411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Sunday, September 11, 2016

Ketika keharmonisan belum terpaut....Ida Bhetara Mpu Gana di tuntun ke Pura Catur Lawa Besakih tanggal 11 September 2016




Ketika kata berbagi sudah begitu rumit untuk saling dipahami, adakah yang lebih baik dari kata Berpisah?
Itulah yang sedang terjadi hari ini di Besakih. Tepatnya di Pura Catur Lawa Ratu Pasek.
Hari ini, Redité, Kajeng Wage uku Kuningan, tanggal masehi 11September 2016, para penglingsir dan tokoh Pasek mengambil jalan tengah. Mereka menunjukkan komitmennya untuk tetap saling mengasihi sebagai warih para leluhur yang telah mewariskan kesepahaman. Yaitu agar pura Dasar Gelgel mesti didedikasikan sebagai sebuah arena. Dimana kecamuk cinta, benci disikapi sebagai rangkaian dinamika yang mengokohkan. Yang tidak hanya menginspirasi guna saling merindukan, tetapi juga memotivasi. Agar semua warih bersama-sama mengukir jaman. Juga menata angin guna menyejukkan gejolak benci, untuk kemudian menjadi kerinduan sexy yang menggairahkan.
....
Tetapi hari ini sebuah sikap telah diambil untuk selanjutnya dikukuhkan sebagai rangkaian nadar. Karena kesepahaman yang digadang-gadang para leluhur ternyata tidak pernah terwujud nyata. Juga telah semakin direntankan. Tidak saja oleh Lupa, tetapi juga oleh jaman yang tak sepakat untuk diukir bersama.
...
Lalu...siapa yang dikutuk oleh para leluhur?
...
Tapi pentingkah menjadikan kutukan sebagai bagian dari penangkal lupa ketika dia begitu lama diam. Tidak mengingatkan apapun kepada para warih bahwa mereka semua adalah sedhulur? Bahwa mereka semua wajib saling mengukuhkan sebagai warih dari kerendahan hati masa lalu ? Yaitu manakala salah satu diantara para warih senantiasa meradang akibat merasa diabaikan. Bahkan merasa tidak lagi dipadankan sebagai warih?
...
Hari ini pura Catur Lawa Ratu Pasek Besakih telah menjadi sebuah arena. Dimana gerah matahari disapu angin yang berhembus bagai menciumi apapun dengan kegairahan tak terperi. Yang menyeruak penuh berahi terhadap pucuk-pucuk bambu dan cemara yang tak kalah sexy memanggil-manggil. Pun juga terhadap mereka yang 'pedek tangkil'. Angin meraba sekujur mereka bagai sedang bercinta. Mereka semua bergairah. Menyambut sebuah sikap yang lama ditunggu. Yaitu untuk dipadankan tidak semata sebagai warih, tetapi sebagai anak-anak manusia. Yang setara dalam menata linggih untuk didedikasikan bagi sang waktu dan juga jaman.
...
Hari ini mungkin momentum yang telah dipahami oleh para leluhur sebagai sikap METILESAN dari salah satu warih mereka. Mungkin juga mereka ikut bosan atas apa yang telah terjadi begitu lama. Sehingga sepakat untuk sejenak memalingkan muka. Atau juga memburamkan pandang dengan bulir air mata yang menggenang penuh sesal. Bahwa para warih tidak lagi meneruskan kesepahaman yang dulu digurat penuh kerendahan hati dan suka cita untuk saling setia dan bersetia kawan.
....
Mungkin sikap yang telah diambil untuk 'Metilesan Raga' adalah sebuah keputusan yang sepadan. Karena ditujukan untuk memuliakan leluhur sesuai sesuluk yang semestinya. Dimana beliau di suguhkan Puspam, Dupam, Tirtam dan Mantram yang dibalut Mudram mengharukan oleh warih yang telah menggapai Dwi Jati. Tidak sekedar Sehe sesontengan, sekalipun digaungkan dari bangunan berukir indah. Memang tidak segurat kukupun dari keduanya nenjadikan bhakti berkurang. Tetapi bukankah menjadi penting manakala si anak menyuguhkan sesuatu yang mempertunjukkan bahwa mereka telah tidak menyia nyiakan segala kesempatan untuk menjadikan leluhur lebih bangga?
Adakah yang lebih mampu membuat air mata orang tua berderai ketimbang sapaan dan suguhan sepenuh syukur dari anak cucu??
Itulah yang hari ini terjadi. Yaitu ketika para warih PASEK tidak hanya memohon tetapi menyuguhkan keberadaan mereka kepada leluhurnya. Bahwa kini mereka adalah manusia yang tidak abai atas apa yang menjadi kehendak para leluhurnya. Bahwa kini mereka adalah manusia yang di kerendahan hatinya, juga berkehendak mengukir jaman agar sejarah tidak ragu memadankannya.
...
Sikap Metilesan Raga adalah pilihan dari mereka yang tidak abai akan rasa hormat. Yaitu agar pura Dasar Bhuwana Gelgel tak tersedak kesejarahannya. Bahwa PASEK adalah bagian terpenting darinya***
11/9/16

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.