURUT PERSEPSI ANDA, APA YANG DISEBUT KEJAWEN?

Kata Kejawen secara gramatika kebahasaan saja sudah salah. Dalam bahasa Jawa, tidak ada

kata Kejawen. Sebetulnya Kejawen diberikan kepada kelompok hasil reformasi yang dilakukan oleh Syaikh Lemah Abang di daerah pedalaman. Reformasi dari masyarakat “kawulo” yang artinya budak menjadi masyarakat merdeka sehingga menimbulkan konflik dengan Kesultanan Demak.

Syaikh Lemah Abang membentuk banyak sekali Desa Lemah Abang, dari daerah Banten sampai daerah ujung timur Jawa. Para pengikut Syaikh Lemah Abang umumnya menentang tradisi Kesultanan Demak.

Dalam buku Negara Kerta Bumi disebutkan bahwa Syaikh Lemah Abang pernah tinggal di Baghdad selama tujuh belas tahun. Oleh karena itu, pemahaman dia terhadap sistem kekuasaan banyak terpengaruh oleh sistem kekuasaan di Baghdad.

Ketika balik ke Nusantara, dia melihat realita Kesultanan Demak yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit. Jika ada masyarakat yang akan menghadap sultan atau raja diharuskan nyembah dulu yang oleh Syaikh Lemah Abang dianggap tidak benar. Sebab ketika Syaikh Lemah Abang menghadap sultan maupun raja, dia tetap dengan posisi berdiri, tidak nyembah, dan sejak itu dia melarang masyarakat menyembah jika menghadap sultan.

Pokok ajaran KAPITAYAN:

"Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia".
Kapitayan, Agama Universal Dari Tanah Jawa.
Wahai saudaraku. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan Tuhan. Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan China hadir di Nusantara. Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukan-Nya.
Ya. Orang Jawa di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.
Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.
color: white; color: #666666; font-family: "noto sans", sans-serif; font-size: 0.928571em; margin-bottom: 10px; padding-bottom: 10px;"> Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya. Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati yang supranatural. Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati.
Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya. Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal. Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk(lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri). Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud). Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.
Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin kerajaan Nusantara).
Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-benda yang ber-TU-ah.
Namun zaman pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya. Contohnya ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung Klothok dan gunung Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden-Belanda sana). Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama, penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa. Selanjutnya di zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam  yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman Kolonoial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.
Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya pengorbanan suatu peradaban menerima perobahan? Itu hanya milik peradaban tanah Jawa di Nusantara. Andai saja mereka bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa TIDAK AKAN ADA AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH JAWA, bahkan tanpa pertumpahan darah. Justru yang belum yakin itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan bahasa semesta. Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan tempat pendidikan kelas dunia di masanya. Hal yang sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Kemudian agama Islam bahkan dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam Nusantara.
Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti aslinya dimana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan yang nyata. Dan ketika ada orang yang menganggap adalah sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat dimana ia diturunkan. Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan mimpi untuk bisa hidup sempurna jika memaksakan sesuatu – terutama keyakinan – tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat. Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Dan Tuhan itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan “Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja”?. Sungguh aneh.
“Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua agama besar dunia”
Wahai saudaraku. Semoga kita tetap bisa menjadi pribadi yang tidak berpikiran picik atau fanatik yang buta, karena itu hanya akan menyusahkan. Bahkan jika terus dipertahankan, maka kehidupan pun akan semakin kacau, karena kepicikan dan fanatik itu sendiri adalah sumber dari kebodohan. Bersikaplah bijaksana disertai hati yang lapang, dengan begitu tujuan hidup di dunia akan tercapai.

Wednesday, September 14, 2016

MAKNA SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA




 
Jas Merah adalah ungkapan Bung Karno yang pasti tidak akan pernah lekang oleh waktu. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, Itulah kepanjangan ungkapan itu, yang sesungguhnya berdimensi amat luas bila dikaitkan dengan keberadaan kita sebagai makhluk sosial.
....
Sejarah tidak datang dengan sendirinya. Dia tidak jatuh dari langit untuk kemudian dibanggakan semata sebagai hak individu atau sekelompok tertentu saja. Sejarah adalah serangkaian upaya masa lalu, yang didalamnya ada situasi berkembang dinamis. Yang penuh kecemasan dan juga rasa bangga dari seluruh pelakunya. Sehingga dia menjadi patut sebagai sebuah ceritra yang menginspirasi siapapun pada era setelahnya. Sehingga dia dapat menjadi bagian yang menyatukan, bukan sebaliknya memporak porandakan.
 
Karenanya, menuliskan sejarah adalah mengguratkan kerendahan hati untuk ceritra yang harus dibagi. Tidak saja tentang keperkasaan dan kemenangan tetapi juga tentang kesetiaan dan kesetiakawanan. Begitupun dalam memperlakukan sejarah. Dia tidak dapat dimanipulasikan. Apalagi diceritrakan dengan niat busuk para pendusta. Karena sang waktu pada akhirnya akan membuka tabir tentang apa yang seharusnya dan sesungguhnya pernah terjadi.
....
Sejarah tentang Bali adalah sejarah yang tidak semata tentang penguasaan dan keangkuhan. Tetapi juga ceritra tentang sikap yang saling memahami. Yaitu sikap yang akhirnya dipilih bersama guna menjadi 'sedhulur' dengan saling membisiki makna Vasudevam Khutumbakam - Kita semua adalah bersaudara. Itupula sebabnya mengapa akhirnya akultrasi menjadi begitu cepat dan tanpa tedeng aling-aling.
...
Namun demikian waktu yang terus menggelinding, mengajak juga generasi untuk ikut berganti. Dan para pendustapun berkesempatan untuk menebar sihir kebohongan. Karena sejarah kemudian diplintir. Sikap sebagai sedhulurpun diabaikan. Mengingat yang ada kemudian adalah kalimat yang semarak dengan hujatan serta ungkapan memilukan para leluhur : "Kau bukan Aku ... Kita bukan Mereka dan seterusnya". Akhirnya yang kemudian tersisa adalah sejarah yang gamang. Yang tidak jelas keterkaitannya dengan kebanggaan apapun bilamana diruntut ke hulu sebagai ikhwal. Sejarah akhirnya tidak bermanfaat apapun bagi generasi berikutnya, karena sejarah tidak lagi menjadi ceritra tentang keperkasaan sekaligus kerendahan hati sebagaimana para pelakunya dulu. Sejarah kini diabaikan karena dianggap membebani gengsi. Sejarah seolah telah menjadi batu sandungan bagi karier dan relasi serta kemasan lainnya dalam rangka kekinian.
 
