Puputan Bayu, Perang Paling Dahsyat Antara Umat Hindu Melawan Koalisi Umat Islam dan Belanda
Ilustrasi Pasukan Gerilya Belanda
di Aceh
|
Disebut Puputan Bayu karena inilah perang habis-habisan
Kerajaan Hindu terakhir di tanah Jawa melawan koalisi VOC Belanda, Kerajaan
Madura dan Kerajaan Mataram Islam. Inilah perang paling mengerikan, paling
brutal serta paling dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia selama masa
penjajahan VOC Belanda. Akibat dari perang ini juga mengubah demografi wilayah
tapal kuda Jawa Timur yang menjadi arena perang.
Dalam buku
berjudul “Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan kebudayaan Jawa” yang ditulis
Benedict R Anderson, akibat perang ini, sekitar 60.000 rakyat Blambangan
(Banyuwangi) gugur, hilang, ataupun yang menyingkir ke hutan untuk
menyelamatkan diri dari VOC. Jumlah korban tersebut dianggap begitu besar karena
jumlah penduduk Kerajaan Blambangan di Banyuwangi waktu itu 65.000 orang.
Setelah menderita kekalahan di perang yang pertama, Belanda
akhirnya berhasil menang di perang yang kedua atas bantuan Madura dan Surakarta
(Mataram Islam). Belanda membujuk mereka berperang dengan iming-iming jihad fi
sabilillah memerangi orang kafir dan membersihkan pulau Jawa dari penganut
agama Hindu.
Serangan Belanda yang kedua berhasil menang dengan gemilang.
Membunuh 60.000 rakyat kerajaan Blambangan Banyuwangi dari total 65.000 jiwa,
mereka yang selamat melarikan diri ke Pulau Bali.
Akibatnya, terjadi perubahan demografi di daerah tapal kuda
bekas wilayah Kerajaan Blambangan. Laskar-laskar dari etnis Madura memilih
menetap dan menjadi etnis mayoritas sampai sekarang. Mengisi kekosongan lahan
setelah membunuh 60.000 jiwa penghuni sebelumnya.
Penyebab Perang Bayu I
Pada tahun 1743, terjadi perjanjian antara Pakubuwana II dan
Gubernur Jenderal VOC Van Imhoff yang menyatakan bahwa Mataram melepaskan
daerah taklukan sebelah timur Pasuruan, yaitu Blambangan. Masalahnya, daerah
Blambangan tidak pernah ditaklukan oleh Mataram, VOC Belanda juga tahu itu.
Dengan dalih perjanjian itu Belanda mengaku berkuasa atas
Blambangan.
Di Blambangan sendiri terjadi kudeta, Kerajaan Mengwi Bali menyerbu
dan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba sebagai raja dan
patih.
Serbuan ini atas dukungan Inggris yang sejak lama melakukan
perdagangan di Ulupangpang (Cluring, Banyuwangi) dengan konsesi memberikan izin
kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang lalu menjadi
daerah perdagangan yang sibuk.
VOC Belanda yang selalu ingin memonopoli Nusantara lalu
mengobarkan perang untuk merebut Blambangan dan mengusir Inggris. Johanes Vos,
gubernur VOC di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12 Agustus 1766 agar
mengadakan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Lalu turun perintah dari
Batavia untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan bangsa asing lain dengan
alasan masuk wilayah tanpa izin.
Setelah laut dikuasai, VOC mengalihkan serbuan ke darat. VOC
mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke
terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruan, 25 kapal besar
dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Februari 1767, ekspedisi Belanda
berkumpul di Pelabuhan Kuanyar Madura.
Pada tanggal 27 Februari 1767 Panarukan diduduki dan
didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari
Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23
Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan
laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di
Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.
Kehancuran pasukan Mengwi dimanfaatkan oleh dua pangeran
keturunan Kerajaan Blambangan, Mas Anom dan Mas Weka untuk merebut kembali
kekuasaan warisan leluhurnya. Mereka berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan
Mengwi mundur ke Bali.
Mas Anom dan Mas Weka membuat perjanjian damai dengan VOC,
lalu diangkat menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan.
