Islam Fundamentalis Penghancur Majapahit
Ini menurut HJ. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya: 'Kerajaan
Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI'
(terjemahan yang diterbitkan oleh Grafiti Pers). Mereka
menyimpulkannya dari dokumen-dokumen Eropa dan Jawa terpercaya.
Menurut cerita rakyat Jawa, tahun kejadiannya adalah 1487 M. Diambil
dari kalimat terkenal `Sirna Ilang Kertaning Bhumi' = Musnah Hilang
Keagungan Negeri = 1400 J = 1487 M, yang dipercaya sebagai tahun
keruntuhan Majapahit. Tapi kedua ilmuwan Belanda tersebut mendapatkan
bukti-bukti yang berbeda.
Kemaharajaan Majapahit ternyata tidak runtuh di tahun 1487 M. Tetapi
tahun itu ternyata bukan tahun yang tidak penting. Pada tahun itulah
raja pertama Demak mulai memerintah. Di catatan-catatan Jawa dia
disebut dangan nama Raden Patah. Dari kata Arab : Al Fatah, berarti
kemenangan gemilang. Dari gelarnya, yaitu raden, dapat diduga ia
bertalian darah dengan penguasa lama. Bahkan ada juga yang mengatakan
bahwa ia adalah anak Maharaja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya.
Sedangkan ibunya adalah selir raja, seorang wanita Cina muslim. Tempat
kelahirannya adalah Palembang. Konon ibunya dalam keadaan mengandung
ketika `dihadiahkan' kepada gubernur kesayangan Maharaja di Sumatera
selatan itu. Tapi cerita ini berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya.
Menurut catatan orang Eropa, nama penguasa Demak pertama itu
adalah Pate Rodim (Sr.) . De Graaf memperolehnya dari buku Summa
Oriental tulisan Tome Pires, seorang duta Portugis dari Malaka yang
mengunjungi Jawa pada awal abad XVI. Ilmuwan Belanda itu
memperkirakan nama sang penguasa sebenarnya mungkin adalah
`Kamaruddin' atau `Badruddin'. Dari buku yang sama dan juga dari
dokumen Kerajaan Banten, didapatkan bukti bahwa raja Demak tersebut
bukanlah keturunan Maharaja Majapahit. Di dokumen kerajaan Banten, ia
disebut dengan nama Arya Cucu Sumangsang. Ia adalah keturunan patih
raja (gubernur) Demak bernama Cek Po Ko yang beretnis Cina. Sedangkan
penguasa Demak pada waktu itu adalah bawahan Majapahit bernama Lembu
Sora. Mungkin ia yang bergelar Kertabhumi.
Meskipun hanya menjabat sebagai patih penguasa daerah bawahan,
ia sangat berjasa kepada Maharaja Majapahit. Cek Po Ko-lah yang
memimpin ekspedisi militer penghukuman atas Palembang dan Cirebon yang
membangkang. Menurut aturan, yang menjadi panglima seharusnya adalah
Lembu Sora/Kertabhumi. Rupanya ia mendelegasikan wewenang kepada
patihnya. Pada waktu ekspedisi itulah konon anak Cek Po Ko dilahirkan.
Entah dengan cara mengawini putri penguasa setempat atau dengan cara
membunuh raja bawahan itu, pada akhirnya anak Cek Po Ko marak menjadi
penguasa Demak. Dan ternyata, Maharaja Majapahit tidak melakukan
tindakan apapun atas penyimpangan itu.
Ada beberapa kemungkinan mengapa Maharaja mendiamkan, yang
berarti mengesahkan, kejadian itu. Pertama mungkin karena jasa-jasanya
yang besar kepada Maharaja. Mungkin juga pada tahun-tahun itu kekuatan
militer Majapahit sudah sedemikian lemahnya. Atau bisa jadi Maharaja
mendapatkan keuntungan dengan adanya pengambilalihan kekuasan di Demak
itu. Mungkin juga gabungan ketiga penyebab itulah yang menjadi dasar
sikap lembek pemerintah pusat.