Masa kini seolah tidak butuh sejarah. Begitu juga sebaliknya dengan sejarah, yang juga tidak butuh masa kini. Karena masa kini dipenuhi dengan kepentingan untuk menguasai segalanya sebagai hak kelompok. Yang tentu bertolak belakang dengan tujuan para leluhur ketika mengguratkannya sebagai sesuluh, pelita, bagi sebuah relasi sosial.
....
Jaman kini adalah jaman dengan langkah besar menuju kemunduran cara menakar hubungan. Kasta dan Soroh menjadi begitu marak. Tidak saja menggelinding di pojok-pojok keremangan berpikir kaum marginal, tetapi juga di gemerlap intelektualitas para tokoh.
 
Lalu, siapa yang mau direndahkan ketika satu Kasta butuh meninggikan dirinya??
 
Siapa yang mau ditindas untuk mengejawantahkan keperkasaan terhadap yang lain??
 
Jaman kini, telah membuat sejarahnya yang tidak ada sesuatupun untuk menjadi pantas ditauladani oleh generasi berikutnya. Karena sejarah masa kini adalah sikap pragmatisme yang levelnya adalah sekedar untuk menguasai lahan parkir dan pungutan retribusi guna menopang hidup. Kalau sekedar itu; kebanggaan apa yang dapat diwariskan?
 
Tidak ada apapun!!!!
 
Bahkan satu kebanggaan yang sebelumnya begitu takzim ketika menyebutnyapun telah pula terjual. Yaitu ketika Geria yang seharusnya sebutan bagi tempat bersenayam para Sulinggih dan Puri yang seharusnya sebagai sebutan istana para Raja, kini telah menjadi sebutan bagi kompleks perumahan.
....
Jadi menjadi wajar dan tidak terlalu angkuh bila warga Pasek akhirnya ikutan menggali sejarahnya sendiri. Yang lama terserak dan tertahan di kerendahan hatinya. 
 
Penulis : Ketut Sumarya

Sunday, September 11, 2016

Ketika keharmonisan belum terpaut....Ida Bhetara Mpu Gana di tuntun ke Pura Catur Lawa Besakih tanggal 11 September 2016




Ketika kata berbagi sudah begitu rumit untuk saling dipahami, adakah yang lebih baik dari kata Berpisah?
Itulah yang sedang terjadi hari ini di Besakih. Tepatnya di Pura Catur Lawa Ratu Pasek.
Hari ini, Redité, Kajeng Wage uku Kuningan, tanggal masehi 11September 2016, para penglingsir dan tokoh Pasek mengambil jalan tengah. Mereka menunjukkan komitmennya untuk tetap saling mengasihi sebagai warih para leluhur yang telah mewariskan kesepahaman. Yaitu agar pura Dasar Gelgel mesti didedikasikan sebagai sebuah arena. Dimana kecamuk cinta, benci disikapi sebagai rangkaian dinamika yang mengokohkan. Yang tidak hanya menginspirasi guna saling merindukan, tetapi juga memotivasi. Agar semua warih bersama-sama mengukir jaman. Juga menata angin guna menyejukkan gejolak benci, untuk kemudian menjadi kerinduan sexy yang menggairahkan.
....
Tetapi hari ini sebuah sikap telah diambil untuk selanjutnya dikukuhkan sebagai rangkaian nadar. Karena kesepahaman yang digadang-gadang para leluhur ternyata tidak pernah terwujud nyata. Juga telah semakin direntankan. Tidak saja oleh Lupa, tetapi juga oleh jaman yang tak sepakat untuk diukir bersama.
...
Lalu...siapa yang dikutuk oleh para leluhur?
...
Tapi pentingkah menjadikan kutukan sebagai bagian dari penangkal lupa ketika dia begitu lama diam. Tidak mengingatkan apapun kepada para warih bahwa mereka semua adalah sedhulur? Bahwa mereka semua wajib saling mengukuhkan sebagai warih dari kerendahan hati masa lalu ? Yaitu manakala salah satu diantara para warih senantiasa meradang akibat merasa diabaikan. Bahkan merasa tidak lagi dipadankan sebagai warih?
...
Hari ini pura Catur Lawa Ratu Pasek Besakih telah menjadi sebuah arena. Dimana gerah matahari disapu angin yang berhembus bagai menciumi apapun dengan kegairahan tak terperi. Yang menyeruak penuh berahi terhadap pucuk-pucuk bambu dan cemara yang tak kalah sexy memanggil-manggil. Pun juga terhadap mereka yang 'pedek tangkil'. Angin meraba sekujur mereka bagai sedang bercinta. Mereka semua bergairah. Menyambut sebuah sikap yang lama ditunggu. Yaitu untuk dipadankan tidak semata sebagai warih, tetapi sebagai anak-anak manusia. Yang setara dalam menata linggih untuk didedikasikan bagi sang waktu dan juga jaman.
...
Hari ini mungkin momentum yang telah dipahami oleh para leluhur sebagai sikap METILESAN dari salah satu warih mereka. Mungkin juga mereka ikut bosan atas apa yang telah terjadi begitu lama. Sehingga sepakat untuk sejenak memalingkan muka. Atau juga memburamkan pandang dengan bulir air mata yang menggenang penuh sesal. Bahwa para warih tidak lagi meneruskan kesepahaman yang dulu digurat penuh kerendahan hati dan suka cita untuk saling setia dan bersetia kawan.
....
Mungkin sikap yang telah diambil untuk 'Metilesan Raga' adalah sebuah keputusan yang sepadan. Karena ditujukan untuk memuliakan leluhur sesuai sesuluk yang semestinya. Dimana beliau di suguhkan Puspam, Dupam, Tirtam dan Mantram yang dibalut Mudram mengharukan oleh warih yang telah menggapai Dwi Jati. Tidak sekedar Sehe sesontengan, sekalipun digaungkan dari bangunan berukir indah. Memang tidak segurat kukupun dari keduanya nenjadikan bhakti berkurang. Tetapi bukankah menjadi penting manakala si anak menyuguhkan sesuatu yang mempertunjukkan bahwa mereka telah tidak menyia nyiakan segala kesempatan untuk menjadikan leluhur lebih bangga?
Adakah yang lebih mampu membuat air mata orang tua berderai ketimbang sapaan dan suguhan sepenuh syukur dari anak cucu??
Itulah yang hari ini terjadi. Yaitu ketika para warih PASEK tidak hanya memohon tetapi menyuguhkan keberadaan mereka kepada leluhurnya. Bahwa kini mereka adalah manusia yang tidak abai atas apa yang menjadi kehendak para leluhurnya. Bahwa kini mereka adalah manusia yang di kerendahan hatinya, juga berkehendak mengukir jaman agar sejarah tidak ragu memadankannya.
...
Sikap Metilesan Raga adalah pilihan dari mereka yang tidak abai akan rasa hormat. Yaitu agar pura Dasar Bhuwana Gelgel tak tersedak kesejarahannya. Bahwa PASEK adalah bagian terpenting darinya***
11/9/16

Thursday, September 08, 2016

NI WAYAN ROMEN telah berpulang....