Namun panglimanya, Wong Agung Wilis menolak berdamai dengan
VOC dan terus berperang. Pada tanggal 18 Mei 1768, Wong Agung Wilis menyerang
benteng VOC di di Ulupampang, Banyualit. Mas Anom dan Mas Weka yang insyaf,
mereka balik membantu Wong Agung Wilis. Nahas, Pasukan Belanda mendapat bantuan
dari laskar Madura berhasil menang dan membunuh semua penyerbu.
Setelah Mas Anom dan Mas Weka gugur, VOC mengangkat
Sutanagara dengan patih Surateruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara
sebagai regen. Mereka dipaksa masuk Islam oleh VOC Belanda agar tidak membelok
ke Bali dan diharapkan bisa mengislamisasi rakyat Blambangan agar menjauh dari
pengaruh Bali.
Karena kurang puas atas kinerja keduanya, VOC memecat
keduanya dan mendatangkan Patih Surabaya menjadi bupati Blambangan. Pihak VOC
sendiri juga mencopot Coop e Groen dari komandan tertinggi wilayah Blambangan
digantikan oleh Mayor Colmond yang terkenal kejam dan brutal.
Colmond menarik pajak yang tinggi dengan merampas bahan
pangan dan hasil pertanian. Untuk memperkuat benteng, dia mewajibkan penduduk
untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota
Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada
di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun
pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu semenanjung yang menutupi Teluk
Pangpang).
Akibatnya rakyat kekurangan pangan, terjadi kelaparan dan
kematian. Banyak warga Blambangan yang memilih lari ke hutan untuk menghindari
kerja paksa.
Mantan Bupati Blambangan sebelumnya. Sutanagara dan
Wangsengsari serta Patih Surateruna diam-diam meminta bantuan pada Raja Gusti
Agung Mengwi untuk menyerang Kompeni membebaskan rakyat Blambangan dari
penindasan. Namun ketahuan oleh VOC, ketiga orang tersebut ditangkap dan
dibuang ke Ceylon (Sri Lanka).
Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat,
misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC
menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap
tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke
sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.
Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati
dipercaya sebagai keturunan Raja Tawang Alun, Raja terbesar Blambangan
|
Munculnya
Tokoh Mas Rempeg atau Pangeran Rajapati
Rakyat banyak yang mengungsi ke lereng Gunung Raung di desa
Bayu. Di bawah pimpinan Mas Rempek mereka mengumpulkan kekuatan siap untuk
melawan VOC. Mereka dibimbing para resi Hindu yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan
Bapa Larat.
Sesuai petunjuk ketiga guru resi tersebut, rakyat yakin bila
Mas Rempeg adalah jelmaan Wong Agung yang akan membebaskan mereka dari
penderitaan. Karena kekurangan senjata terutama senapan dan meriam yang telah
jatuh ke tangan VOC waktu perang Ulupampang, Banyualit dan Lateng pada masa
lalu. Mas Rempeg mengirim utusan ke desa-desa untuk menghimpun bantuan dan
senjata.
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain
di seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung
dengan Mas Rempek di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil wadwa
alit, namun juga datang dari para bekel agung yaitu pembantu regen yang
berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan Jagakrasa, serta Lembu
Giri dari Tomogoro selain menyatakan bergabung dengan Mas Rempek juga
memberikan sejumlah senjata. Datang juga rombongan orang-orang Lateng di bawah
pimpinan Lurah Manowadi dan Bapa Cele dari Grajagan di pesisir selatan.
Dukungan untuk Mas Rempeg juga datang dari para bekel dari 62
desa; 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah
timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel dari
desa lainnya.
Pelan tapi pasti Desa Bayu muncul menjadi kerajaan baru
penerus Kerajaan Blambangan. Mas Rempeg lalu diangkat menjadi pemimpin dengan
nama Pageran Jagapati. Dengan cerdik dia berhasil menguasai bahan pangan dan
menimbunya di Bayu. Mengumpulkan senjata termasuk bedhil dan meriam.
Para pedagang pun mulai memindahkan transaki pusat
kegiatannya ke pantai selatan di Nusa Barung mengirimkan telur, garam dan ikan
kering yang diangkut memakai kuda ke Bayu. Dengan dukungan ekonomi yang kuat
maka dengan mudah akan membangun kekuatan militer dan cadangan logistik perang.
