UPACARA MEMUKUR DESA ADAT PEMINGE 10 JULI 2019
Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben
sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu =
alam dan ur = atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar
terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat
manusia dan keinginannya sehingga bisa menyatu dengan Sang Pencipta menjadi
dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah
ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yang
dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben.
Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka
dari itu perlu dibuatkan simbol-simbol badan halus dari atma/roh yang akan
di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih rumit dari ngaben. Pelaksanaan
upacara Mamukur dan yadnya lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana,
yaitu mereka yang melaksanakan upacara tersebut. Secara garis besar dan sesuai
dengan kemampuan umat upacara ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu yang
kemampuannya besar disebut (Uttama), yang kemampuannya menengah disebut
(Madhya) dan yang kemampuannya kecil atau sederhana disebut (Kanistama/Nista/
Alit)
Pada Upacara Mamukur/Nyekah tanggal 10 Juli 2019,
yang diselenggarakan oleh Desa Adat Peminge untuk pertama kalinya ini diikuti
oleh beberapa puspa dari Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, termasuk trah
Bongantik seperti berikut :
1. Ni
Wayan Lumur saking I Wayan Sugiarta
2. Ni
Wayan Lasir saking I Wayan Suana
3. I
Ketut Rodeg saking I Wayan Waker
4. Ni
Nyoman Romen saking I Made Komplit
5. Ni
Wayan Rupik saking I Wayan Suaka
6. I
Nyoman Rimpek saking I Nyoman Suamba
7. I
Ketut Cantug saking I Nyoman Subrata
8. I
Wayan Raba saking I Nyoman Suamba
9. Ni
Wayan Metri saking I Wayan Batreana
10. I Made Wanci saking I Wayan Ronci
11. I Wayan Rota saking I Wayan Citra
12. Ni Wayan Rumping saking I Nyoman Mandia
13. I Nyoman Kiteh saking I Wayan Hardika
14. I Nyoman Rate saking I Wayan Surata
15. Ni Ketut Waluh saking I Wayan Pundung
16. I Nyoman Beled saking I Komang Sugita
17. I Made Gati saking I Nengah Suastra
18. I Wayan
Kebek saking I Wayan Kastra
19. Ni Wayan
Masih saking I Made Suanda
20. I Made
Lemet saking I Wayan Pait
21. Ni Wayan
Sekin saking I Wayan Roden
22. Ni Made
Repi saking I Made Metra
23. Ni Made
Kecap saking I Wayan Sutama
24. I Ketut
Minta saking I Nyoman Meting
25. Ni Made
Rintet saking I Ketut Gora
26. I Nyoman
Riten saking I Wayan Sukadana
27. I Made Arta
saking I Wayan Tona
28. I Nyoman
Rembung saking I Wayan Batreana
Biasanya nama sang pitra akan diganti
dengan nama bunga, misal sandat, cempaka, jempiring, dan sebagainya (untuk sawa
wanita),
Sedangkan untuk sawa pria memakai
nama kayu yaitu cendana, majagau, ketewel, damulir dan sebagainya. Pada Mamukur dengan tingkatan
Uttama rangkaian upacaranya terdiri dari :
1.
Rahina Saniscara Paing Warigadian tanggal 6 Juli 2019, Ngulapin di Segara Geger, mohon ijin
Ida Bethara Baruna sebagai penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra
Yadnya.
2.
Rahina Redite Pon Julungwangi, tanggal 7 Juli 2019, Ngangget Don Bingin di Taru
Bingin Pura Desa, Puseh lan Bale Agung, yaitu upacara memetik daun
beringin (kalpataru/kalpavriksa) untuk dipergunakan sebagai bahan puspasarira
(symbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah
tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran/lukisan wajah
manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacara ini berupa
prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas,
bandrang dan lain-lainnya. Sebagai alas daun yang dipetik adalah tikar kalasa
yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin
tersebut.
3. Rahina Redite Pon Julungwangi, tanggal 7 Juli 2019, Ngangget Don Bingin di Taru
Bingin Pura Desa, Puseh lan Bale Agung, setelah daun beringin tiba di tenpat upacara, maka untuk masing-masing
perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk an dirangkai sedemikian
rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh yang akan diupacarakan,
di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga atau Sangge. Setelah Sekah
dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya (berwarna putih),
dilakukan upacara Ngajum, yaitu mensthanakan roh pada Sekah tersebut, sekaligus
ditempatkan di panggung upacara yang disebut Payajnan (tempat upacara yang
khusus untuk itu terbuat dari batang pinag yang sudah dihaluskan).
4.
Rahina Anggara Kliwon Julungwangi, tanggal 9 Juli 2019, Amet Toya Hening di
Pura Bale Agung, adalah Rangkaian upacara selanjutnya dapat dilakukan
pagi hari menjelang hari H berupa prosesi (mapeed) mengambil air jernih (toya
hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau dwijati yang
akan memimpin upacara yajna Mamukur tersebut. Toya hening tersebut ditempatkan
di bale Pamujaan (Pawedaan) di depan panggung Payajnan.