Pada hari sabtu umanis malam tanggal 3 September 2016, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu Ni Wayan Romen telah berpulang kepada Hyang Widhi Wasa.....

Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Minggu Wage Tanggal 11 September 2016 oleh Prathi sentananya....

Atas segala amal dan bhaktinya sebagai tabungan kebaikan semoga beliau amoring acintya...
Om Swastyastu,
Om Tattwatma Naryatma Swadah Ang Ah
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.
Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha...
Om Vayur Anilam Amartam Athedam
Basmantam Sariram,
Om Krato Smare, Klie Smare, Krtam Smara....
Om Ksama sampurna ya namah,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Wednesday, June 22, 2016

Pan Waker aka I Rodeg telah berpulang

Bertepatan dengan Purnama Sasih Sadha, kajeng kliwon dan runtuhnya Watugunung atau sering disebut Tuun Sebel, satu lagi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yaitu Pan Waker alias I Rodeg telah menutup usia pada hari Minggu Kliwon Wuku Watugunung tanggal 19 Juni 2016.

Oleh pratisentananya, upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Senen Pon Wuku Sinta, tanggal 27 Juni 2016. Sehingga bagi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan tidak dapat melaksanakan perayaan Hari Raya Pagerwesi karena kacuntakan....

Atas semua amal kebaikaanya, semoga dapat menjadi tabungan kebajikan untuk menyatu dengan-Nya...

Om Swastyastu,
Om Tattwatma Naryatma Swadah Ang Ah
Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.
Om Ksama Sampurna ya Namah Swaha...
Om Vayur Anilam Amartam Athedam
Basmantam Sariram,
Om Krato Smare, Klie Smare, Krtam Smara....
Om Ksama sampurna ya namah,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Sunday, June 12, 2016

Bercerminlah pada Panca Pandawa


1. Pertama kali Bima yg mati.
Pada saatnya nanti, tenaga besar yg kau sombongkan itu meninggalkanmu pertama kalinya.
2. Kedua kalinya Arjuna yg mati.
Ketampanan, kesaktian, juga harta benda yg kau sombongkan itu meninggalkanmu berikutnya.
3. Ketiga kalinya Nakula yg mati.
Makanan (sekula) enak-enak yg kau sombongkan meninggalkanmu ditahap ketiga.
4. Keempat kalinya Sahadewa yg mati.
Kepradnyanan, keahlian, ketrampilan yg kau sombongkan meninggalkanmu selanjutnya.
Hanyalah Dharma yg diikuti seekor anjing (asu = asuba karma dan suba karma) yg kau bawa pulang ke desa tuamu.

Thursday, June 09, 2016

MAKNA ARAK BEREM


Bagi umat Hindu Bali yang belum memiliki kewenangan "Nganteb" banten dengan "Pengastawa" sebagaimana layaknya seorang pemangku, bukan berarti tidak ada cara nganteb yang diperbolehkan.
Bagi orang awam atau bahkan bagi orang yang tidak mengenal tulisan tentu saja agak kesulitan untuk ngastawa mempergunakan puja mantra, tetapi bisa dilakukan dengan nyanyian pemujaan seperti kidung wargasari dan lain-lain. Ada juga menggunakan simbol-simbol seperti melakukan "tetabuhan arak-berem".
Kenapa menggunakan Arak dan Berem?
Arak merupakan simbol dari aksara suci "Ah-kara"
Berem adalah simbol dari aksara suci "Ang-kara".
Hal ini terkait dgn mantra pengastawa
"Utpeti", "Stiti", "Pralina"
Utpeti..
Yang dimaksud dengan Utpeti adalah memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar Beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasi Nya sesuai dengan fungsi Nya, untuk menyaksikan
persembahan dari pemuja Nya berdasarkan keyakinan dan kekuatan magis dari upacara.
Dalam hal ngastawa mempergunakan sarana /simbul maka,kalau metabuh dalam tujuan ngastawa harus mengikuti urutan Berem (Ang) kemudian dilanjutkan dengan Arak (Ah).
Stiti....
Yang dimaksud adalah menstanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah Beliau telah duduk pada stana Nya, telah siap menerima dan menyaksikan persembahan pemuja Nya.
Maka pada saat inilah kita melakukan persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi Nya.
Pralina...
Pengertiannya adalah menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan kembali ke Kahyangan (kembali pada keheningan Nya), karena acara persembahyangan pemuja Nya telah selesai. Dalam hal ini mempergunakan sarana maka kalau metabuh dalam tujuan pralina harus mengikuti urutan Arak (Ah) ,
kemudian dilanjutkan dengan Berem (Ang).
Begitu juga dalam menghaturkan "Segehan", letakkan segehan di posisi yang seharusnya, kemudian ngastawa (Berem-Arak), lalu "ketis" toyo ening, kemudian "ayab" dan terakhir pralina (Arak-Berem). Sehingga dalam mesegehan pun telah terlaksana Utpeti-Stiti-Pralina.
Dalam mesegeh sesuaikan warna nasi kepelnya dengan arah mata angin
Putih-Timur,
Merah-Selatan,
Kuning-Barat,
Hitam-Utara
Brumbun (campuran keempat warna)-Tengah
Begitu juga dalam hal menghaturkan "Canang Sari" agar diperhatikan warna bunga agar sesuai dengan arah mata angin seperti pada segehan di atas, hanya bedanya yang di tengah adalah irisan dari pandan harum.
dumogi wenten pikenoh nyane , sehingga tidak lagi berpikir bahwa arak/berem itu untuk minuman Bhuta Kala.

Wednesday, May 25, 2016

Awatara kedua - Kurma Awatara

 

AWATARA KEDUA – KURMA AWATARA
Ras : Awatara Wisnu
Wujud : Kura-Kura Raksasa
Masa Kemunculan : Satya Yuga