Kertawijaya
dan Jaksanegara dua orang ini mengklaim sebagai keturunan kerajaan Blambangan
memimpin serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Karena kalah pamor
dan tenar mereka berusaha membujuk rakyat Blambangan untuk setia pada pewaris
darah biru yang asli, bukan Mas Rempeg atau Jagapati.
Dengan gagah berani Pangeran Jagapati menemui rombongan itu
hanya disertai 30 pasukan saja. Setelah mendengar pidatonya. Orang-orang
Blambangan pengikut kedua pemimpin itu justeru membelot dan memihak kepada
Pangeran Jagapati. Kedua pemimpin ditinggal pengikutnya dan hanya ditemani
beberapa orang yang berasal dari Surabaya, yaitu Mindoko, Bawalaksana dan
Semedirono.
Para pembelot mengamuk terhadap para Tumenggung dan
pengikutnya yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka tembak di bahu
kirinya dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati tertembak di
kepalanya, yang lainnya terluka.
Kabar ini semakin menguatkan kesaktian dan restu dewata atas
Pangeran Jagapati. Rakyat Blambangan terus membanjiri Desa Bayu sambil membawa
senjata dan harta benda yang mereka miliki.
Reka ulang perang Bayu dalam
sebuah karnaval kemerdakaan di Banyuwangi. Foto: beritajatim.com
|
Perang Puputan Bayu I
Setelah kegagalan dua petinggi boneka Blambangan tersebut.
VOC melancarkan serang pertama pada tanggal 5 Agustus 1771. Dalam serangan ini,
pasukan Pribumi VOC membelok mendukung Jagapati dan balik menembaki pasukan VOC
Belanda, mereka pun mundur.
Karena kegagalan itu, VOC berusaha mengepung dan mengisolasi
benteng Bayu dengan cara memutus suplai makanan. Serangan diarahkan ke desa
penghasil beras Gambiran dan desa Tomogoro yang menjadi tempat transit
pengiriman logistik ke Bayu. 200 pasukan Blambangan yang mempertahan kedua desa
itu dipukul mundur.
Di desa Tomogoro, VOC membangun kubu pertahanan sembari
menunggu bala bantuan. Residen Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi
dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit.
Terhentinya perang sejenak ini membuat kabar tersiar tentang
kehebatan Pangeran Rajapati. Rakyat Blambangan makin banyak yang
berbondong-bondong ke Bayu untuk merdeka dari VOC.
Di Bayu Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan
membagi pasukan menjadi dua sayap masing-masing berkuatan 3.000 orang. Sayap
kiri diserahkan kepada Kebo Undha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidang
Salendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah
dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).
22 September 1771, setelah seluruh bantuan mendarat. VOC
mulai bergerak maju ke Bayu untuk mengadakan serangan besar-besaran.
Pasukan pribumi berada di garda depan dibagi dalam dua sayap,
kanan dan kiri. sedangkan orang Eropa di belakang. Pangeran Jagapati terus
melakukan serangan psikologis dengan terus berkhotbah untuk menurunkan mental
pasukan pribumi jawa timur. Strategi ini berhasil, pasukan pribumi lari ke
dalam meninggalkan orang Eropa.
Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam
pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya.
Perang lalu
berkecamuk seharian di depan benteng garis depan desa Bayu. Pasukan VOC
kebingungan karena mereka juga disergap dari dua arah mata angin. Setelah
kehabisan peluru, pasukan VOC mundur lari tunggang langgang.
Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka. Diantaranya yang
terluka adalah Letnan Imhoff. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya
termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir.
Dalam catatan VOC, pada 22 September 1771 dilakukan penghitungan
berapa sisa pasukan VOC dan primbumi yang setia. Dilaporkan bahwa 13 orang
tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka tembakan
kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang luka kena
sungga (ranjau/sunggrak).
Residen Biesheuvel lalu meminta bantuan militer sebanyak 1000
laskar Madura dengan 150 serdadu Belanda. Dia juga menggaris bawahi agar tidak
ada pribumi Jawa Timur di dalam bala bantuan.
