Bhisama PHDI Catur Warna (Penghapusan Kasta di Bali)
Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang.
Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber
pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan
kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat
mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi
sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh
berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang
sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun
umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat
penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu
sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di
dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah
banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik
oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan
Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan
kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti
dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak
adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya
seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh
itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak
adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat
Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat
membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber
konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di
Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu
semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu
dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September
2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang
Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan
diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun
oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu.
Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem
Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan
ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap
agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju
pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar
dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur
dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem
Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar
dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak
dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari.
Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat.
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam
kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam
swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa
seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita
sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam
kitab Brahma Purana 228.45.Dharma artha kama moksanam sarira sadanam,
artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya
dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa.
Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk
mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap.
Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai
secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari
diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan
mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan
Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur
Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna.
Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang.
Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya
untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk
pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana
Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan
Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi
semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini
memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra
Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati
swadharmanya masing-masing.
Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas
bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan
Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya
profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah
profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya
perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian
(profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di
bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna"
Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya
adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan
dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga
dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang
yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja
karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.
Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang
tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi
Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena
mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga
jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki
kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma
seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat.
Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan
boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan
jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.
Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya
kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya,
meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber
"Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana,
seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang
terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab
Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya
Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama
meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh
keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII.
CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke
"wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur
dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.
Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:
1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan
adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur
Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan
melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan
dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di
Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita,
Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak
membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita
dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa
memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk
tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut
asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan
air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha"
(percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat
menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu
umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat
yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan
sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu
Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan
tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan
penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut
mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang
kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna
pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang
berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan
keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua
sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh
perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin
lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya
tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun
1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa,
sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan
pelecehan terhadap wangsa lainnya.
Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat
Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas
adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara
dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap
memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang
disebut Satya Dharma.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
No comments:
Post a Comment