Pada mulanya Dewata, baik Adhitya maupun Astawasu, serta para Ashura adalah makhluk fana. Mereka bisa mati dan terbunuh kapan saja dalam medan perang. Masalah mulai timbul ketika suatu ketika jumlah Ashura jauh melebihi para Dewata. Dewata yang kalah jumlah terpaksa mundur dari Swargaloka dan mengungsi ke Brahmaloka. Di Brahmaloka, Brahma yang mendengar keluh-kesah para Dewata menyatakan dirinya tidak bisa membantu banyak dan menyarankan para Dewata beranjak ke Vaikuntha, meminta bantuan Wisnu.
Wisnu mengatakan bahwa jauh di bawah Kshirsagar – lautan susu – terdapat Amerta (Amrta / Amrita) – air keabadian. Dewata memang memiliki Amerta, tapi jumlahnya amat sedikit. Mereka harus mendapatkan Amerta tambahan supaya mereka bisa menang bertempur melawan Ashura pada masa-masa mendatang. Dengan Amerta tambahan ini, Dewata akan menjadi makhluk abadi. Tapi untuk mendapatkan Amerta yang berada di dalam lautan itu, kekuatan Dewata semata tidak cukup. Dewata harus meminta bantuan pada dua pihak : Para Ashura yang dipimpin Mahabali dan Raja Naga Basuki.
Jadi pertama-tama para dewa datang kepada saudara sepupu mereka, Ashura, menawarkan tawaran ‘gencatan senjata’ untuk sementara guna menyukseskan misi mengaduk Kshirsagar dan mengambil Amerta. Kebanyakan Ashura tidak setuju, tapi pemimpin mereka, Mahabali, setuju untuk bekerjasama.
Para dewa kemudian beranjak menemui Basuki, dan menawarkan sedikit Tirta Amerta sebagai imbalan kepada Basuki kalau Basuki bersedia menjadi tali pemutar Gunung Mandarachala (atau Gunung Meru). Basuki – sebagaimana kebanyakan naga yang mendambakan keabadian – setuju-setuju saja dengan usulan itu. Tapi ia baru mau datang kalau Dewata dan Ashura sudah selesai mencabut Gunung Meru.
Mencabut gunung setinggi 84,000 Yojana (sekitar 1.082.000 km – 85 kali diameter bumi) ini ternyata bukan perkara enteng. Meskipun seluruh Dewata dan Ashura sudah berusaha mencabut gunung ini, tetap saja mereka kesulitan. Di tengah keputus asaan ini, para Dewata minta bantuan pada Wisnu untuk turut membantu. Jadi Wisnu turun dan turut membantu dua pihak ini mencabut gunung ini. Lalu timbul satu masalah lagi, gunung ini selalu tenggelam setiap kali hendak dibawa ke titik pengeboran. Wisnu pun memanggil Garuda untuk membantu mereka memanggul gunung itu.
Wisnu sendiri merubah dirinya menjadi sosok kura-kura raksasa – yang disebut Kurma – dan memerintahkan Garuda meletakkan gunung itu di punggungnya setelah itu ia menyuruh Sang Garuda pergi dari tempat itu karena Basuki tidak akan mau datang kalau ia melihat Garuda ada di sana (Garuda dan Naga selalu bermusuhan). Kurma membawa Gunung Meru ke titik yang telah ditentukan lalu Basuki pun datang. Ia melilitkan tubuhnya pada gunung itu dan para Dewata mengambil posisi di bagian kepala Basuki.
Tapi para Ashura curiga bahwa jika kepala Basuki terlalu dekat dengan Dewata, dua pihak ini mungkin akan merencanakan sesuatu yang tidak-tidak pada mereka. Maka mereka pun bersikeras mengambil posisi di bagian kepala Basuki. Wisnu meminta para Dewata ‘mengalah’. Mahabali curiga karena para Dewata tidak melawan, tapi rakyat dan menteri-menterinya sudah terlanjur ambil posisi. Dewata akhirnya memegang ekor Basuki.
Kecurigaan Mahabali jadi kenyataan. Setiap beberapa putaran, akibat cengkeraman para Ashura yang terlalu keras, Basuki selalu memuntahkan upas (racun / bisa) yang membuat para Ashura terbakar dan kemudian mati. Mahabali kecewa namun sudah terlambat bagi dirinya dan rakyatnya untuk berganti posisi.
Proses pengeboran itu menghasilkan beberapa harta berharga yang dibagi dua antara para Dewata dan Ashura :
• Laksmi, dewi keberuntungan, memilih Wisnu sebagai pasangannya.
• Apsara, para bidadari. Nama-nama mereka antara lain Rambha, Menaka, Punjisthala, Urvasi, Thilothamai, dan lainnya. Sebagian dari mereka berpasangan dengan para Dewata, sebagian lagi berpasangan dengan Gandarwa.
• Varuni atau Sura, dewi pembuat alkohol, menjadi pasangan dari Baruna (Varuna) – dewa samudra.
• Kamadhenu atau Surabhi, sapi pengabul segala kehendak – diambil oleh Wisnu dan kelak akan diberikan kepada para rsi pertapa.
• Airavata, dan beberapa ekor gajah, diambil oleh Indra.
• Uchhaishravas, kuda paling cepat di muka bumi. Diberikan pada para Ashura.
• Kaustubha, permata paling berharga di dunia, dikenakan oleh Wisnu.
• Parijat, bunga yang takkan pernah layu – dibawa ke Indraloka oleh para dewa.
• Astra-astra berbentuk panah – diambil oleh para Ashura.
• Chandra, dewa bulan.
• Dhanvantari, dokter para dewa. Ia membawa Amerta bersama dengannya.
• Halahala, racun mematikan yang muncul ketika proses pengadukan. Ditelan oleh Siwa dan Nandi. Namun sebagai akibatnya, tenggorokan Siwa berubah menjadi biru terbakar.
• Shankha, terompet kerang Wisnu
• Jyestha – dewi ketidakberuntungan
• Sebuah payung yang diambil Baruna
• Anting-anting yang kelak diberikan pada Aditi, oleh putranya, Indra
• Kalpavriksha atau Pohon Kalpataru.
• Nidra atau kemalasan.
• Uchhaishravas kelak akan ditunggangi oleh Arjuna dalam Mahabaratha.
• Siwa pada awalnya tidak mau ikut campur dalam Samudra Mathan, sampai ketika Halahala keluar, barulah ia mau turun tangan.
• Selain Adhitya, Prajapati, dan Astawasu, pihak Dewata juga dibantu oleh beberapa Rsi.
• Mahabali adalah Ashura paling cerdas dan mau berpikir panjang dibandingkan kaumnya yang lain. Namun, meski ia diangkat menjadi raja, kaumnya sering tidak mau mendengarkannya.
Dikarenakan proses pembagiannya agak ‘kurang adil’. Dewata mendapat jatah lebih banyak daripada Ashura. Karena itulah para Ashura menuntut supaya Amerta diberikan pada mereka karena Dewata sudah mengambil bagian lebih banyak daripada mereka.
Kemudian para Dewata kalah argumen dan akhirnya Amerta diberikan pada Ashura. Tapi itu tidak berlangsung lama. Wisnu berhasil merebut kembali Amerta itu dengan mengubah dirinya menjadi sosok wanita cantik bernama Mohini.