November 1771 Bieshvel tewas digantikan oleh wakilnya,
Hendrik Schophoff. Bantuan tentara VOC tiba di Ulupampang di bawah komando
Kapten Reygers dan Heinrich.
Serang pertama pasukan yang baru ini berhasil mengalahkan
para pejuang Blambangan di Kuta Lateng. Lalu menghancurkan gudang persediaan
makan di Banjar (Kecamatan Glagah), menguasai Grajagan di Pantai Selatan dan
membakar sekitar 300 koyan beras (1 koyan sekitar 185 kg) atau 55,5 ton. Merasa
akan menang, VOC mencoba membujuk rakyat Blambangan dengan mengeluarkan
selebaran yang isinya akan memberi ampunan bagi penduduk Bayu yang mau membelot
ke VOC.
14 Desember 1771 Kapten Reygers menyerbu benteng Bayu. Jika
sebelumnyda dari selatan, kali ini dari arah utara, Songgon. Serangan pertama
dengan kekuatan 2000 laskar Madura di bawah pimpinan Tumenggung Alap-alap,
sebagai laskar terdepan. Di belakangnya dilapisi oleh serdadu Eropa yang
dilengkapi dengan meriam yang dipimpin oleh Sersan Mayor van Schaar. Bayu masih
belum bisa ditembus.
15 Desember 1771 Prajurit Bayu malah keluar benteng dengan
dibagi menjadi sayap. Pangeran Jagapati bersama 1000 orang menyerang Songgon.
Sayap kedua berkekuatan 1000 prajurit juga menyergap dari arah berlawanan.
Serangan ini menyebabkan pasukan VOC terjebak lalu dihancurkan total. Kapten
Reygers terluka parah di kepalanya dan kemudian ia meninggal di Ulupampang.
18 Desember 1771 menjadi puncak serangan Pejuang Blambangan.
Dalam serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Belanda sendiri
menyatakannya sebagai “de dramatische vernietiging van Compagniesleger”
(kehancuran dramatis pasukan kompeni). Prajurit Blambangan di bawah pimpinan
Pangeran Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris,
pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara
VOC.
Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC
terdesak. Demikian juga pasukan Eropa VOC yang berada di belakang. Ketika
posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua
perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC. Saat itulah pasukan VOC
banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di
dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu.
Pasukan VOC yang terjebak dihujami tombak dan anak panah dari
atas. Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan
ratusan serdadu Eropa lainnya yang tewas dalam perang itu. Hanya sedikit
Prajurit VOC yang berhasil melarikan diri, umumnya dalam keadaan terluka parah.
Namun sayangnya kemenangan ini dibayar mahal. Pangeran
Jagapati gugur karena luka-lukanya sehari berikutnya yakni tanggal 19 Desember
1771.
ilustrasi pertarungan Mas Rempeg
melawan Tumenggung Alapalap dari Madura
|
Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21,
sebagai berikut:
Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura.
Keduanya tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap
memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari jenis
biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap roboh tetapi
masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung ke perkemahan, lalu meninggal.
Jagapati yang luka parah dibawa ke benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati
masih mampu mengatur strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu
Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya
pertempuran dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan
berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit Bayu
mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal.
Gugurnya Pangeran Jagapati membuat amarah pejuang Blambangan
bergejolak. Beberapa pejuang mencincang mayat Sersan Mayor van Schaar.
Dalam catatan resmi VOC, prajurit yang gugur dan hilang
adalah : Sersan Mayor van Schaar, Peltu kornet Tinne, 41 prajurit Infanteri, 15
prajurit korps khusus Dragonders, para bintara dan tamtama, 1 prajurit arteleri
dan sejumlah besar laskar pribumi.
Foto prajurit keraton Solo tahun
1800an. Foto: istimewa
|
Persiapan Puputan Bayu II
Untuk
membalas kekalahan, VOC melakukan lobi ke kerajaan-kerajaan Pribumi agar mau
mengirimkan pasukan untuk membantu mengalahkan Bayu. Bantuan dari Madura saja
dirasa tidak cukup. Apalagi mereka baru saja menderita kekalahan bersama.