Berdasarkan dokumen Majapahit yang paling dapat dipercaya,
penguasa tertinggi Majapahit saat itu adalah keturunan cabang keluarga
Maharaja yang ada di Kediri. Cabang keluarga ini lebih muda dan
sebenarnya tidak berhak menduduki tahta. Cabang keluarga yang
sebenarnya lebih berhak, karena lebih senior, adalah cabang Sinagara.
Salah satu keturunannya adalah Lembu Sora atau Kertabhumi yang
berkuasa di Demak. Maharaja mendapatkan keuntungan karena `saingan
potensial' itu sudah tersingkir. Istilah Jawanya : Maharaja melakukan
`nabok nyilih tangan' = memukul dengan cara meminjam tangan orang lain.
Ternyata, pemerintah pusat Majapahit salah melakukan
perhitungan politik. Membiarkan kejadian di Demak ternyata membuat
turunnya wibawa Maharaja di mata penguasa-penguasa daerah lain,
terutama penguasa-penguasa yang mulai beralih beragama Islam. Insiden
Demak membuktikan dengan nyata : Majapahit yang dulu perkasa, sekarang
sudah tidak bergigi lagi. Contoh yang paling jelas dilakukan oleh
penguasa Giri-Gresik. Tanpa ragu ia memplokamirkan diri menjadi raja
(merdeka) lengkap dengan gelar : Prabu Satmata. Inilah awal keruntuhan
Majapahit. Akan tetapi jelas bahwa Majapahit tidak ambruk di tahun
1487 M itu. Kemaharajaan Majapahit, meskipun lemah, masih berdiri
sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.
Bukti nyata keberadaan Majapahit di tahun-tahun setelah 1487 M
ada di buku Summa Oriental itu juga. Di sekitar tahun 1513 M, penulis
buku itu mengunjungi Tuban. Ia sebagai wakil penguasa baru atas
Malaka, diterima dengan baik. Tuan rumahnya bernama Pate Vira.
Kemungkinan besar adalah Adipati Wilwatikta, penguasa Tuban waktu itu.
Meskipun beragama Islam, ia masih mengaku sebagai bawahan Maharaja
Hindu di Daha di pedalaman Jawa timur. Daha adalah sebutan lain dari
Kediri.
Karena yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu adalah
cabang keluarga Kediri, De Graaf dan juga ahli sejarah lain, tidak
bisa tidak, harus menafsirkan Daha atasan Tuban sebagai Kemaharajaan
Majapahit. Bukti lainnya juga menguatkan. Menurut Tome Pires juga,
nama sang Maharaja adalah Vigiaja. Tentu, ini adalah lidah Portugis
untuk menyebut (Bra) Wijaya. Dan mahapatihnya bernama Gusti Pate.
Menurut catatan-catatan Jawa nama sebenarnya adalah Patih Udara atau
Mahudara atau Amdura. Patih itu sangat terkenal dan ditakuti di
penghujung senja Majapahit.
Patih ini juga yang memberi gelar penguasa Surabaya sebagai
'Jurupa Galagam Imteram'. Ini adalah ejaan Portugis untuk gelar Jawa :
'Surapati Ngalaga Ing Terung'. Nama penguasa Surabaya itu sebelumnya
adalah Pate Bubat. Gelar itu diberikan atas jasa militernya membendung
serangan orang-orang Islam dari Jawa tengah. Babad-babad Jawa juga
menyebut-nyebut orang ini. Adipati Terung mula-mula adalah pembela
Majapahit yang gigih, meskipun ia sudah beragama Islam dan mungkin
keturunan Cina juga. Konon dialah yang berhasil membunuh Penghulu
Rahmatullah, ayah Sunan Kudus, Panglima Demak penyerbu Majapahit.
Tetapi kemudian ia (atau penggantinya) berbalik menjadi musuh
Majapahit di kemudian hari.
