411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, June 17, 2019

UPACARA MEMUKUR DESA ADAT PEMINGE 10 JULI 2019



Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu = alam dan ur = atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginannya sehingga bisa menyatu dengan Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yang dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben.
Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka dari itu perlu dibuatkan simbol-simbol badan halus dari atma/roh yang akan di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih rumit dari ngaben. Pelaksanaan upacara Mamukur dan yadnya lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana, yaitu mereka yang melaksanakan upacara tersebut. Secara garis besar dan sesuai dengan kemampuan umat upacara ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu yang kemampuannya besar disebut (Uttama), yang kemampuannya menengah disebut (Madhya) dan yang kemampuannya kecil atau sederhana disebut (Kanistama/Nista/ Alit)
Pada Upacara Mamukur/Nyekah tanggal 10 Juli 2019, yang diselenggarakan oleh Desa Adat Peminge untuk pertama kalinya ini diikuti oleh beberapa puspa dari Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, termasuk trah Bongantik seperti berikut :
1.      Ni Wayan Lumur saking I Wayan Sugiarta
2.      Ni Wayan Lasir saking I Wayan Suana
3.      I Ketut Rodeg saking I Wayan Waker
4.      Ni Nyoman Romen saking I Made Komplit
5.      Ni Wayan Rupik saking I Wayan Suaka
6.      I Nyoman Rimpek saking I Nyoman Suamba
7.      I Ketut Cantug saking I Nyoman Subrata
8.      I Wayan Raba saking I Nyoman Suamba
9.      Ni Wayan Metri saking I Wayan Batreana
10.  I Made Wanci saking I Wayan Ronci
11.  I Wayan Rota saking I Wayan Citra
12.  Ni Wayan Rumping saking I Nyoman Mandia
13.  I Nyoman Kiteh saking I Wayan Hardika
14.  I Nyoman Rate saking I Wayan Surata
15.  Ni Ketut Waluh saking I Wayan Pundung
16.  I Nyoman Beled saking I Komang Sugita
17.  I Made Gati saking I Nengah Suastra
18.  I Wayan Kebek saking I Wayan Kastra
19.  Ni Wayan Masih saking I Made Suanda
20.  I Made Lemet saking I Wayan Pait
21.  Ni Wayan Sekin saking I Wayan Roden
22.  Ni Made Repi saking I Made Metra
23.  Ni Made Kecap saking I Wayan Sutama
24.  I Ketut Minta saking I Nyoman Meting
25.  Ni Made Rintet saking I Ketut Gora
26.  I Nyoman Riten saking I Wayan Sukadana
27.  I Made Arta saking I Wayan Tona
28.  I Nyoman Rembung saking I Wayan Batreana



Biasanya nama sang pitra akan diganti dengan nama bunga, misal sandat, cempaka, jempiring, dan sebagainya (untuk sawa wanita),
Sedangkan untuk sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana, majagau, ketewel, damulir dan sebagainya. Pada Mamukur dengan tingkatan Uttama rangkaian upacaranya terdiri dari :

1. Rahina Saniscara Paing Warigadian tanggal 6 Juli 2019, Ngulapin di Segara Geger, mohon ijin Ida Bethara Baruna sebagai penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra Yadnya.
2. Rahina Redite Pon Julungwangi, tanggal 7 Juli 2019, Ngangget Don Bingin di Taru Bingin Pura Desa, Puseh lan Bale Agung, yaitu upacara memetik daun beringin (kalpataru/kalpavriksa) untuk dipergunakan sebagai bahan puspasarira (symbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran/lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacara ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lainnya. Sebagai alas daun yang dipetik adalah tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin tersebut.

3. Rahina Redite Pon Julungwangi, tanggal 7 Juli 2019, Ngangget Don Bingin di Taru Bingin Pura Desa, Puseh lan Bale Agung, setelah daun beringin tiba di tenpat upacara, maka untuk masing-masing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk an dirangkai sedemikian rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh yang akan diupacarakan, di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga atau Sangge. Setelah Sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya (berwarna putih), dilakukan upacara Ngajum, yaitu mensthanakan roh pada Sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacara yang disebut Payajnan (tempat upacara yang khusus untuk itu terbuat dari batang pinag yang sudah dihaluskan).