VOC Belanda
lalu membujuk Keraton Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon untuk mengirim pasukan,
VOC berdalih, bahwa perang ini adalah perang jihad fi sabilillah membebaskan
Jawa dari orang-orang kafir. Selama berabad-abad, dari era Demak sampai Mataram
Islam, wilayah Blambangan tidak pernah berhasil ditaklukan. Bujuk rayu VOC
berhasil, mereka berhasil menghimpun kekuatan 10.000 pasukan dari tiga
keraton tersebut.
Dari Madura, VOC juga mendapat sokongan pasukan. Pangeran
Sumenep dan Panembahan Bangkalan sangat marah karena kematian Alap-alap. Mereka
mengirim 13.000 pasukan
Kitab Babad Bayu menceritakan sebagai berikut:
Panembahan Madura sanggup memenuhi permintaan VOC Surabaya
sebanyak 10.000 orang Madura. Laskar ini dipimpin oleh Suradiwira. Pasukan
Madura barat ini berlayar dan berlabuh di Panarukan disambut oleh pasukan VOC.
Madura timur di Sumenep telah menyiapkan 3.000 orang laskarnya yang dipimpin
langsung oleh Pulangjiwa. Mereka ini berangkat dari pantai Pamaringan menuju
Purwasari di Pantai Jawa. Semuanya bertemu di Panarukan. Esok harinya barisan
maju seperti badai. Bermalam di Bajulmati, malam berikutnya sampailah mereka di
kota Ulupampang.
Perang
Puputan Bayu II
1 Oktober 1772 Pasukan VOC mulai bergerak Benteng Bayu
dipimpin Kapten Heinrich, mereka mendirikan perkubutan didi Sodong (dekat
Songgon sekarang). Vaandrig Mierop dan Vaadrig Dijkman dengan 900 orang anak
buahnya dengan peralatan berat (meriam) ditempatkan di sayap kanan di atas
bukit dengan ketingian yang sama dengan Bayu. Vaandrig-vaandrig Gutten bergen
dan Koegel ditempatkan di Sodong dengan 500 orang prajurit, sedang Heinrick
sendiri bersiap-siap di sayap kiri. Di Sentong, dengan vaandrig Jcniger dan
1500 orang prajurit, bayu terkepung secara ketat
11 Oktober
1772 Pertahanan Benteng Bayu yang dipimpin oleh Bapa Endha mulai digempur
habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam.
18 Desember 1772 Bapa Endha dan pejuang Bayu mengalami
kekurangan perbekalan karena bahan makanan yang ada ternyata tak mampu
mencukupi kebutuhan semua laskar yang ditarik dan dipusatkan ke Bayu. Bayu
sudah sulit dipertahankan lagi. Namun mereka masih mengadakan perlawanan
sekuatnya. Vaandrig Mierop sesuai dengan perintah komandannya, membuat alarm
tipuan pada sayap kanan dengan membuat api untuk memancing membagi kekuatan
musuh supaya tepat didepan dan di sayap kiri Kapten Heinrich.
Kemudian
Kapten Heinrich dengan kekuatan intinya 1.500 pasukannya menerobos dan
menyerang benteng Bayu dari sayap kiri tepat pukul 08.00. Benteng Bayu yang
amat kuat akhirnya dapat direbut pasukan VOC. Sebagian pejuang Bayu berhasil
meloloskan diri daerah pegunungan, Belanda menawan 2.505 orang laki-laki dan
perempuan.
Kapten
Heinrich menyuruh bawahannya untuk membunuh para tawanan pria dan memotong
kepalanya. kemudian kepala mereka yang terpotong digantung di pepohanan yang
tinggi untuk membuat pejuang Bayu lainnya takut. Pengejaran terhadap musuh
masih terus dilakukan bagi pejuang Bayu lainnya.
Perempuan
yang ditawan dan dibawa ke Pangpang, atas perintah Residen Schophoff tidak
sedikit yang dihukum mati dengan menenggelamkannya (dengan pemberat batu) ke
laut, di siksa, direjam, dan sebahagiannya dibuang ke Surabaya atau ke Batavia
sebagai budak.
