Om Swastyastu
Tulisan sejenis yang dimuat dibergai media massa atau literature lainnya sudah cukup banyak, namun
saya tertarik kembali mengingatkan kepada para pembaca yang mungkin
sudah mumpuni dalam pemahamannya dan aplikasinya dalam urusan Sanggah
Kamulan.
Belakangan di
kalangan generasi muda tidak sedikit yang mulai berpikir, bahkan telah
melaksanakan bahwa sanggah Kamulan telah diganti dengan satu pelinggih
saja yaitu Padma Sari dengan berbagai alasan, persoalan tanah, biaya,
efesiensi dan masih ada seribu alasan untuk membenarkan tindakannya.
Bagi para pembaca yang berniat mengganti (Prelina) Sanggah Kamulan,
sebelum melaksanakan niatnya, semoga artikel sederhana ini bisa menjadi
bahan bandingan.
Umat Hindu pada prinsipnya memuja Tuhan dengan
segala manifestasinya dan memuja Roh (Dewa Pitara). Disamping memuja
Tuhan, Weda juga mengajarkan dan membenarkan memuja Roh Suci leluhur.
Dalam Kekawin Ramayana dinyatakan bahwa:
"Amat utama Sang DasarathaBeliau pandai tentang weda dan bakti pada
Dewa (Tuhan)Tidak pernah lupa memuja leluhurAmat kasih beliau dengan
seluruh keluarganya".
Jika kita kaji petikan kekawin di atas,
dapat kita pahami bahwa: agar dapat dirasakan keber “ada” an dan ke
Mahakuasaan Tuhan yang paling baik dilakukan di tempat pemujaan.
Mengapa...?? Lebih jauh dikatakan bahwa, ibarat mengambil susu kambing,
meskipun semua tubuh kambing sebagai penyebab timbulnya susu kambing,
tetapi air susunya dapat diambil dari puting susunya. Demikian pula
halnya dengan upaya manusia untuk dapat merasakan keber “ada” an Tuhan
Hyang Maha Esa dan Roh Suci leluhur tidaklah dapat dilakukan secara
sembarangan, namun hendaknya dilakukan di tempat pemujaan.
Tempat pemujaan bila dikelompokkan berdasarkan fungsinya dapat dibagi
menjadi dua yaitu, tempat pemujaan Tuhan (Dewa Pratistha) dan tempat
pemujaan Roh Suci leluhur (Atma Pratistha).
Tempat pemujaan Roh
Suci leluhur disebut Pemerajan. Bentuk Pelinggih di Pemerajan dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu, Pelinggih Inti dan Pelinggih pelengkap.
Pelinggih inti disebut Kamulan dan pelinggih pelengkap terdiri dari
pelinggih Taksu, Anglurah, Padma Sari, bahkan terkadang terdapat
pelinggih untuk Dewa Hyang.
Dalam Lontar Ciwagama disebutkan
bahwa, “… Bhagawan Manohari, Ciwapaksa sira, kindwa kinon de Cri
Gondarapati, umaryanang Sadkahyangan, manista Madya motama, mamarista
swadarmaning wang kabeh. Lyan Swadadyaning wang saduluking wang, kawan
dasa kinon magawe pangtikrama. Wang setengah bhaga rwang puluhing
saduluk, sanggarpratiwi wangumen ika, kamulan panunggalanya sowing”.
Artinya:
Begawan Manohari pengikut Ciwa beliau disuruh oleh Cri Gondarapati
untuk membangun Sad Khayangan kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan
kewajiban semua orang. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat
puluh keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu
yakni 20 keluarga, harus membangun Ibu. Kecilnya 10 keluarga Pratiwi
harus dibangun, dan Kemulan satu-satunya tempat pemujaan yang harus
dibangun pada masing-masing pekarangan keluarga.