Tahun keruntuhan Majapahit kemungkinan besar adalah 1527 M.
Menurut dokumen Kerajaan Demak, pada tahun itulah Demak menaklukkan
Kediri. Dengan alasan yang sama, bahwa penguasa Majapahit adalah
cabang keluarga Kediri, berarti yang ditaklukkan tahun 1527 M itu
tidak lain dan tidak bukan adalah Majapahit. De Graaf juga menemukan
bukti (tidak langsung) lain. Di tahun 1529 M, Raja Muda Portugis di
Malaka menerima perutusan dari Kerajaan Belambangan lewat pelabuhan
Panarukan. Karena selama berabad-abad Belambangan adalah wilayah
Majapahit, dengan merdekanya wilayah itu, berarti Kemaharajaan
atasannya sudah tidak ada lagi.
Yang berkuasa di Demak pada waktu itu bukan lagi penguasa
pertamanya, melainkan penguasa ketiganya. Di buku Tome Pires, dia
disebut dengan nama Pate Rodim (Jr.). Di buku-buku Jawa, dialah raja
Demak yang paling lama berkuasa : Sultan Trenggana. Ia menggantikan
abangnya yang hanya memerintah sebentar, Pangeran Sabrang Lor atau
oleh orang Portugis disebut dengan nama Pate Unus dari Jepara. Orang
inilah yang berusaha memerangi Portugis di Malaka di tahun 1511 M.
Keduanya adalah putra penguasa Demak pertama.
Panglima Angkatan Bersenjata Demak pada waktu penaklukan
Majapahit adalah Sunan Kudus. Ia adalah anak sekaligus pengganti
panglima yang terbunuh dalam perang sebelumnya. Tokoh ini, dalam
cerita-cerita Jawa, dikenal sebagai salah satu dari Wali Sanga. Mereka
diyakini sebagai penyebar agama Islam mula-mula di tanah Jawa. Mereka
juga diakui sebagai penasihat ahli untuk Raja Demak yang bersidang
secar rutin. Cerita-cerita yang beredar sangat fantastis, penuh dengan
mukjizat dan kesaktian (kecakapan militer) individu.
Menurut dokumen yang paling terpercaya, mereka sebenarnya
mula-mula menjabat sebagai Imam (penghulu) Masjid Raya Kerajaan Demak.
Pada jaman itu, ternyata para Imam diberi kewenangan untuk membentuk
korps militer tersendiri. Nama kesatuannya adalah Suranata. Anggota
pasukannya berasal dari komunitas orang alim yang dipimpin sendiri
oleh sang Imam. Tidak diketahui dari mana sumber pembiayaan untuk
senjata dan pelatihan militer lainnya. Mungkin dari amal jariah jamaah
masjid seperti yang lazim sampai sekarang ini, atau mungkin juga
dibiayai langsung dari kas kerajaan.Yang pasti, mereka dikenal sangat
militan dalam membela dan mendakwahkan agama Islam.
Di negeri yang baru masuk Islam, tentu tidak aneh jika
semangat mereka dalam berdakwah meluap-luap. Medan untuk berjihad
terhampar luas di depan. Mereka berharap mendapatkan pengikut yang
sebanyak-banyaknya dari orang Jawa yang masih kafir. Dengan demikian
perluasan wilayah Islam menjadi terlaksana dengan sukses. Kematian
bukan hal mengerikan bagi mereka. Mati di ladang jihad, syurga
imbalannya. Tidak heran jika legiun Suranata sangat ditakuti dimana-mana.
Dengan latar belakang kekuatan yang dimilikinya itulah, Sunan
Kudus berkarier di bidang militer Kerajaan Demak. Dan prestasinya
tidak tanggung-tanggung : meruntuhkan kerajaan kafir kuno Hindu Jawa
Majapahit. Keberhasilannya adalah menyingkirkan rintangan terbesar
(menurut orang-orang Islam baru itu) dalam menjalankan perintah Tuhan
di bumi Jawa. Dengan ambruknya pembela kekafiran, jalan menuju
pengislaman di bekas wilayahnya menjadi semakin lapang.