Ternyata
benteng Bayu merupakan benteng yang dibangun dengan rapi, lengkap, kuat dan
strategis, dan sempat membuat para pemimpin militer VOC menjadi terkagum-kagum.
Namun oleh Piter Luzak, penguasa VOC untuk Jawa bagian Timur, sisa dari benteng
Bayu tersebut diperintahkan untuk dimusnahkan dan diratakan dengan tanah
Itulah akhir
dari sebuah peperangan habis-habisan yang mengerikan, yang telah merenggut
ribuan bahkan puluhan ribu kurban, baik difihak musuh dan terutama difihak
rakyat Blambangan. Dan inilah gambaran tragis dari taktik politik devide et
impera Belanda terhadap kita, karena yang berperang dan menjadi korban dalam
peperangan puputan tersebut, hampir seluruhnya adalah bangsa kita sendiri.
Setelah
Perang
Belanda dalam catatan resminya mengakui jika Perang Puputan Bayu adalah peperangan yang paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan kurban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC maupun Belanda di seluruh Indonesia.
Belanda dalam catatan resminya mengakui jika Perang Puputan Bayu adalah peperangan yang paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan kurban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC maupun Belanda di seluruh Indonesia.
Begilu kejamnya dan penuh dendam peperangan yang terjadi di
Bayu tersebut, sampai-sampai apabila ada pasukan VOC yang tertangkap pejuang
Blambangan, seperti nasib Letnan Van Schaar, kepalanya dipotong, ditancapkan di
ujung tombak, dan diarak keliling desa.
Demikian
juga sebaliknya, dari hampir semua pejuang Blambangan yang tertangkap di Bayu,
kepalanya dipotong dan digantung-gantungkan di pohon-pohon atau
ditancap-tancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan desa.
Untuk
menghadapi Perang Bayu II ini VOC telah mengerahkan tidak kurang dari 20.000
personil prajurit yang didatangkan dari seluruh Jawa dan Madura seperti dari
garnisun-garnisun Batavia, Semarang(Korp Dragonders), Pasukan Keraton
Yogyakarta, Surakarta, Cirebon dan Madura. Suatu jumlah yang yang luar biasa
besar menurut keadaan pada waktu itu.
Peperangan
di Bayu ini telah memakan kurban tidak kurang 60.000 rakyat Blambangan yang
gugur, hilang, atau menyingkir ke hutan. Mungkin bagi tampaknya jumlah ini
“tidak begitu besar” kalau dilihat dari hitungan jumlah penduduk Kabupaten
Banyuwangi saat ini . Namun perlul diketahui bahwa jumlah penduduk seluruh
Blambangan (Banyuwangi) pada waklu itu tidak sampai 65.000 orang!
J.C .
Bosc h. seorang pejabat Pemerintahan Belanda pernah menulis dari Bondowoso pada
tahun 1848, ” … daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu
ketika pernah berpenduduk sangat padat dan telah dibinasakan sampai habis … ”
Untuk
merebut Blambangan, khususnya untuk peperangan di Bayu ini, VOC telah
menghabiskan dana seharga 8 (delapan) Ton emas yang merupakan pukulan telak
terhadap keuangan VOC pada waktu itu. Pimpinan VOC di Batavia sampai menyesal
karena biaya perang tidak sesuai dengan keuntungan yang diperoleh dari
Blambangan.
Perubahan
Demografi Penduduk Blambangan
Perang ini juga mengubah peta demografi di kawasan Blambangan
dan sekitarnya. Dari yang awalnya dihuni mayoritas etnis Jawa Osing menjadi
etnis suku Madura. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak
Blambangan sebagai hasil rampasan perang.
Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818)
melaporkan bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten
Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga. Sebelum perang
berlangsung, Blambangan berpenduduk 65 ribu jiwa, yang 60 ribu orang telah
meninggal dunia akibat perang puputan Bayu. Penduduk Blambangan hanya tersisa
sekitar 5 ribu jiwa.
Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC
mendatangkan tenaga kerja dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah
pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang
ditinggalkan ketika perang. Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar
Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk terutama masuknya
etnis Madura setelah perang.
No comments:
Post a Comment