411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Wednesday, July 04, 2007

KUNINGAN & SAKENAN

HARI ini, Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, umat Hindu merayakan hari raya Kuningan. Hari yang dianggap sebagai ''penutup'' dari rangkaian Galungan-Kuningan ini, dipercaya sebagai hari penghormatan kepada leluhur yang telah menjenguk, menjaga, melindungi dan memelihara umat manusia selama rangkaian hari-hari meraih dan menegakkan dharma atas adharma. Pada hari Kuningan ini para leluhur akan kembali ke alamnya. Sebagai cetusan rasa bakti atas perlindungan yang telah diberikan leluhur umat Hindu mempersembahkan ritual khusus Kuningan. Rutinitas ritual tiap 610 hari ini menjadi bagian dari wajah Bali yang religius.
Hari raya Kuningan itu rangkaian dari Galungan. Pada Galungan, jelas ada puja yang tampak pada upakara yang dihaturkan. Di situ juga ada babi, sedangkan dalam bentuk lain akan menjadi bebangkit, tamasik dan power. Sedangkan pada Kuningan, tidak lagi ada unsur tamasik dalam konsentrasi kita. Di rentang waktu sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan, sudah sepuluh indria kita terkendalikan. Di Kuningan ada proses akses cahaya Tuhan. Makanya upacaranya pada pagi hari dan warna yang dipilih hanya kuning. Di situ tidak ada penampahan Kuningan, hanya belakangan itu ditambahkan oleh masyarakat. Penampahan Galungan memang ada karena berkait dengan nampah babi dalam konteks upacara persembahan berbentuk sesuatu dari daging babi.

Bisa dirinci perihal makna warna kuning itu atau makna khusus hari Kuningan?
Kuning itu bisa dilihat dari poros kangin-kauh, timur-barat. Mahadewa di arah kauh itu kan kuning. Dalam konteks pengendalian diri dari unsur indria, jika itu sudah mampu dilakukan orang, itu sudah kahuningan. Makanya, banten pada hari Kuningan tidak berisi daging babi, melainkan ada calon yang bermakna kebulatan. Kalau orang sudah uning, pasti unsur bulat itu menjadi power-nya. Bulat itu simbol kesempurnaan. Sunia, purna, itu semuanya bulat. Tamiyang yang ditampilkan juga bulat. Persembahan kepada Dewa semuanya berbentuk bulat -- banten, daksina, sampai isi suci pun bulat-bulat. Pada Kuningan, titik-titik itu ditonjolkan ke Dewa, sedangkan Galungan itu memang keceriaan yang lebih mengarah ke Durga Puja.

Hari Kuningan selalu identik dengan Pura Sakenan karena di situ pada saat bersamaan sedang berlangsung rangkaian "piodalan". Apa sesungguhnya relevansi Kuningan dan Pura Sakenan?
Pada dasarnya, di Pura Sakenan itu ada unsur pertemuan Siwa dan Budha. Di masa lalu, di situ orang menghidupkan power. Dalam sejarah, Sakenan adalah salah satu titik yang dilakukan oleh Danghyang Nirarta dalam perjalanannya mengelilingi Bali. Ketika mengelilingi Bali yang sudah dilakukan beberapa kali, poros tengah juga dilewati. Selain keliling di pinggir laut, poros tengah juga ditempuh misalnya di gunung seperti di Gobleg, Batur, dan sebagainya. Dari perjalanan keliling itu beliau kembali pulang ke luhur atau kembali ke titik api pembakaran secara spiritual melewati Sakenan. Dalam konteks ini, Sakenan itu untuk beryoga yang dicari setelah Durga Puja.