Tuesday, March 29, 2016

SALAH PATI DAN ULAH PATI

BUNUH DIRI & MATI KECELAKAN
MENURUT AGAMA HINDU
Mati Salah Pati dan Ngulah Pati :
Menurut dharma sabha para
Sulinggih, mati salah pati, ngulah
pati, sampun kepatehang

Mati Salah Pati dan Ngulah Pati
PERTANYAAN:
Menurut dharma sabha para Sulinggih, mati salah
pati, ngulah pati, sampun kepatehang mekadi
mati biasa. Pertanyaan:
1. Dwaning sampun wenten siaran asapunika,
napi dados yening wenten anak mati salah pati/
ngulah pati nenten ngemargiang meseh lawang.
2. Sapunapi, utawi wenten tata cara mangda
nenten terus menerus keni ala mati salah pati/
ulah pati, dwaning titiang maduwe kakilitan
sampun wenten petang diri sane mati salah pati:
kekalih rerame uwa, asiki misan, asiki pianak,
matinnyane: kelebu di pasih, majukut ring carik,
kabedil ring alase, lan mati sirep di proyek.
JAWABAN:
1. Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah
mati yang tidak terduga-duga karena kecelakaan
atau di sarap macan, buaya, disenggot sampi,
digigit ular, dibunuh, dll. Yang dimaksud mati
ngulah pati adalah mati karena bunuh diri.
Berdasarkan hasil pesamuhan Agung Para
Sulinggih dan Walaka di Campuhan, Ubud, tanggal
21 Oktober 1961, dapat diupacarai sebagai orang
mati biasa (karena sakit) hanya ditambah dengan
upacara panebusan.
Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama
Purwa Tattwa Atma” yang menyatakan:
… YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN
WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA,
WENANG ANGADEG SAMAYA;
YAN ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG
PRETEKA;
YAN ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG,
SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG
PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG
ANGADEG SAMAYA;
YAN MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS
TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA
WENANG ANGADEG SAMAYA;
SEMALIH YAN HANA WANG NGEMADUWANG
MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA
TIBAN NANGGU TELUNG TIBAN WENANG
PRETEKA …
Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati
dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati
biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara
panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di
tempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu
ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa
baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.
Upacara meseh lawang merupakan loka dresta
yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara
panebusan itu namun berbeda-beda
pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada
saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang
melaksanakan pada saat pengabenan.
2. Kematian dan cara mati seseorang sudah
diperjanjikan jauh ketika Sang Atma belum
reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu
ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang
Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).
Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja
Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin
upacara pengabenan berkewajiban menuntun
Sang Atma dalam perjalanannya menghadap
Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada
Sang Atma ketika upacara Nyekah yang disebut
“Puja Putru Saji Nyekah” antara lain berbunyi:
… LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN,
JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA
HYANG WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE
BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA,
ELING RING SAMAYANTA … DST
… AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA,
PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA
MANGGE RING SWARGA, AREP PWA KITA
TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG
TUMITIS ANJANMA MANAWA KITA ANWAN PEJAH
… DST
… AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK,
SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA
ASEMAYA MATI SINAWUTANING WUHAYA,
SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA
MATI SEDENG BISA PAPALAYON, SEDENG
SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA,
SEDENG APAPANGKAS, SEDENG ANUWUH
TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI
SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI,
SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN
TUWUH …
Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh
Sang Pandita yang bertanggung jawab; oleh
karena itu sangatlah penting artinya untuk
memilih Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta
untuk muput upacara ngaben.
Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah
diucapkan atau diucapkan oleh yang tidak
berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma
sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak
wajar tersebut.
Hukuman Mati, Salah Pati, Ngulah Pati
QUESTION :
Banyak berita-berita di media masa maupun
elektronik menyajikan berita-berita kriminal dan
sampai vonis mati. Yang ingin saya tanyakan
adalah bagaimana sebenarnya pandangan agama
Hindu terhadap hukuman mati, apakah ajaran
Hindu membenarkan hukuman mati dan apakah
ada sumber hukum Hindu yang mengatur semua
itu?
Mengingat Hindu adalah menjunjung tinggi ajaran
Ahimsa dan kasih sayang, apakah arwahnya nanti
bisa reinkarnasi? Termasuk jenis kematian apa
orang yang terkena hukuman mati tersebut
apakah ulahpati atau salah pati?
ANSWER :
Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/
pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha
Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/
kejahatan digolongkan pada upa-pataka
(kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka
(kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/
kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah
pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya
dengan upacara saja, tetapi juga dengan tapa-
brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas
dasar kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti
sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan
“hukuman mati” sebagai berikut:
LAKSYAM SASTRABHRITAM WA,
SYADWIDUSAMISCHAYATMANAH,
PRASYEDATMANAMAGNAN WA, SAMIDDHE
TRIRAWAKSARAH
Artinya: Atau biarkan menurut kemauannya
sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi
sasaran panah (hukum tembak) dari para
pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu
(yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik
ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada
dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena
itu penetapannya tergantung dari kebijaksanaan
dan anumana pramana Sulinggih yang “muput”
upacara pitra yadnya itu.
Kalau pendapat saya pribadi, hukuman mati bagi
seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah
pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa
perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti
bersalah akan mendapat sanksi hukuman mati
dari Pengadilan.
Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum
mati, apakah akan amoring acintya (moksah)
ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/
punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena
masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak”
Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa.
Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang
diputuskan oleh “manusia” karena dipandang
“bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan
Sanghyang Widhi dia juga dianggap “bersalah”.
Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara,
dll.
Bhagawan
dwija says:
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------
Om Swastyastu,
Salahpati artinya kematian yang salah. Dikatakan
salah karena tidak mengikuti “proses” yang
dalam Nibanda disebutkan hendaknya kematian
manusia seperti kematian Panca Pandawa, yakni
diawali oleh kematian Nakula-Sadewa (kaki), Bima
(tenaga), Arjuna (suhu badan dan sinar mata), dan
terakhir Dharmawangsa (Roh meninggalkan
tubuh). Namun didalam kematian yang disengaja
atau tak disengaja, urut-urutan kematian itu tidak
terjadi, artinya langsung mati, misalnya mati
karena kecelakaan.
Ada jenis mati yang juga tidak mengikuti proses
seperti diatas, yakni mati bunuh diri. Ini disebut
Ngulahpati. Ngulahpati artinya mencari mati
dengan sengaja.
Baik salahpati maupun ngulahpati prosesi
sebelum pitrayadnya didahului upacara ngulapin
:1. Ditempat kejadian2. Di cangkem setra3. Di
perempatan (catus-pata)Tujuannya :1.
Mengingatkan roh bahwa “ia” sudah mati2.
Mohon maaf/ampun kepada Dewa-Dewi karena
terjadi kesalahan kematian seperti itu3.
Berpamitan kepada Ida Bhatara di Kahyangan Tiga
Desa Pakraman.
Om Santih, santih, santih, Om
Dalam agama hindu, upacara untuk bayi
meninggal dilakukan berbeda dengan upacara
pada orang dewasa yang sudah meninggal. Dalam
lontar Yama Tatwa disebutkan bahwa bayi yang
sudah lahir namun meninggal sebelum mencapai
umur 42 hari, haruslah dikubur pada saat itu juga
tanpa memerlukan dewasa khusus. Selanjutnya
jika pada orang dewasa yang meninggal dilakukan
upacara ngaben, maka pada bayi yang meninggal
sebelum usia 42 hari tersebut tidak diaben,
hanya melakukan upacara nyapuh gumukan.
Sedangkan jika bayi yang meninggal sudah
berusia diatas 42 hari namun belum meketus /
tanggal gigi, maka dilakukan upacara Ngelungah.
Ngelungah disebut juga Ngasturi yaitu rangkaian
upacara ngaben dan memukur yang dijadikan satu
kesatuan, sehingga jika sudah ngelungah tidak
perlu lagi upacara memukur karena pada saat
ngelungah sudah menggunakan don bingin. Jika
ada anak kecil yang meninggal dan sudah pernah
meketus / tanggal gigi, maka pada anak tersebut
dilakukan upacara ngaben dan memukur sama
seperti orang dewasa.
Jika ada ibu - ibu yang keguguran dan sudah
berupa janin, maka janin tersebut haruslah
dikubur pada saat itu juga. Tidak diperbolehkan
menginapkan mayat janin atau bayi di rumah.
Penguburan tersebut dilakukan tanpa
memerlukan dewasa dan tanpa membunyikan
kulkul banjar, atau disitilahkan ngemaling dan
tidak memerlukan upakara khusus, cukup dengan
canang sari saja. Sedangkan bagi orang tua yang
bayinya meninggal berlaku cuntaka yang berbeda,
untuk sang ibu cuntaka selama 42 hari dan si
bapak selama 12 hari.
BUNUH DIRI PERSPEKTIF AGAMA HINDU
Oleh
Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag
Asurya nama te loka andhena tamasavratah
Tamse pretyapi gachati ye ke catmahano
janah
(Yayur Veda 40.3)
Seorang yang bunuh diri akan pergi ke
asurya loka yang penuh dengan kegelapan.
Suka duka dialami di dunia ini merupakan
suatu kodrat ini timbul karena adanya
hukum “Rwa Bineda” yang diciptakan oleh
Tuhan. Semua tidak bisa lepas dari hukum
ini, ini berarti bahwa tidak ada sesuatupun
yang sempurna di dunia ini selain Tuhan.
Untuk itu ritme kehidupan manusia akan
senantiasa mengalami dinamika yang disebut
suka-duka.
Bhagawad Gita (XIII. 8) menyebutkan
Sebagai berikut:
Setiap makhluk yang dilahirka sebagai
manusia akan dibelenggu oleh enam
kelemahan yaitu :
1. Duka : setiap orang mengalami sedih.
2. Janma : setiap orang mengalami
kelahiran
3. Vyadhi : setiap orang mengalami sakit
4. Jara : setiap orang mengalami
Ketuaan/ Tua
5. Dosa : setiap orang mengalami dosa
6. Mrtya : setiap orang mengalami
kematian.
Keberhasilan dan kegagalan yang dialami
manusia kadang kala membuat orang lupa
akan kesadaran menjadi manusia,
keberhasialn akan dapat membuat orang
menjadi takabur, angkuh, sombong namun
sebaliknya kegagalan kadang-kadang datang
sebagai kenyataan hidupyang harus dijalani
bagi orang yang tidak siap dan goyah
keyakinannya sehingga kegagalan bisa
berakibat fatal, tidak jarang ada orang yang
frustasi, rendah diri, stres, hilang semangat
hidup dan bahkan bunuh diri.
Dalam ajaran agama Hindu bahkan agama
manapun tidak membenarkan tindakan
bunuh diri, seperti dalam kutipan sloka di
atas jelas menentang tindakan bunuh diri.
Kitab Sarasamuccaya 4 telah memberikan
tuntunan kepada kita sebagai umat Hindu
bahwa penjelmaan ini adalah jembatan emas
untuk bisa lepas dan bebas dari lautan
penderitaan melalui perbuatan baik, untuk
itu manfaatkanlah menjelma menjadi
manusia dengan baik sebab penjelmaan
sebagai manusia sangat sulit didapat
meskipun hina atau menderita janganlah hal
itu dijadikan alasan untuk mengambil jalan
pintas untuk bunuh diri.
Bunuh diri akan membawa roh kita masuk
pada asurya loka yaitu suatu tempat yang
penuh dengan kegelapan dimana ia akan
tidak menemukan cahaya dan tidak ada jalan
keluar dan tidak ada apa-apa hanya ada
kegelapan itulah yang disebut neraka.
Walaupun secara impiris sulit untuk
dibuktikan kemana arwah orang yang bunuh
diri akan pergi namun dapat diilustrasikan
dari suasana batin yang dialami orang yang
mati bunuh diri, pikirannya penuh dengan
kekalutan, ibarat ruang yang tanpa pintu
sulit untuk mencari jalan keluar. Jika situasi
batin sebagai suatu memori menjelang
ajalnya tiba maka akan diperoleh jawaban
kemana rokhnya akan pergi.
Menurut Bhagawad Gita VIII.6 disebutkan:
Apa saja yang diingat pada saat ajal itu tiba,
meninggalkna badan jasmani ini oh…Arjuna
ia akan sampai pada keadaan yang
dipikirkan, sebab ia terus menerus terbenam
dalam pikiran itu.
SUMBER :
Penyuluh Agama Hindu
Kecamatan Rendang
Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si.
NIP. 19820716 200604 1 018
https://id-id.facebook.com/notes/igb-jaya-menala/mati-salah-pati-dan-ngulah-pati-menurut-dharma-sabha-para-sulinggih-mati-salah-p/309757322464678/
http://www.idapedandagunung.com/viewtopic.php?f=1&t=80
‪#‎BALI‬&HINDU#PENCERAHAN#
‪#‎HINDU‬#ADAT#HUKUMHINDU#

