411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Wednesday, April 11, 2007

Kisah Cicing Gudig


Mari kita lihat lebih dalam betapa menydihkannya kisah “I CICING GUDIG” Disamping sudah wajahnya tengil, baunyapun tak sedap, sudah terbayang pula kutu kutu busuk, yang menempel di sekujur tubuhnya, jangan kan kita sebagai manusia, mungkin sesama temannyapun mereka secara spontanitas mengusir jauh jauh, lantaran menjijikan nah kalau sudah begitu….? Bagaimana dengan kehidupannya……? ……Rejekinya…..? Masih adakah seseorang yang erbaik hati untuk menolongnya……? Dari sisa sisa keputus asaannya si anjing gudig inipun mereka mengintrospeksi diri, kenapa saya begini, kemana saya bawa perut saya yang keroncongan sudah tiga hari tidak ketemu nasi, dari tong ke tong sampah yang satu ke tong sampah yang lain selalu saja rebutan rebutan dengan manusia, rebutan dengan sesama anjing, selalu saja kalah physic karena badannya sudah berlumuran koreng dan sakit. Diakhir keputusasaan ini, timbulah niat untuk bertobat untuk mendiskusikan apa yang bisa dia perbuat untuk memperbaiki nasibnya ini, bertanya kepada sesamanya, disambut dengan perkelahian mekerah, bertanya kepada manusia sudah lebih dulu menutup hidung lantaran baunya yg tidak sedap, singkat ceritra ketemulah si anjing gudig ini dengan sang pertapa disebuah bukit, mereka tidak bercakap cakap namun dari kesidian sang Petapa terjadilah komunikasi dua arah, hai kau ajing gudig, sebenarnya kau tidak usah jauh jauh mencari rejeki, karena sesungguhnya, rejekimu ada pada ujung ekor yang kamu bawa. Belum cukup sang pertapa berkomunikasi ngibritlah si ajing gudig itu meninggalkan sang petapa tanpa pamit, sambil mencari cari tempat yang sunyi untuk meraih rejekinya itu sesuai dg wacana dari sang rsi, Rejekinya ada di ujung ekornya, hore……hore….. sahabatku belum tau, kini aku akan mulai untuk menikmati rejeki yang ada di ujung ekornya. Berputar….putar….. mereka mengigiti ujung ekornya,……kok belum juga keluar rejeki……?, semakin digigit semakin berdarah semakin sakit belum juga keluar rejeki, begitu juga melihat temannya lewat, dikejar dicaplok ekor temannya, disambut dengan perkelahian, belum juga dapat rejeki, akhirnya…….kembalilah si ajing gudig ini menemui sang Rsi sambil menghujat dalam hatinya apakah sang Rsi berbohong….?? Sebenarnya saat itu sang Rsi belum selesai berkomunikasi keburu mereka berlari meninggalkan sang Rsi, akhirnya kembali sang Rsi menjelaskan maksud dari wacana nya itu tiada lain adalah: Rejekimu ada pada ujung ekormu, karena kemanapun kau pergi kau selalu diikuti oleh ekormu, artinya kemanapun, dimanapun kau berada kita selalu dibayangi dengan karmawasana kita, untuk itu……Sucikanlah dirimu sebelum melakukan aktipitas, mohon petunjuk dari sang meraga patut, jangan lupa berpikir baik, berkata baik dan berbuatlah yang baik, sesuai dengan agama yang kita yakini. Kamu sebagai anjing, “product ungulan kamu adalah kesetiaan” tunjukanlah itu kepada majikanmu. Yaaaah akhirnya mengertilah si anjing gudig itu akan sebuah karmawasana, yang tiadalain adalah bagian dari Hukum Karma, yang secara utuh tidak dimiliki oleh agama kecuali “HINDU” Maka berbanggalah menjadi orang Hindu.
Namaste.

No comments:


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.