411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Sunday, July 15, 2018

PASILAKRAMA ACI BULU GELES


oleh Nyoman Budi Arma
Upacara adat Pasilakrama Aci Bulu Geles diadakan di Desa Paktaman Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabulaten Buleleng, dan Desa Bulian merupakan dalah satu desa tua atau ancient village di Bali. Upacara ini di mulai sejak pagi, ratusan krama nampak berkumpul dan memadati areal Pura Dalem Purwa. Krama adat sedang melakukan persiapan untuk mengikuti prosesi upacara sakral disebut Pasilakrama Aci Bulu Geles, sebuah tradisi turun-temurun yang wajib dijalani oleh krama Desa Pakraman Bulian khususnya bagi kaum purusa (laki-laki) yang telah menikah. Mereka sangat percaya jika siapapun krama yang belum mampu melaksanakan ritual Aci Bulu Geles ada sebuah Bisama Tata Kertha Desa diyakini lambat laun akan berimbas buruk bagi kehidupan mereka.
Kepercayaan krama sangat kental dan kuat terhadap tradisi yang sangat disakralkan oleh krama desa setempat. Konon, jika tidak melaksanakan ritual sakral tersebut krama akan mengalami sebuah musibah hingga diserang wabah penyakit. Selain disakralkan prosesi ritual Pasilakrama Aci Bulu Geles. Mereka yang akan mengikuti ritual Aci Bulu Geles dinyatakan wajib mempersembahkan hewan seperti godel (anak sapi) sebagai sarana utama dan dilengkapi dengan sarana lainnya berupa babi guling.
Uniknya, sekalipun pasangan suami istri (pasutri) sudah meninggal dunia dan menjadi Dewa Hyang, bukan berarti mereka luput untuk menjalani prosesi ritual Aci Bulu Geles. Mereka tetap memiliki kewajiban untuk menjalani prosesi ritual tersebut. Biasanya untuk para leluhur yang semasa hidupnya belum menjalani tradisi ini, mereka disimbolkan dalam bentuk sebuah adegan (kayu nisan bertulis). Ketika digelarnya prosesi itu, simbol adegan tersebut dibawa oleh putra pewarisnya itu sendiri.
Berbicara soal sarana utama persembahan berupa hewan godel dan pelengkap hewan babi, keluarga yang akan melaksanakan ritual Aci Bulu Geles harus menyediakan tiga ekor godel serta tiga ekor hewan babi dengan jenis kelamin berbeda. Bahkan, hewan persembahan tersebut memiliki ciri khas tersendiri.
Kalau hewan babi harus cundang panyut dan untuk godel tidak boleh sembur. Semua hewan persembahan itu, bulu atau warnanya harus sama dari kepala hingga sampai ke bagian ekornya.
Prosesi upacara adat ini dilangsungkan di dua tempat berbeda, yakni di Pura Dalem Purwa dan Pura Pengaturan.
Hewan persembahan godel jantan nampak diikat pada pohon cem-cem di jaba Pura Dalem Purwa. Selang beberapa menit kemudian, beberapa para Pemangku Ulun Desa bersama prajuru desa setempat mengadakan ritual persembahyangan pengerebuan ( dibersihkan dengan air) areal jaba Pura tersebut.
Ritual Aci Bulu Geles disebutkan memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi.
Prosesi bakti pengikut itu pelaksanaannya dipimpin oleh Jro Pewayah Kiwa dan Tengen dibantu oleh Jero Bau Kiwa dan Tengen yang ada di Desa Pakraman Bulian.
Kewajiban bagi seorang pria sebagai purusa yang berasal dari Bulian, bahkan bisa dikatakan mutlak dijalani oleh pasutri yang menikah. Ini murni adalah kewajiban dari pihak purusa (laki-laki), ketika mereka masih ngayah atau hidup sebagai bagian anggota krama desa. Ritual Aci Bulu Geles juga berlaku bagi krama yang sudah meninggal. Untuk laki-laki yang menikah dua kali atau lebih, ritualnya sama. Hanya dilakukan sekali, cukup dengan istri pertama saja,. Ritual Aci Bulu Geles di Pura Pengaturan, hewan godel dan hewan babi yang digunakan sebagai persembahan masing-masing memakai dua ekor hewan berkelamin betina. Proosesinya pun hampir sama, kedua hewan disembelih tepat di tengah areal Pura Pengaturan. Usai disembelih, kedua godel tersebut dipotong dijadikan bangun urip. Kemudian dipasupati dengan banten pengastawa. Ritualnya dipimpin juga oleh para Pemangku Ulun Desa. Prosesi pun kemudian berlanjut pada proses nunas. Lawar dihidangkan dan disantap bersama-sama.
Sebuah atraksi seru usai prosesi itu tuntas dilaksanakan, biasanya secara spontanitas krama akan bersorak sorai sebagai tanda luapan rasa kebahagiaan dan kegembiraan karena telah mampu menuntaskan sebuah kewajiban sebagai krama Desa Pakraman Bulian.
Selama dilangsungkannya ritual tersebut nyaris tak ada satu pun iring-iringan bunyi gamelan dan juga tarian yang dipentaskan seperti tradisi umat Hindu di Bali pada umumnya. Ritual ini berjalan sunyi, tetapi dijalani secara khusuk dan khidmat oleh krama desa setempat.
Ritual Pasilakrama Aci Bulu Geles tidak tersurat dalam sastra ataupun lontar. Sudah merupakan sebuah tradisi turun temurun dan dijalani sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Desa Bulian sampai saat ini memiliki keyakinan yang sangat kental dan melekat terhadap warisan leluhur ritual persembahan Silakrama Aci Bulu Geles.. Istilahnya, ritual Silakrama Aci Bulu Geles merupakan bentuk bhakti Rna kepada para leluhur.




"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.