Mengapa bernama Sakenan?
Karena di situ Danghyang Nirarta melakukan power budha, sakiana. Sakenan itu berasal dari kata sakia yang lebih dekat dengan kekuatan Budhism -- beliau melaksanakan dua yaitu sebagai Budha maupun Siwa. Budha dalam konteks ajaran di Indonesia lebih mengarah pada makna energi untuk mengalahkan segala yang menyerang kekuatan bhairawa. Siwa sebagai kekuatan bhairawa, jelas menonjolkan kekuatan sidhi dalam rangka membakar diri beliau sendiri. Beliau membangun api suci Siwa Ageni untuk membakar diri beliau sendiri sampai menjadi abu.

***

PURA Sakenan kini terkesan tidak lagi berada di tengah Pulau Serangan karena di situ sudah dibangun jembatan penghubung atau jalan darat. Para "pemedek" yang "tangkil" pun kini tak perlu naik perahu, cukup naik kendaraan bermotor. Menurut Anda?
Dibangunnya jembatan penghubung atau penyatuan daratan seperti itu, bagi saya, adalah sebuah kemunduran dari segi spiritual. Sakenan mestinya "terputus" karena itu merupakan tempat beryoga di masa lalu. Sakenan secara keseluruhan maupun pura yang lebih kecil itu pada mulanya juga terputus. Yoga di satu tempat yang dikelilingi air itu sangat luar biasa kekuatannya. Dari situ kesucian terjaga. Oleh karena kini Sakenan dihubungkan oleh daratan, maka terjadi polusi yang menyebabkan kesucian memudar.

Berarti, menurut Anda, dibangunnya jembatan di sana itu merupakan kesalahan?
Dari segi pandangan spiritual, itu sudah menjadi kesalahan yang fatal. Terputusnya jalan itulah yang sesungguhnya dapat memberi kekuatan. Jika setiap hari orang naik sepeda motor dan mobil, sekali waktu naik jukung, itu kan memberi suatu rasa yang lain. Ziarah itu jangan naik motor. Ziarah itu mesti dengan jalan kaki sehingga ada proses perubahan secara fisik -- darah dapat bergerak. Setelah terengah-engah, barulah duduk, sehingga di situ ada stabilitasi. Setelah itu barulah memuja Tuhan. Dengan adanya jembatan atau jalan penghubung, itu berarti sudah menghilangkan mala dalam diri.

Tapi itu kan demi pertimbangan efisiensi dan kepraktisan?
Untuk hal-hal spiritual jangan mengambil pertimbangan praktis. Di Bali, kita harus mempertimbangkan aspek-aspek nonmaterial seperti kebudayaan dan kesenian. Spiritual merupakan kriteria pokok yang harus dipertimbangkan dalam membangun Bali. Sekarang kan kita dapat rasakan sendiri, di situ (di sekitar Pura Sakenan, red) debu beterbangan, motor meraung-raung, orang tak akan bisa berkonsentrasi dalam sembahyang. Di situ tidak akan ada aspek estetik atau keindahan. Satvam, siwam, dan sundaram itu tidak akan tercapai. Kesucian tak akan bisa terjaga karena terjadi polusi. Jangan ngomong kesucian dalam pikiran saja, lingkungan juga harus suci. Satvam, kebenaran dalam arti energi air itulah suatu kebenaran. Kalau kita berada di tengah sebuah pulau kecil yang dikelilingi air, itu kan sebuah kebenaran. Jadi keharmonisan itu sudah hilang, tak ada sesuatu yang transenden.

Itu berarti juga keberadaan Sakenan kini tidak spesifik lagi?
Ya, intinya, orang pergi ke Sakenan kini tidak merasakan sesuatu yang lain. Padahal, Sakenan itu memang disiapkan untuk lain daripada yang lain. Spiritual itu kan harus menembus batas rutinitas. Harus ada yang lain. Orang Bali kan selalu menciptakan yang lain, menciptakan beratus-ratus dunia budaya Bali, sehingga setiap saat mereka memasuki dunia berbeda. Pada titik tertentu, mereka siap menerima sesuatu apapun yang terjadi atas kehidupan mereka -- dari atas, bawah, dan sebagainya.

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.