5.
Mapinton atau Mapajati, adalah upacara ini berupa prosesi mapeed bagi
puspasarira (roh yang diupacarakan) untuk mempermaklulmkan kepada para dewata
yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk pemujaan leluhur
(Kawitan).
6.
Rahina Budha Umanis Julungwangi, tanggal 10 Juli 2019, Mapradaksina di Bale
Piyadnyan, upacara ini sering disebut Mapurwadaksina, yaitu prosesi
mapeed bagi puspasarira yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu
keturunannya, memakai bhusana serba putih, dilakukan pada hari “H”, setelah
upacara Mapinton, mengelilingi panggung Payajnan sebanyak 3 kali dari arah
selatan ke arah timur mengikuti jejak lembu putih yang dituntun oleh
gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk, diiringi
gamelan gambang, saron atau slonding, gong gede, kidung kakawin, pembacaan
parwa (Mahabharata) dan Putrupasaji (bisa oleh Walaka senior).
7.
Rahina Budha Umanis Julungwangi, tanggal 10 Juli 2019, Puncak Upacara,
bersamaan dengan upacara Mapradaksina atau Mapurwadaksina seseorang atau
beberapa pandita ?Sulinggih yang memimpin pelaksanaan upacara juga melakukan
upacara:
7.1.
Melaspas bukur atau madya atau padma anglayang, alat untuk mengusung
puspasarira yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap bertumpang)
dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat panggung
Payajnan.
7.2.
Ngaliwet yaitu upacara menanak nasi sebagai saji tarpana
(penek/pulung-pulung kecil) disebut panda, sebanyak 108 buah dipersembahkan
kepada roh yang diupacarakan, disamping dipersembahkan kepada para dewata dan
leluhur. Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung Paajnan)
ipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan diatas nyiru berisi lukisan padma
dan wijaksara (hurup suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan madu
(madhuparka).
7.3.
Ngenyitin Damar Kurung yang ditempatkan di sebelah panggung Payajnyan
atau di pintu masuk areal upacara.
7.4.
Ngilenan Padudusan yaitu melaksanakan upacara panyucian dutujukan
kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya) untuk memohon perkenan para dewa/dewata
turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajna tersebut di panggung
Payajnan untuk menyucikan roh-roh yang diuparakan.
7.5. Muspa yaitu upacara persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Atma) dari ikatan Sukma Sarira yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.
7.5. Muspa yaitu upacara persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Atma) dari ikatan Sukma Sarira yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.
7.6.
Pralina yaitu upacara tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih)
sebagai symbol pelepasan Atma dari ikatan Sukma Sarira.
7.7. Papendetan yaitu mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.
7.7. Papendetan yaitu mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.
7.8.
Ngeseng Puspalingga yaitu membakar puspasarira (wujud roh) di atas
dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, penguyegan,
balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita
pemimpin upacara. Upacara ini sangat baik dilakukan pada dinihari saat dunia
dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Atma dari
keduniawian.
7.9.
Sekah tunggal. Selesai upacara Ngeseng maka arang/abu dari
puspasasrira dimasukkan de dalam degan (kelungah) kelapa gading dibungkus kain
putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya aisthanakan di dalam bukur di
atas padma anglayang atau dalam bokor perak diikuti dengan persembahyangan oleh
keluarga.
8. Rahina Wrahaspati Paing Julungwangi, tanggal 11
Juli 2019, Nganyut Sekah ke Segara Bengiat. Upacara ini merupakan
tahap terakhir dari upacara Mamukur, dapat dilakukan pagi hari selesai upacara
Ngeseng Sekah disebut upacara Ngirim. Setelah tiba di tepi pantai, arang/abu
yang ditempatkan didalam kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi
pantai yang didahului dengan upacara persembahyangan sesajen kepada Sang Hyang
Baruna, sebagai penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian rethadap roh yang
diupacarakan dan diakhiri dengan persembayhangan oleh keluarga.
9.
Rahina Saniscara Wage Julungwangi, tanggal 13 Juli 2019, Dewapitra Praistha
(ngelinggihan Dewapitra/Dewapitara), Upacara ini bukan merupakan bagian dari
upacara Mamukur, melainkan merupakan upacara kelanjutan dari upacara Mamukur.
Upacara ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih
lanjut dari mendharma-kana leluhurnya pada pura kawitan masing-masing yang
dirangkai pula dengan upacara Nyegara-Gunung atau Maajar-ajar, seperti ke Segara
Goa Lawah, Pura Goa lawah, Pura Dalem Puri, Pura Penataran Besakih, Pura
Pedharman, Pura Uluwatu, Pura Desa, Puseh dan Bale Agung, Pura Dalem Tungkub,
Kahyangan Sakti.
No comments:
Post a Comment