BALI CHINBOTSU II
''JIKA pohon terakhir sudah dibabat, burung terakhir sudah ditembak, ikan terakhir sudah dipancing dan sungai terakhir sudah menjadi kering, manusia toh tidak bisa makan uang!"
Rubag tersentak membaca puisi yang tertulis di cover buku "Kebudayaan Menggugat". Pikirannya melayang ke polemik yang terjadi belakangan ini tentang rencana pembangunan lapangan golf di Karangasem, yang dikritisi berbagai pihak. Petinggi kabupaten paling timur Bali yang jadi sasaran kritik itu berkelit dan berdalih bahwa yang diributkan orang baru "wacana" dan menyayangkan sikap para kritikusnya. Anehnya, dia juga menyebut ribuan tenaga kerja yang konon akan tertampung di lapangan golf itu, bahkan bersikukuh bahwa lokasinya jauh dari kawasan suci Besakih.
"Negeri ini benar-benar seperti Negara Teater, tempat pementasan ketoprak humor. Para aktor panggung bebas mengucapkan apa saja, dimengerti maupun tidak. Dari raja hingga panakawan nyeroscos terus untuk memancing geerrr penonton. Pejabat menyebut rencana pembangunan lapangan golf di daerahnya baru tingkat 'wacana', padahal lahan proyek telah diukur dan di setiap patoknya tertulis inisial perusahaan yang akan mengelolanya. Tahukah Bapak itu definisi wacana? Lalu, mengapa masyarakat ribut?" tanya Rubag.
"Sederhananya, aku pahami, wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Berita tentang lapangan golf itu, bagiku, telah berkembang menjadi wacana publik. Meski wacana awalnya diucapkan di ruang tertutup secara bisik-bisik, namun implikasinya terjadi di ruang publik. Kalau nggak salah, praktik wacana mengandung efek ideologi dan kekuasaan di dalamnya, sehingga masyarakat ribut. Tentu yang dimaksud ideologi di zaman sekarang adalah hal-hal yang berkelindan di seputar uang, duit dan doku. Meski publik bisa dihibur dengan kata-kata bersayap, uang bukan segalanya, kenyataannya tanpa uang susah segalanya," sahut Mandra.
"Kalau disimak puisi di cover 'Kebudayaan Menggugat' itu dan bila kita dalam kondisi 'sing ada apa buin De !', baru akan terasa bahwa uang bukan segalanya. Bali memang belum pernah dilanda bencana besar seperti yang melanda kawasan Asia saat ini. Bencana tak pernah memilih korban, siapa saja. Tapi ingat, perubahan iklim sudah kita rasakan sebagai bukti bahwa kita adalah bagian dari jaring-jaring kehidupan universal. Bali dan kita sebagai penghuninya, umpama seutas benang dalam rajutan, apa pun yang kita lakukan, bukan hanya berakibat pada kita, tapi berimbas ke seluruh rajutan. Rupanya Tri Hita Karana cuma semboyan saja, ya?"
"Bagiku, Tri Hita Karana adalah persepsi ekologis yang diperluas hingga melibatkan Tuhan. Sayang, kebanyakan dari kita menganggap hubungan antara persepsi ekologis 'agung' itu dengan perilaku yang sesuai dengannya, cuma sebagai hubungan logis, bukan psikologis. Dengan alasan logis, rasional dan ekonomis, dirabaslah hutan dan di lahannya didirikan villa-villa, pantai-pantai dibentengi hotel-hotel, sawah, ladang dan sepadan sungai dijadikan real estate, mall dan shopping center. Jeritan 'Bali sudah bopeng!' bukannya direspons dengan mulat sarira, malah sebaliknya muncul rencana pembangunan lapangan golf. Apa mau berlomba meningkatkan PAD?" tanya Rampug.
