411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Wednesday, March 21, 2007

MAKNA HARI RAYA NYEPI



Brata Nyepi Melatih Hidup Mandiri
Oleh Brahmacarya Bhargawa Chaitanya

SETIAP pergantian Tahun Baru Saka, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan suatu brata atau latihan spiritual pada saat hari raya Nyepi. Empat Brata Nyepi yang lazim di kalangan umat Hindu yang disebut Catur Brata Penyepian biasa dilaksanakan pada saat nyepi. Pelaksanaannya masih terkesan rutin dan tak jarang tanpa pemahaman makna yang sesungguhnya.
CATUR Brata Penyepian meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara leksikal berarti tidak menyalakan api, Amati Karya berarti tidak melakukan aktivitas atau kerja, Amati Lelungan berarti tidak keluar rumah atau bepergian, dan Amati Lelanguan berarti tidak menikmati kesenangan.
Pelaksanaan Catur Brata Penyepian ini hendaknya dikaji secara filosofis. Amati Gni, misalnya. Selain tidak menyalakan api sehingga tak jarang di rumah-rumah orang Hindu umumnya pada saat Nyepi tidak ada penerangan atau gelap, Amati Gni sebenarnya juga mengandung suatu pesan simbolis yang bermakna mematikan api hawa nafsu yang ada dalam diri manusia.
Apakah ada kaitannya dengan tidak menyalakan api secara fisik, tentu saja ada. Api merupakan simbol ketertarikan pada obyek atau sesuatu benda yang menimbulkan keinginan untuk memilikinya (desire). Di tempat yang gelap kita tidak bisa membedakan satu benda dengan benda lainnya, karena itu dibutuhkan cahaya untuk melihat benda-benda tersebut. Obyek atau benda dengan sendirinya tidak akan menimbulkan suatu masalah. Masalah umumnya timbul ketika kita melakukan kontak dan kita memberikan nilai yang lebih pada obyek atau benda itu. Padahal, nilai ini sebenarnya tidak mutlak.
Ketertarikan akan benda ataupun obyek senantiasa berubah. Sebenarnya ini adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah ketika dalam proses untuk mendapatkan suatu obyek atau benda tersebut, kita lupa bahwa pikiran kita telah dikuasai secara penuh oleh keinginan untuk memilikinya. Tak jarang pikiran kita menjadi sedih dan gelisah. Kita berpikir tanpa obyek itu kita merasa tidak akan lengkap, padahal sebelumnya kita tenang saja. Inilah yang akan menimbulkan hasrat untuk menguasai (desire), dan setelah kita berhasil mendapatkan, kita akan berusaha mempertahankannya mati-matian yang menimbulkan rasa keterikatan yang kuat dan rasa ketakutan untuk kehilangan (fear).
Dalam proses untuk mendapatkan benda itu tak jarang ada penghalang dan rintangan karena mungkin saja ada orang lain yang juga menginginkannya atau tidak memberikan kepada kita. Otomatis kita menjadi kesal dan menimbulkan rasa marah kepada orang itu (anger). Inilah awal kita menciptakan permusuhan di dalam diri kita yang berupa konflik batin dan permusuhan dengan orang lain, berupa konflik kepentingan atau perkelahian. Nah, jelas sudah karena adanya cahaya, kita bisa melihat obyek yang menarik perhatian kita, kemudian mempunyai hasrat untuk memilikinya yang tak jarang juga menimbulkan perasaan takut untuk tidak mendapatkan dan perasaan ketakutan akan kehilangan. Kita berpikir setelah kita bisa mendapatkan obyek keinginan itu kita akan bahagia, tetapi justru sebaliknya kita menjadi tidak tenang. Dengan mematikan api secara fisik diharapkan kita bisa menguasai nafsu keinginan kita untuk mendapatkan suatu ketenangan.
Kita tidak akan mati jika dalam satu hari saja tidak menyalakan api, tidak melakukan aktivitas kerja, tidak bepergian, ataupun tidak melakukan kegiatan memenuhi kesenangan akan obyek di luar diri kita. Justru sebaliknya kita bisa mengistirahatkan pikiran kita dan mengoptimalkan diri kita secara lahir dan batin. Kegiatan untuk memenuhi hasrat keinginan ini hampir setiap hari kita lakukan dan merupakan rutinitas hidup selama bertahun-tahun. Obyek keinginan itu selalu berubah dan berlipat ganda jumlahnya. Keinginan yang satu akan berlanjut dengan keinginan-keinginan yang lain dan pemenuhan akan obyek keinginan itu tak jarang membuat hidup kita menderita.