Dari kutipan
tersebut di atas jelas bahwa setiap orang yang telah berkeluarga
(grehasta) yang telah menempati pekarangan perumahan tersendiri wajib
membangun Sanggah Kemulan.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil
keputusan pada pertemuan segitiga di Bedahulu antara 3 kelompok Agama
sebagai wakil dari ke 6 sekte yang ada di Bali maka di dalam lingkungan
masyarakat yang lebih kecil (keluarga) diharuskan untuk membangun
Sanggah/Merajan, di Pekarangan masing-masing berupa pelinggih Rong Tiga
yang biasa sidebut Sanggah Kamulan.
Sebagai umat yang ingin
mendekatkan diri pada Sang Pencipta, maka langkah awal bagi setiap orang
yang telah memasuki Grehasta adalah dengan mendirikan Sanggah Kamulan.
Sanggah Kemulan berasal dari kata Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah
perubahan dari kata “Sanggar” artinya tempat pemujaan, Kamulan berasal
dari kata “Mula” yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Jadi
yang dimaksud dengan Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan asal atau
sumber (Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan). Jadi yang dipuja di Sanggah
Kamulan adalah Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan yang merupakan sumber
atau asal dari mana manisia itu ada.
Kamulan atau Kawitan adalah
merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Manusia dalam bahasa
Bali halus disebut “Jatma” yang berarti Roh yang lahir, dengan demikian
Roh/Atmalah yang menjadi sumber adanya manusia.
Dalam Lontar
Usana Dewa disebutkan bahwa: "Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,
ring Kamulan tengen Bapa ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibu
ngaran Sang Ciwatma, ring Kamulan tengah ngaran raganya, yaitu Brahma,
dadi meme, bapa meraga Sang Hyang Tuduh”.
Artinya:
Pada Sanggah
Kemulan Beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang Kemulan kanan Ayah
namanya Sang Hyang Paratma. Pada Kemulan kiri Ibu, disebut Ciwatma, pada
Kamulan ruang tengah diriNya itu Brahma, menjadi purusa-pradana,
berwujud Sang Hyang Tuduh.
Hal senada juga termuat pada lontar
Tutur Gong Wesi, “… ngaran ira Sang Atma ring Kamulan tengah bapanta,
ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibunta, ngaran Sang Ciwatma, ring
Kamulan madya raganta, Atma dadi meme bapa ragante, mantuk ring dalem
dadi Sang Hyang Tunggal, nunggalang raga …”
Artinya:
Nama
Beliau (Tuhan) Sang Atma, pada ruang Kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang
Hyang Paratma, pada ruang Kamulan kiri Ibumu yaitu Sang Ciwatma, pada
ruang Kamulan tengah adalah kamu, yaitu atma menjadi ayah ibu dan kamu
menyatu menjadi Sang Hyang Tunggal, menyatukan wujud.
Jadi yang melinggih pada Sanggah Kamulan adalah Sang Hyang Triatma yaitu Paratma, Ciwatma dan Sang Hyang Tunggal/Tuduh.
Sedangkan dalam lontar Purwa Bumi Kamulan disebutkan bahwa Hyang
Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Roh suci leluhur,
seperti tersirat pada kutipan berikut: “Riwus mangkana daksina
pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntunakene maring Sanggah Kamulan, yan
lanang unggahakenna ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa,
irika mapisan lawan Dewa Hyangnya nguni” Artinya: Setelah demikian
daksina perwujudan Roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau roh
suci dari perempuan dinaikkan disebelah kiri disana menyatu dengan
leluhur terdahulu.