Sunday, March 06, 2016

NYEPI

TANGGAL 09 Maret 2016 nanti, Bali akan merayakan Hari Raya Nyepi. Nyepi adalah tradisi tua, kemungkinan besar ini adalah tradisi agama wali, sebab jejak-jejak tradisi ini tersebar di berbagai desa-desa tua di Bali. Kabupaten Karangasem, misalnya, memiliki beberapa desa yang berkaitan tradisi-tradisi tua yang masih dilakukan hingga kini, misalnya tradisi-tradisi ‘ngusabha’ dari ngusabha dodol, ngusabha goreng, ngusabha dong ding, ngusabha dangsil, ngusabha ambu,sambah, dan lain-lain. Yang tersebar dari desa Tenganan, Bungaya, Asak, Selat, Ababi, hingga desa-desa sekitar Pura Besakih yang mentaati tradisi Usana Besukih. Hampir dipastikan disetiap upacara yang dilakukan akan ada yang namanya nyepi. Nyepi dalam tradisi desa-desa tua ada banyak jenisnya, ada nyepi luh, ada nyepi muani, ada nyepi ke carik, ada nyepi desa, dan seterusnya dan ada nyepi di seputar lokasi kejadian terjadinya upacara.
Tradisi nyepi berkaitan dengan religi agraris, menunjukan kaitannya dengan tradisi keyakinan akan “Sadpralingga giri” yakni enam stana gunung yang berkaitan dengan sejarah stabilnya pulau Bali, sejarah awal bagaimana beternak, bercocok tanam hingga berkaitan dengan pengelolaan lautan. Sadpralingga giri ini adalah gunung Lempuyang, Andakasa, Watukaru, Mangu/Beratan, Batur dan Tolangkir (Gunung Agung). Jika memperhatikan informasi yang berkaitan dengan nyepi, maka pertama yang digunakan adalah lontar jayakesunu,” ring telenging sasih Kesanga, patut mepare kerti Caru, tawur telenging sasih Kesanga, patut mepare kerti Caru, tawur wastannya, sadulur panyepian awengi (Tilem kesanga ngaturang di perapatan agung) Benjangne penanggal apisan (1), sasih kedasa, sedjana padane patut sinamian regan ngelaksanayang semadi mapikukuh ngeningang adnyane, mengastiti ida Sang Hyang meraga Sawetur, mateges : Seng Yogia nyewecanang urip langgeng.”
Dan ada lagi informasi yang berkaitan dengan tradisi yang meyakini akan Bhisama Hyang Pasupati, “….brata penyepian lwir sawung anggeram anda, yan tan panes awaknya tan lumekas ikang anda. Yan tan sepi ing idep, sepi ing gawe, tan malih yoganta, iki ngaran penyepian. Ingon-ingon Dewi Mas Ayu Danu kang ginseng- dening apwining giri tolangkir, mangke juga pamarisudha ning ingwang. Poma, Poma, Poma. Uluning bawi manadi mrana tikus, walungnya manadi walangsangit, jejeronnya manadi mrana tan pasangkan. Yan pageh samanta ratu ngamong rat, rong puluh tahun sepisan hane mrana walangsangit hana mrana tikus. Yan tan pageh tan wilangan dina mrana tan pasangkan dateng. Iki rungwakna, kaki patuk nini patuk angadekan maring pasar agung. Ni Bhuta kala katung pinaka pangsranan pasar, soang karya ring besukih atakwan pwa ring pasar agung, yan prasida kabehan, ke wala jejaton wenang….” Terjemahan bebasnya,” mengenai brata penyepian bagaikan ayam mengeram telur, jika badannya tidak panas telur itu tidak akan menetas. Jika tidak mampu mengendalikan hawa nafsu serakah termasuk tidak melakukan kerja, sembahyangmu tidak akan berhasil terutama dalam melaksana penyepian. Piaraan Dewi Mas ayu danu akan dilebur oleh kobaran api gunung agung inilah sebagai pralinanya. Semoga kepala babi itu akan menjadi hama tikus, tulang belulangnya akan menjadi balangsangit, isi perutnya menjadi berbagai hama bahkan yang tak kamu kenali namanya. Jika penguasa (di Bali) tekun melaksanakan beryadnya, hama tikus, balangsangit akan terjadi dua puluh tahun sekali. Jika tidak tekun atau lupa sama sekali melaksanakan yadnya hama itu akan muncul setiap saat. Ini hendaknya benar-benar diperhatikan dan selalu memuja hyang widhi dalam manifestasinya sebagai kaki patuk dan nini patuk di pura pasar agung, jangan lupa memuja ni Bhutakala katung sebagai dewa pasar, untuk itu setiap ada upacara di Besakih hendaknya memasar ke pasar agung.dan seterusnya….”
Maka menarik kemudian jika mencoba memahami bagaimana terjadinya ketetapan-ketetapan suci di Bali, jika kutipan lontar Padma Bhuwana ini benar dan mungkin akan banyak informasi kepurbakalaan yang belum terungkap disebabkan gunung agung kerap kali meletus begitupun batur dimana lahar dan pasirnya pastilah banyak menyimpan informasi ke balik bumi. Maka jika didalami untuk mulai menyusuri sejarah tradisi yang mengagumkan ini misalnya ” Nihan katattwaning bhuwana alit, katunggalan ring katatatwaning bhuwana agung, mangkana pidartanya. Nihan mulaning pulo Bali ring usana, katama tekaning mangke mawit icaka 85, tat kalanira Sri Aji Candabhaya umadeg ratu jumeneng sira ring tampaksiring irika anangun kahyangan ring Besukih ” Bahwa sejak 163 masehi telah ada upacara di seputar Gunung Agung dan berkaitan dengan sadpralingga ini.
Bahwa kemudian kini dikenal Nyepi Nasional, Nyepi yang serentak dilakukan di seluruh Bali merujuk dengan perhitungan kalender icaka, bahkan digunakan untuk memberi dalil mengenai penghormatan kepada Raja Kaniskha I, yang barangkali kadang agak sulit membahasnya berkaitan dengan tradisi nyepi di Bali.
Jelasnya, Nyepi Nasional, nyepi sang mawa rat ini mengikuti ketentuan jayakesunu, jatuh di bulan kesanga. Dan sudah barangtentu, kalender bali yang tua, disebut palelintangan, ditulis dalam bentuk tika, yang kini hampir punah penggunaannya kecuali masih digunakan di Tenganan dan beberapa museum besar di Eropa; memberikan gambaran bahwa nyepi itu adalah tradisi tua dan menarik sekali jika ada waktu untuk bersama-sama mengkaji dan menggalinya sebab kini nyepi ternyata memberi kontribusi luar biasa kepada keselamatan bhumi, sang ibu. Karena itu, semoga tak ada lagi hotel-hotel menawarkan paket nyepi,
kecuali mereka memang ingin diburu oleh berbagai hama yang tak bernama. Mari Nyepi… []