JIKA kita kembangkan lebih luas, dengan melihat kondisi negara dan bangsa saat ini, keadaannya tidak jauh berbeda. Hingga dekade yang lalu pola pikir dan pola hidup masyarakat kita berubah. Kita berpikir kita sudah menjadi sama dengan negara maju dan modern, padahal kenyataannya kita masih negara berkembang. Pola hidup masyarakat agraris cenderung ditinggalkan berganti menjadi pola hidup masyarakat industri. Lahan pertanian berubah menjadi pabrik- pabrik.
Sebenarnya ini tidak masalah. Yang menjadi permasalahan adalah kita menjadi masyarakat yang konsumtif. Masyarakat tidak lagi menganut pola hidup sederhana, tetapi cenderung hidup luxury. Ini mendorong perubahan dari hal-hal kecil, seperti pola makan, sampai hal-hal yang mendasar seperti prestise. Kini sebagian dari kita lebih suka makan fast food dan segala sesuatu yang berbau impor. Tidak hanya sebatas pola makan, tetapi semua kebutuhan hidup pun menjadi meningkat. Tuntutan hidup dirasa semakin sulit. Belum lagi makin menjamurnya pertokoan dan pusat perbelanjaan, kita menjadi terbiasa dan bergantung pada produk luar. Sementara kemampuan dan daya beli masyarakat masih rendah sehingga tak jarang yang terpaksa berutang.
Belum lagi keadaan ini tidak diimbangi dengan kerja keras. Masyarakat kita cenderung mau makan enak, tetapi ogah kerja. Keadaan ini terjadi bertahun-tahun tanpa kita sadari. Sampai mencapai klimaks yang berupa krisis ekonomi dan multikrisis. Semua mencari kambing hitam, rakyat menyalahkan pejabat, pejabat menyalahkan pengusaha, dan pengusaha menyalahkan sistem birokrasi pemerintahan.
Sampai kapan keadaan ini akan berlangsung?
Selama kita merasa bergantung pada produk luar dan belum bisa menghargai dan meningkatkan produksi dalam negeri, selamanya kita akan bergantung pada negara lain, kita tidak akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, apalagi jika setiap individu masih memegang prestise yang salah dengan menganut pola pikir biar miskin tetapi gaya. Untuk mengejar kepentingan materi, orang kadang menghalalkan segala cara. Korupsi, kolusi dan nepotisme dianggap hal yang biasa.
Apakah keadaan ini bisa berubah? Bisa saja asalkan setiap individu menyadari kepentingan dan peranannya masing-masing. Perubahan akan terjadi jika kita mau memulai dan mengubahnya dari diri kita sendiri. Kita berubah, orang lain pun akan berubah. Kalau setiap individu mengubah pola pikir yang keliru, maka akan terjadi perubahan dalam masyarakat, yang pada akhirnya perubahan keadaan negara pada umumnya.
Apa yang harus diubah?
Cara pandang dan visi kita dalam melihat kenyataan hidup ini yang harus diubah. Perubahan diawali dengan mengubah pola pikir kita yang keliru. Jika selama ini kita berpikir bahwa hidup hanya untuk hari ini, kita harus mulai berpikir tentang masa depan. Jika selama ini kita lebih mementingkan prestise yang salah demi gengsi, mulai sekarang kita harus bisa melihat kenyataan dan menerima keadaan serta menjadi diri kita apa adanya. Jika selama ini kita lebih mementingkan pola hidup mewah, mulai sekarang kita harus kembali ke pola hidup sederhana.
Jika selama ini kita merasa bergantung kepada orang lain, mulai sekarang kita harus berani mencoba kemampuan kita sendiri dan berusaha mandiri di dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika selama ini kita selalu bertanya, apa yang keluarga, orang lain, dan negara berikan kepada kita, maka mulai sekarang kita harus bertanya apa yang dapat kita berikan kepada keluarga, orang lain, dan negara? Bukankah lebih baik memberi daripada meminta?