Lebih jauh disebutkan dalam lontar Purwa
Bhumi, Kamulan, disebutkan bahwa, “… Begitulah caranya yang benar untuk
berbakti kepada leluhur, kalau tidak seperti itu tidaklah selesai
upacara untuk Dewa Pitara, Sang Dewa Pitara berkeliaran tidak mendapat
tempat, maka diumpatlah keturunannya dan keluarganya, semua tertimpa
penyakit, disakiti oleh Dewapitaranya, itulah sebabnya datang penyakit
yang aneh-aneh tidak bisa diobati menurut ketentuan usada. Muncul
penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, gila-gilaan, hati rusak,
ogan, tunggah, ayan, bingung, sakit lemah, murung, sakit ingatan,
sungsung baru dan juga menyebabkan boros kekayaannya habis tanpa sebab,
selalu merasa kurang makan dan minum sebab telah dirusak oleh Bhuta Kala
karena selamanya Dewapitara tidak mempunyai tempat. Atau tempatnya
tidak menentu, karena keturunannya kurang bakti, kurang pengetahuan,
kurang perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan lapar, tidak
berjasa pada diri sendiri dan pula tidak berbakti pada leluhur.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sanggah Kamulan terdiri dari tiga Kosmos yaitu:
1. Bebaturan sebagai Bhur Loka, alam pitara yang belum diaben.
2. Lepitan sebagai Buah Loka/pitra loka, alamnya para pitara yang telah diaben.
3. Rong Tiga sebagai Swah Loka, alamnya Para Dewa, Atma yang telah mencapai “Sidha Dewata”.
Jadi jelaslah bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan Roh Suci yang
telah mencapai alam dewa (Sidha Dewata) dan semua keturunannya wajib
memuja roh yang telah suci itu. Karena amat besarlah pahala orang yang
bhakti kepada leluhurnya. Kalau kurang bhakti pada leluhur apalagi tidak
menstanakan di Kamulan maka kesengsaraan hiduplah yang akan dialami.
Sang Hyang Tri Atma adalah Hyang Tunggal/Tuduh yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Menurut filsafat Siwa Tattwa disebutkan bahwa Tri Atma adalah:
1. Siwatma dengan dewanya Brahma wijaksaranya Ang
2. Sadasiwatma dengan dewanya Wisnu wijasaranya Ung
3. Paramatma dewanya Iswara wijaksaranya Mang.
Ketiga Dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti.
Hal ini juga terdapat dalam mantram ngaturang bhakti ring Kawitan
yaitu:
Om Dewa-dewa tri dewanamTrimurti tri lingganamTripurusa sudda nityamSarwa jagat jiwatmanam.
Artinya:
Om para Dewa utamanya tiga dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Iswara) adalah
Trilingga. Tripurusa yang suci selalu adalah roh (Atma) atau semesta
dengan isinya (Jagat).
Dengan demikian jelaslah yang menjadi
jiwa (Atma) atau Roh dari jagat kita termasuk mahluk hidup, utamanya
manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti, Tri Purusa.
Dewa
Pitara yang distanakan di Pemerajan Kamulan karena telah mencapai alam
kedewaan atau alamnya Sang Hyang Tri Murti, maka Dewa pitara itu
diindentikkan dengan Sang Hyang Tri Murti.
Sehingga dapat kita
pahami dan tegaskan bahwa, Sanggah Kamulan adalah perwujudan lingga Tri
Murti yang merupakan pancaran dari Sang Hyang Widi Wasa. Secara mikro
pelinggih rong Tiga ini adalah merupakan Khahyangan Tiga yang berada
pada lingkungan keluarga.
Jadi Dewa Pitara yang telah mencapai
alamnya Tri Murti dapat dipuja melalui Sanggah Kamulan. Dimana Dewa
Pitara tersebut telah identik dengan Sang Hyang Tri Murti. Karena Dewa
Pitara itu identik dengan Sang Hyang Tri Murti maka Dewa Pitara yang
berstana di Kamulan disebut “Bhatara Hyang Guru” Bhatara Hyang disini
adalah Dewa Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa, dalam
fungsinya sebagai pendidik umat manusia.
Hal ini tersurat pada mantram ngaturang bakti ring kawitan yaitu:
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwan
Guru Pantara Dewanam
Guru Dewa Suddha nityam.
Artinya:
Om Guru Dewa, Guru sekala, Guru sekala-niskala dan Guru Purwan adalah Guru para Dewa, Dewa Guru suci selalu.
Matur suksma
Kirang langkung nunas ampura
Om Santih Santih Santih Om
Bersumber dari ~Jro Mangku Danu