411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Thursday, November 26, 2009

Sebentuk Korban-suci

Saya tahu, bahwa hal ini tidak dapat dibuktikan dengan alasan-alasan.

Ia akan dibuktikan oleh orang-orang yang menjalankan hukum ini

dengan tak menghiraukan akibat-akibat yang mungkin terjadi bagi diri mereka sendiri.

Tak ada kemajuan, jika tidak ada pengorbanan.

Dan oleh karena pelaksanaan hukum ini adalah kemajuan yang terbesar,

maka pengorbanan yang diberikan seharusnya menjadi

suatu pengorbanan yang sebesar-besarnya juga.

~ Mahatma Gandhi.


Walau tak semua orang ingin diistimewakan, agaknya tidak ada yang suka diabaikan begitu saja. Jangankan orang, kucing peliharaan kita saja akan uring-uringan kalau diabaikan. Ketika kita memutuskan untuk memeliharanya, kita wajib memberinya seporsi perhatian, kepedulian, menyediakan waktu secukupnya buat bercengkerama dengannya pada waktu-waktu tertentu; jelas tidak cukup hanya dengan mencukupinya dengan pangan-kinum, yang bisa dilakukan oleh pembantu rumah-tangga kita saja misalnya, atau bahkan oleh siapa saja. Kewajiban melekat ini merupakan konsekuensi dari keputusan kita untuk memeliharanya bukan?

Demikian pula halnya dengan memelihara hubungan baik di antara sesama. Memulai sebuah hubungan dengan seseorang boleh jadi tidak begitu sulit; tapi memeliharanya, sesuatu yang lain. Dibutuhkan kesungguhan, dibutuhkan sejenis komitmen ‘Aku memang benar-benar hendak menjalin tali persahabatan dengannya’. Dimana di dalamnya boleh jadi dibutuhkan sejenis kerelaan mengorbankan bentuk-bentuk materi maupun non-materi, dibutuhkan tenggang-rasa, ketulusan, dibutuhkan kesetiaan atau loyalitas atau bahkan seporsi solidaritas atau yang sejenisnya.

Kalau kita kebetulan sebakat, sehobi, seminat, seprofesi, seidola, seideologi, seagama, sepandangan, mungkin suatu jalinan persahabatan tidaklah begitu sulit dipelihara dan dijalin dengan baik. Namun faktanya, mereka yang bersaudara kandungpun belum tentu bisa bersahabat, atau pasangan suami-istripun belum tentu bisa menjalinan tali persahabatan dengan baik, padahal kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi mereka. Kenapa? Kenapa tidak mudah bagi kita semua buat menjalin dan memelihara sebuah jalinan persahabatan?

Rendahnya sifat altruistis juga berarti tingginya sifat egoistis. Mereka bak ujung-ujung yang berseberangan dari sebatang tuas-jungkit. Kalau ujung yang satu naik, ujung lainnya pasti turun. Dan tidak layaknya tuas-jungkit fisikal, menyeimbangkannya bukanlah suatu pilihan yang tersedia. Meningkatnya kadar altruisme seseorang, kadar egoismenya otomatis menurun tanpa mesti sengaja ditekan-tekan. Oleh karenanya, ‘mengikis egoisme’ juga merupakan sebentuk ‘korban-suci’, sebentuk yajña.

Pada dasarnya, menjalin tali persahabatan atau tali persaudaran dengan semua makhluk-hidup dan lingkungan alam merupakan sebentuk ‘korban-suci’ yang menyucikan batin.

Bali, Jumat, 20 Februari 2009.

Oleh Ngestoe Raharjo - BECEKA (Berkas Cahaya Kesadaran)

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.