4. Rahina Anggara Kliwon Julungwangi, tanggal 9 Juli 2019, Amet Toya Hening di Pura Bale Agung, adalah Rangkaian upacara selanjutnya dapat dilakukan pagi hari menjelang hari H berupa prosesi (mapeed) mengambil air jernih (toya hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau dwijati yang akan memimpin upacara yajna Mamukur tersebut. Toya hening tersebut ditempatkan di bale Pamujaan (Pawedaan) di depan panggung Payajnan.
5. Mapinton atau Mapajati, adalah upacara ini berupa prosesi mapeed bagi puspasarira (roh yang diupacarakan) untuk mempermaklulmkan kepada para dewata yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk pemujaan leluhur (Kawitan).
6. Rahina Budha Umanis Julungwangi, tanggal 10 Juli 2019, Mapradaksina di Bale Piyadnyan, upacara ini sering disebut Mapurwadaksina, yaitu prosesi mapeed bagi puspasarira yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih, dilakukan pada hari “H”, setelah upacara Mapinton, mengelilingi panggung Payajnan sebanyak 3 kali dari arah selatan ke arah timur mengikuti jejak lembu putih yang dituntun oleh gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk, diiringi gamelan gambang, saron atau slonding, gong gede, kidung kakawin, pembacaan parwa (Mahabharata) dan Putrupasaji (bisa oleh Walaka senior).
7. Rahina Budha Umanis Julungwangi, tanggal 10 Juli 2019, Puncak Upacara, bersamaan dengan upacara Mapradaksina atau Mapurwadaksina seseorang atau beberapa pandita ?Sulinggih yang memimpin pelaksanaan upacara juga melakukan upacara:
7.1. Melaspas bukur atau madya atau padma anglayang, alat untuk mengusung puspasarira yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap bertumpang) dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat panggung Payajnan.
7.2. Ngaliwet yaitu upacara menanak nasi sebagai saji tarpana (penek/pulung-pulung kecil) disebut panda, sebanyak 108 buah dipersembahkan kepada roh yang diupacarakan, disamping dipersembahkan kepada para dewata dan leluhur. Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung Paajnan) ipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan diatas nyiru berisi lukisan padma dan wijaksara (hurup suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan madu (madhuparka).
7.3. Ngenyitin Damar Kurung yang ditempatkan di sebelah panggung Payajnyan atau di pintu masuk areal upacara.
7.4. Ngilenan Padudusan yaitu melaksanakan upacara panyucian dutujukan kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya) untuk memohon perkenan para dewa/dewata turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajna tersebut di panggung Payajnan untuk menyucikan roh-roh yang diuparakan.
7.5. Muspa yaitu upacara persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Atma) dari ikatan Sukma Sarira yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.
7.6. Pralina yaitu upacara tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih) sebagai symbol pelepasan Atma dari ikatan Sukma Sarira.

7.7. Papendetan yaitu mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.
7.8. Ngeseng Puspalingga yaitu membakar puspasarira (wujud roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, penguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacara. Upacara ini sangat baik dilakukan pada dinihari saat dunia dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Atma dari keduniawian.
7.9. Sekah tunggal. Selesai upacara Ngeseng maka arang/abu dari puspasasrira dimasukkan de dalam degan (kelungah) kelapa gading dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya aisthanakan di dalam bukur di atas padma anglayang atau dalam bokor perak diikuti dengan persembahyangan oleh keluarga.
8. Rahina Wrahaspati Paing Julungwangi, tanggal 11 Juli 2019, Nganyut Sekah ke Segara Bengiat. Upacara ini merupakan tahap terakhir dari upacara Mamukur, dapat dilakukan pagi hari selesai upacara Ngeseng Sekah disebut upacara Ngirim. Setelah tiba di tepi pantai, arang/abu yang ditempatkan didalam kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacara persembahyangan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian rethadap roh yang diupacarakan dan diakhiri dengan persembayhangan oleh keluarga.
9. Rahina Saniscara Wage Julungwangi, tanggal 13 Juli 2019, Dewapitra Praistha (ngelinggihan Dewapitra/Dewapitara), Upacara ini bukan merupakan bagian dari upacara Mamukur, melainkan merupakan upacara kelanjutan dari upacara Mamukur. Upacara ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih lanjut dari mendharma-kana leluhurnya pada pura kawitan masing-masing yang dirangkai pula dengan upacara Nyegara-Gunung atau Maajar-ajar, seperti ke Segara Goa Lawah, Pura Goa lawah, Pura Dalem Puri, Pura Penataran Besakih, Pura Pedharman, Pura Uluwatu, Pura Desa, Puseh dan Bale Agung, Pura Dalem Tungkub, Kahyangan Sakti.



No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.