411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, July 16, 2007

BANTEN SEBAGAI BAHASA SIMBOL


Oleh : Ni Made Wiratini, S.Ag

BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.