Fragmen kekalahan Majapahit itu direkam dengan jeli oleh para
pencipta reyog Panaraga. Maharaja Majapahit digambarkan sangar seperti
macan, tetapi suka bermegah-megah seperti merak. Pekerjaannya hanya
lenggang-lenggok tanpa tujuan jelas. Para komandan militernya (warok)
hanya bisa mendelik marah-marah karena para prajurit anak buahnya
ternyata lemah gemulai (diperankan oleh para gemblak, pemuda yang
cantik-cantik) . Kebanci-bancian dan tidak tangkas bertempur seperti
pada umumnya tentara dimana-mana. Apalah artinya komandan yang pintar
tanpa para buah yang trengginas. Pada akhirnya, kepala sang raja
diduduki oleh anak kecil : Kemaharajaan Majapahit yang dulu jaya
dikalahkan oleh Kerajaan Demak yang belum lama berdiri.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi jalannya pertempuran
adalah digunakannya senjata berteknologi tinggi pada waktu itu oleh
pasukan Demak : meriam berpeluru besi. Memang ada spekulasi yang
mengatakan bahwa sebenarnya Majapahit juga memiliki senjata api
sejenis meriam. Namun yang dilontarkan meriam Majapahit bukan
proyektil besi, melainkan bahan kimia yang menimbulkan ledakan saja,
hanya mirip mercon yang dilontarkan. Teknologi ini jelas tertinggal
jauh dibandingkan dengan meriam Demak yang sanggup meruntuhkan tembok
dan menjebol pintu gerbang perbentengan. Demak juga berpengalaman
berhadapan dengan ampuhnya meriam (Portugis) pada waktu berusaha
mengepung Malaka.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Demak sanggup membuat atau
membeli meriam yang setara dengan milik kapal-kapal Portugis itu.
Menurut catatan Eropa, Demak memiliki tawanan perang seorang Portugis
yang kemudian masuk Islam. Pekerjaan orang ini adalah membuat meriam
untuk Raja. Salah satu hasil karyanya dipakai oleh Panglima Demak
Wilayah Barat untuk menaklukkan Banten. Meriam ini kemudian dipajang
di depan istana barunya di Banten. Sekarang meriam itu masih ada dan
disimpan di Museum Nasional Jakarta dan diberi nama Ki Amuk.
Pribadi Sang Panglima Demak Wilayah Barat Syarif Hidayatullah
juga bisa dijadikan bukti kepemilikan meriam itu. Ia kelahiran Pasai.
Ia pasti sangat terkesan dengan daya rusak meriam Portugis yang
meluluh-lantakkan negerinya. Kemudian ia pergi berhaji ke Mekah. Di
pusat komunitas muslim itu tentu ia mendengar berita digunakannya
meriam-meriam Kesultanan Turki Usmani yang menggentarkan penguasa-
penguasa di Kairo, Jerusalem, Konstantinopel, Athena, Beograd,
Bucharest, Budapest, bahkan sampai ke Wienna. Bukan tidak mungkin
disana dia berusaha untuk mempelajari pembuatan meriam berikut
strategi penggunaannya.
Ditemukan juga faktor non-militer sebagai penyebab kalahnya
angkatan perang Majapahit itu. Dalam upaya bertahan, ternyata
Majapahit (bersama Pajajaran) melakukan manuver politik dengan
menawarkan koalisi kepada Portugis, penakluk Malaka. Majapahit
melakukannya dengan perantaraan penguasa Tuban. Perkembangan ini tentu
tidak disenangi oleh kaum muslim di Jawa tengah. Si kafir Hindu hendak
meminta bantuan kepada kafir Portugis. Lengkap sudah faktor yang bisa
membangkitkan semangat orang-orang Islam dalam membasmi kekafiran.
Padahal Maharaja Majapahit tidak pernah (atau tidak sanggup)
menghalang-halangi atau memusuhi penyebar Islam di wilayah negerinya.