KEMBALI ke pelaksanaan Catur Brata Nyepi. Ada yang menanyakan, apakah pada saat Nyepi harus puasa? Sebenarnya puasa tidak termasuk dalam Catur Brata Nyepi. Cuma untuk memudahkan kita melaksanakan brata, puasa dirasa perlu tetapi tidak diharuskan. Puasa tidak makan (upawasa), puasa tidak berbicara (mauna), dan puasa tidak tidur (jagra) adalah brata pada saat Siwalatri.

Kalau pada saat Nyepi kita juga melaksanakan puasa, secara otomatis kita akan lebih mudah melaksanakan Amati Gni karena pada saat itu kita tidak memasak. Kita tidak mempersiapkan hidangan (Amati Karya), otomatis kita tidak keluar rumah untuk berbelanja misalnya (Amati Lelungan) lebih-lebih kalau kita tidak menikmati hidangan yang enak, kita sudah melaksanakan Amati Lelanguan.
Yang terpenting dari pelaksanaan Nyepi adalah Catur Brata Nyepi Adi. Percuma saja kita berpuasa, tetapi kita menyalakan api, bepergian, atau mengerjakan sesuatu yang tidak perlu bahkan asyik ngerumpi. Sebaiknya Brata Nyepi dibarengi dengan olah batin dan perenungan. Pada siang hari mungkin bisa membaca sastra suci tentang tutur suci atau purana. Sore harinya diisi dengan diskusi agama dan pada malam harinya bisa melaksanakan kegiatan sambang samadhi atau meditasi, yaitu merenungkan apa yang telah kita perbuat, apa yang akan kita perbuat, serta mengevaluasi apa yang telah kita capai. Selanjutnya perenungan diarahkan menuju perenungan akan jati diri kita yang sebenarnya.
Kegiatan seperti ini sudah bertahun-tahun dilaksanakan di Pura Aditya Jaya dan pura- pura lain di Jakarta pada saat hari raya Nyepi. Biasanya umat akan datang ke pura pada pagi hari. Untuk pelaksanaan hari raya Nyepi tahun ini, panitia Tawur Kesanga dan Nyepi tingkat DKI Jakarta akan melaksanakan Tawur Kesanga di pelataran Pura Aditya Jaya, Rawamangun, sehari sebelum hari raya Nyepi, di mana sehari sebelumnya dilaksanakan upacara Merasti yang dilaksanakan di Pura Segara Cilincing.
Marilah kita pergunakan momen hari raya Nyepi ini untuk menciptakan konsolidasi umat pada khususnya dan stabilitas serta keamanan Ibu Kota pada umumnya. Lebih-lebih hari raya Nyepi pada tahun ini bersamaan dengan dilaksanakannya pesta demokrasi Pemilu 2004. Umat Hindu di mana pun berada dituntut peran aktifnya untuk secara langsung menciptakan suatu kondisi yang kondusif dan harmonis dalam pelaksanaan Brata Nyepi dan pelaksanaan Pemilu 2004.
Selamat hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1926. Semoga pikiran yang jernih datang dari segala arah.

Brahmacarya Bhargawa Chaitania Pimpinan Pura Aditya Jaya Rawamangun dan Pusat Spiritual Hindu Chinmaya Jakarta, PhD lulusan Sandeepany Sadhanalaya Hindu University, Mumbay, India

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.