411. “Dengan diamnya antah-karana lewat samãdhi[1], nikmatilah keagungan tanpa batas dari Sang Diri-jati. Dengan penuh semangat hancurkanlah belenggu bau harum-busuk dari kelahiran dan kematian; jadilah ia yang telah mencapai tujuan-akhir dari kelahiran berjasad manusia ini!

412. “Bebas dari semua identifikasi- diri keliru itu, sadarilah Diri-jati sebagai perwujudan dari Eksistensi Sejati – Kesadaran Murni – Kebahagiaan Abadi yang tiada tara, yang tak tunduk pada lingkaran-setan kelahiran dan kematian!”

Thursday, April 05, 2007

Penyebaran Agama Langit

Tuanku Rao: Teror Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari
kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini
adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara
kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia
Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut
masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa
budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu),
yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya
agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang
ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan
antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik
bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat
meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka
pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang
Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian
mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di
beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama
asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat
sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat
yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat
agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri
sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil
incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga
Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering
melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba
Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan
terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan
penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan
keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja
Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu-
sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat
yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut,
harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya
serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di
tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh
anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga
dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan
sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja
Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di
bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja
IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,
yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam
suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual"
kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga
Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu
(tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh
pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus
dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan
badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu,
karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke
tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian
di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok,
Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena
selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah
dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali
dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah. Haji Piobang dan Haji
Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang
mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,
mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia
memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta
kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan
kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat
Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama
seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal
usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:
Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal
kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama
asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat
menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning
Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan
Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada
tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan
Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia
diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera
seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah
Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H
(tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang
dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda
ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan
seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman
ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan
rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu
wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin
oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak
sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah
masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku
Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku
Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku
Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku
Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung) , Tuanku Ali
Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku
Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan
tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan
Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang
Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia
lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan
Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan
pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra
Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra
Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk
kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan
terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di
tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara,
termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar
30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di
medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud
menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun
Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya
tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing,
Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan
Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing
dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang
gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku
pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah
ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada
Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan
dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal
kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti,
salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

http://www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/ viewtopic. php?t=4737

------------ ---- ------------ --------- --------
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh
Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, "Pongkinangolngolan
Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak", Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja
Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja
Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan
sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem
Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman.

Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya.
Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban
yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut. Mayjen TNI (purn.) T.Bonar
Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah
Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan
Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan
Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater
Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku
tersebut.

1 comment:

dude said...

OSSA..

Dilhat dari cerita di atas sepatutnya sumatera dan jawa sangatlah kebalikan dgn fakta yang ada skg,, tapi lihatlah SUMATERA DAN JAWA sekarang yang lupa akan leluhurnya dimana mereka menyebarkan agama langit dgn kekerasan yang akhirnya mendpatkan bencana tiada akhir...Ramalan DAN Pastu orang2 dulu yang dibantai yang tidak mau mengikuti ajaran langit akhirnya menjadi nyata..

http://kebangkitan-hindu.blogspot.com/


"Om Samaniwah akusih samaniwah dayaniwah, samanamas to va mano Jatihva susaha sati."

OM Hyang widhi, satukanlah kami dalam pemikiran, dalam pendapat, dalam
perkataan, serta pelaksanaan yang berdasarkan mufakat, seperti halnya para Deva
yang bersatu padu dalam membangun sorga kehidupan.