"Sekarang, bukan hanya Pura Subak yang nyaris menjadi nostalgia sejarah, juga Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan serta tempat-tempat suci lainnya terancam kesakralannya. Kaidah adat, apanimpug, apaneleng dan apanyengker dianggap kuno dan harus mengalah pada kajian-kajian ilmiah. Ruang dan waktu yang disulap uang, dianggap sama atau homogen. Padahal dalam kosmogoni Hindu, ruang dan waktu itu heterogen. Ada waktu-waktu tertentu yang dianggap suci, selebihnya biasa, sehingga orang punya odalan, hari raya dan berbagai jenis hari suci lain. Juga ada ruang sakral dan ruang profan, yang memiliki tatacara dan etika tertentu untuk memasukinya. Ironisnya, karena mabuk duit, heteroginitas ruang dan waktu itu kian diabaikan, malah ada penganut Hindu berstatus elit ikut melabraknya, " komentar Metra.
"Nah, itulah akibat hubungan antara perilaku yang sesuai dengan persepsi ekologis yang disebut Tri Hita Karana dianggap bersifat logis, bukan psikologis! Logika dan rasio yang bertendensi ekonomis mengalahkan moralitas. Uang, bagi mereka, lebih penting daripada janji-jandi surga, waktu sekarang lebih penting ketimbang masa depan yang belum jelas. Aku khawatir, mereka juga tidak peduli, apakah cucu dan buyut mereka akan melihat Bali seperti yang kita saksikan sekarang?"
"Coba saja kalau mereka sempat menyaksikan film 'Apocallypto' produksi Mel Gibson, yang mengisahkan peradaban besar yang hancur akibat kesembronoan suku bangsa yang mendukungnya. Kerajaan Maya yang berkuasa di Amerika selama 1.000 tahun, jauh sebelum para imigran dari Eropa membanjiri benua itu, tiba-tiba tenggelam menyisakan reruntuhan kota dan piramid besar yang dibalut belukar dan hutan lebat. Peradaban besar itu hancur bukan karena serbuan bangsa luar, tapi karena ulah suku bangsa Maya sendiri yang saling berperang dan menghancurkan satu sama lain. Kita di Bali memang tidak saling berperang, namun menghilangkan warisan leluhur berupa tanah yang seharusnya kita pertahankan dan wariskan ke generasi-generasi berikutnya," tutur Widia.
"Itu, sra panggang sra tunu, baunya sama! Kalau tidak salah, menjelang akhir 1980-an aku pernah ngobrol soal 'Bali Chinbotsu' atau 'Tenggelamnya Bali', lantaran terinspirasi sinopsis novel fiksi 'Nihon Chinbotsu' karya Komatsu Sakyo. Bila Komatsu bercerita tentang Jepang yang tenggelam akibat pergeseran kerak bumi dan geografinya labil sering dilanda gempa, tsunami dan topan, aku ngobrol soal Bali yang tenggelam karena bebannya kian sarat akibat serbuan pendatang. Kalau orang Jepang yang diungsikan ke berbagai negara, menurut Komatsu, merasa terkucil karena sulit menyesuaikan diri, bagiku, orang Bali justru pergi ke luar negeri untuk mencari budayanya yang hilang. Kini gejala 'Bali Chinbotsu' sudah tampak akibat ulah beberapa elit Bali yang mengabaikan sakralitas ruang, bahkan waktu, demi uang dan kekuasaan," ujar Rubag.
"Andai saja Adam dan Hawa dimaafkan Tuhan dan tidak diusir dari surga gara-gara makan buah terlarang, mungkin dunia tidak serusak sekarang. Jumlah manusia pun tidak berkembang jadi enam milyar seperti sekarang, tapi tetap dua orang, pria dan wanita. Tidak ada gusur menggusur, hutan dan gunung dibabat, sungai dan mata air mengering, bahkan uang yang dianggap dapat membeli segalanya, tidak akan pernah ada. Tapi itu semua seandainya.. .," tukas Rampug.
"Tapi 10 KK di Cenggiling, Jimbaran, sudah merasakan 'Bali Chinbotsu'! Rumah mereka dikurung hotel dan bangunan milik investor, sehingga tidak punya akses keluar-masuk rumah. Aparat desa dan pemerintah tidak berdaya menyelesaikan masalah. Hal serupa bisa terjadi juga pada kita, bila Bali dipimpin plutokrat. Apalagi kekuasaan mereka peroleh dengan menguras rekeningnya di bank untuk membeli suara," sahut Rubag.
No comments:
Post a Comment