Saturday, February 13, 2016

Sejarah Desa Kesiman

DESA KESIMAN
Sejarah Desa Kesiman berasal dari kata Ku dan Sima, yang tercantum di dalam di dalam Babad Wanggayah yang menceritakan terjadinya Desa Kesiman. Adapaun asal mula terjadinya desa kesiman adalah sebagai berikut.
Di ceritakan Ida Dalem Batu Ireng, yang juga bernama Sri Tapuk Ulung atau Dalem Beda Ulu tinggal di bali pada tahun 1247 (Caka warsa Candra Sengkala : Resi Mengapit Tunggal). Beliu berkeinginan akan melepaskan diri dari ikatan duniawi dan mencapai moksa. Karena banyaknya musuh yang datang dari tanah jawa yang berkeinginan untuk menyerang kerajaan bali. Yang tidak lain adalah maha patih dari Kerajaan Majapahit seperti Maha Patih Gajah Mada, dan di ikuti oleh para Arya Seperti Arya Damar, dan Arya yang lainnya.
Kerajaan Bali mampu dikalahkan, para prajurit di Bali mampu di bunuh oleh pasukan majapahit. Seperti Arya Girimakna dibunuh oleh Arya Damar, ki Gudug Basur mampu dibunuh oleh Arya Wang Bang, kemudian Ida Dalem Batu Ireng mengungsi dari kerajaan dan berkelana menuju desa-desa seperti Taro, Gelgel, Batuaji, Batuasih, Kalangendis, Taman Hyang Batur. di taman Hyang Batur beliau membangun prahyangan Dalem yang bernama Dalem Tungkub yang diusung oleh para Pasek Dangka.
Dari Taman Hyang Batur beliau melanjutkan perjalanan ka Bukit Bali, Batu Belig, Sumerta. Desa Sumerta saat itu di kuasai olih Anglurah Bongaya. Kedatangan Ida Dalem Batuireng di Sumerta tidak dihiraukan olih Anglurah Bongaya, kemudian Ida melanjutkan perjalanan menuju desa Tangkas. Setelah Dalem Batuireng berjalan mider bhuana, karena sengitnya pertempuran yang terjadi kemudian muncul keinginan beliau untuk mati malabuh geni. Tiga bulan setelah beliau berhasil mencapai moksa, Ida Dalem Batu Ireng kembali hidup seperti sediakala. Dan beliau kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah sungai, dan berkeinginan kembali moksa namun dengan menggunakan media air, karena menurut beliau moksa menggunakan air adalah jalan terbaik dan mampu membawa berkah bagi beliau di alam sana. Dan setelah beliau moksa, sungai tempat belaiu melakukan upacara pamoksan (melabuh we) sungai tersebut bernama Sungai Ayu atau We Ayu (we berarti air, ayu berarti kedamaian)
Setelah Ida Dalem Datu Ireng , mencapai moksa untuk yang kedua kalinya, para pengikut beliau mendirikan sebuah batu peringatan (tugu peringatan) yang terbuat dari batu besar yang dinamakan Batu Sima.
Setelah Ida Dalem Batuireng moksa, putra beliau yang bernama Arya Panji mendirikan kerajaan yang terletak di Buruan Tegal Asah Sanur, sekitar tahun 1265 (Candra Sengkala bhuta Manapit Tunggal). Batu peringatan yang terletak di tukad Ayung semakin lama di kenal dengan nama Batumenjong.Setelah beberapa tahun melintang tiga orang keturunan Dalem Batuireng pergi ke Tukad Ayung yang di ikuti oleh Bendesa Manik Mas warih dari Pangeran Manik Mas yang tinggal di Pule Pradesa Mas, kemudian bertemu di Gaduh mengambil Batu Sima tersebut dan di letakkan di tepi Tukad Ayung. Di tepi Tukad Ayung tersebut para keturunan Dalem Moksa bersama Bendesa Mas dan kemudian masyarakat Gaduh membangun grema ( desa pekraman) yang di beri nama Pendem (tempat menyimpan batu sima tersebut). Di Desa Pendem tersebut dibangun Perhyangan Desa Puseh dan Prhyangan Manik Aji yang bertempat di alas(hutan) Ambengan Abian Nangka.
Ketika Ida Dalem Batuireng kakasorang oleh Majapahit, yang menguasai kerajaan di Bali adalah Sira Kresna Kepakisan yang di dampingi oleh para Arya, Arya Wangbang kemudian mendirikan kerajaan puri di tepi tukad Ayung tempat Ida Dalem Batuireng Moksa. Disana Sira Arya Wangbang Pinatih majapahit bertemu dengan masyarakat Bali, Sira Arya Wang Bang Pinatih mengatakan diri bahwa beliau adalah utusan Sang Prabu Majapahit akian meneruskan membangun kerajaan setelah peninggalan Ida Dalem.
Setelah Arya Wang Bang Bang menerima warisan dari Dalem Moksa (Dalem Batuireng) dari Wong Bali yang terletak di tepi Tukad Ayung, kemudian disihir oleh Sira Arya Wang Bang, dan tempat peninggalan Ida Dalem Batuireng di beri nama KU SIMA.
Sira Arya Wang Bang menyatakan arti Kesiman tidak lain adalah KU berarti Kukuh (kuat) Sima, berarti hasil Prahyangan Dalem Muter. Prahyangan yang dibangun oleh Sira Arya Wang Bang di tepi We Ayung. Dan sampai saat ini dikenal dengan nama KESIMAN.
Desa adat kesiman terletak di wilayah Denpasar Timur, yang terdiri dari tiga desa yaitu Kelurahan Kesiman, Desa Kesiman Petilan, dan Kesiman Kertalangu. Desa adat kesiman juga termasuk di dalam Kota Administratif Denpasar. Letaknya kira-kira kurang lebih tiga km dari pusat Kota Denpasar. Batas desa kesiman terdiri dari empat penjuru mata angin yaitu:
1. Sisi Utara : Derbatsan dengan Desa Adat Tembau, Desa Adat Bekul, Desa Adat Oongan, dan Desa Adat Tonja.
2. Sisi Timur : Berbatasan dengan Desa Adat Tegeha dan Desa Adat Batubulan.
3. Sisi Selatan : Berbatasan dengan Desa Adat Sanur, dan Desa Adat Tanjung Bungkak.
4. Sisi Barat : Berbatasan dengan Desa Adat Sumerta.
Banjar-banjar yang termasuk di dalam batas wilayah Desa Kesiman adalah sebagai berikut.
1. Sisi Utara : Banjar Bukitbuwung, Banjar Abian Nangka Kaja, Banjar Abian Nangka Kaja, Banjar Abian Nangka Kelod, Banjar Meranggi, Banjar Saraswati, Banjar Kehen, Banjar Batan Buah.
2. Sisi Timur : Banjar Kertalangu, Banjar Kertapura, Banjar Tohpati, Banjar Kertajiwa, Banjar Tangguntiti, Banjar Kesambi, Banjar Biaung.
3. Sisi Selatan : Banjar Kebonkori Kelod, Banjar Kebonkori Tngah, Banjar Kebonkori Mngku, Banjar Kebonkori Lukluk.
4. Sisi Barat : Banjar Ujung, Banjar Cerancam, Banjar Pabean, Banjar Dauh Tanggluk, Banjar Dajan Tanggluk, Banjar Dangin Tangluk, Banjar Kesumajati, Banjar Abiantubuh.
5. Sisi Tengah : Banjar Kedaton.

sumber: Buku Eka Ilikita Desa Adat Kesiman


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.