411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Monday, July 16, 2007

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri

Oleh: Ni Made Wiratini S.Ag
BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut : "Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari". Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna. Bunga lambang dari kesucian hati untuk beryajna. Daun-daunan lambang dari tumbuh berkembangnya pikiran suci. Buah-buahan, jajan pelengkap banten adalah melambangkan Widhyadara dan Widhyadari. Apa yang dilukiskan oleh pernyataan lontar diatas mewrupakan penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten, jika hal itu disimpulkan ternyata didalamnya terkandung ajaran syarat-syarat berserah diri kepada Hyang Widhi, yang mana hal itu digambarkan: Pertama adalah langgeng artinya bersungguh-sungguh. Berserah diri kepada Hyang Widhi tidaklah boleh ragu-ragu. Berserah diri hendaknya dilandasi oleh keyakinan yang kuat dan keteguhan hati, bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Adil. Seseorang yang memiliki keteguhan hati merupakan cerminan dari kebijaksanaan serta pikiran yang mantap. Konsep langgeng dan keteguhan hati ini dalam Bhagawad Gita II 54 diistilahkan dengan Sthitaprajna, yakni orang yang teguh dalam yoga yang tidak terpengaruh oleh suka dan duka. Kedua adalah kesucian pikiran. Pikiran atau manah harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk mengendalikan indria sesuai bunyi Bhagawad Gita III 42. Manah yang sempurna berada di bawah kendali dari Buddhi. Biddhi yang kuat berada di bawah sinar suci atma. Kesucian pikiran ini hendaknya senantiasa diperjuangkan dalam wujud latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bunga dalam upacara tidak hanya dalam arti nyata, melainkan pula bagaimana kita dapat mempersembahkan bunga padma hredaya kita yang tumbuh sebagai akibat berseminya rasa bhakti itu kepada Tuhan. Ketiga mengembangkan pikiran yang suci. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam berserah diri dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Dengan kata lain sesuatu yang baik, yang dapat dicapai patut untuk didayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti juga melayani Tuhan. Dengan demikian prinsip pelayanan kepada Tuhan tidak hanya semata-mata secara langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi pelayanan kepada semua ciptaan Tuhan juga memiliki makna pelayanan kepada Tuhan. Keempat adalah melambangkan Widhyadara-Widhyadari. Secara etimologi kata Widyadara itu berasal dari kata Vidya yang berarti Pengetahuan dan kata Dhara artinya memangku atau penyangga. Para pemangku ilmu pengetahuan itulah yang disebut Vidyadara-Vidyadari. Dari ilmu pengetahuan itulah didapatkan pengetahuan atau jnana, sebagai landasan untuk melakukan kerja. Berserah diri kepada Tuhan dalam wujud bhakti hakikatnya adalah penyerahan karma berdasarkan jnana. Demikianlah makna berserah diri yang dilakukan oleh umat Hindu dalam merealisasikan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.**

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.