Legenda tentang Wali paling senior, Sunan Ampel, menunjukkan bahwa ia
diterima dengan baik di istana. Mungkin juga karena masih keponakan
permaisuri, Putri Champa. Malah ia diberi tugas memimpin masyarakat
baru muslim di Surabaya. Bahkan makam-makam tua di Tralaya membuktikan
bahwa para bangsawan Majapahit sudah ada yang menganut Islam sejak
jaman Prabu Hayam Wuruk.
Di samping kisah wali-wali lain, riwayat tentang Sunan Kudus
banyak dijumpai dalam cerita-cerita Jawa yang beredar luas. Konon ia
berdarah Arab, dan dari garis ibu masih merupakan keturunan Sunan
Ampel. Namanya yang sebenarnya adalah Jafar Sidik. Disamping menjabat
sebagai Imam Masjid Raya Demak, ia juga berdinas di angkatan
bersenjata Demak menggantikan ayahnya yang terbunuh. Ayahnya hanya
dikenal dari nama anumertanya : Penghulu Rahmatullah, artinya yang
dirahmati oleh Allah.
Cerita dan babad Jawa menceritakan tokoh ini dengan
karakteristik khas : keras dan tidak kenal kompromi. Dalam menegakkan
syariah, ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, bahkan melakukan
pembunuhan-pembunuh an. Sama sekali tidak pernah terdengar dia mau
mengkompromikan keyakinannya dengan budaya setempat ketika masih
menjadi pejabat tinggi di Kerajaan Demak. Tindakannya melarang
penyembelihan sapi, (dalam rangka menghormati kepercayaan Hindu yang
masih dianut luas) dilakukan setelah ia menetap di kota Kudus.
Demikian juga dengan perintahnya dalam pembangunan Menara Masjid Kudus
yang terkenal itu. Dia melakukan semua itu setelah disingkirkan dari
lingkungan kekuasan di ibukota Demak.
Berbeda dengan Sunan Kalijaga misalnya. Sunan ini berasal dari
golongan elite waktu itu. Ayahnya adalah Adipati Wilwatikta dari
Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Said. Setelah lama menjadi penjahat,
akhirnya dia insyaf dan menjadi orang baik-baik. Sebagai Wali yang
asli Jawa, metoda dakwahnya berbeda dengan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga
menggunakan kearifan lokal dalam mengajak rakyat Jawa yang masih
Hindu-Budha ke agama Islam. Tujuannya adalah menghindarkan sejauh
mungkin gejolak penolakan di masyarakat. Dia banyak melakukan
adaptasi-adaptasi budaya Jawa agar cocok dengan nilai-nilai keislaman.
Gending dan wayang yang semula kesenian sakral bagi agama lama,
dipergunakannya sebagai media dakwah yang sangat efektif.
Sebagian kalangan menganggap bahwa metoda Sunan Kalijaga-lah
yang berhasil mengislamkan Jawa. Tetapi tidak sedikit yang menganggap
bahwa ajarannya menyesatkan. Ia dianggap merusak akidah. Metodanya
mencampuradukkan ajaran Islam yang suci yang berasal dari Allah dengan
ajaran agama lain, bahkan dengan kebudayaan Jawa yang hanya hasil
kreasi manusia. Jadinya adalah Islam Kejawen yang menyimpang jauh dari
ajaran Islam murni dari Arabia.
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga hidup sejaman. Tidak tercatat
adanya konflik kepentingan atau bentrok fisik antara kedua Wali itu.
Namun keputusan Sultan Trenggana menunjukkan kapada Wali siapa
Kerajaan Demak berpihak. Jafar Sidik akhirnya digantikan oleh Kalijaga
sebagai Imam Masjid Raya sekaligus penasehat raja. Jafar Sidik diberi
wilayah tersendiri : Kudus sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Namanya
semula adalah Undung atau Ngudung. Setelah menjadi miliknya, nama kota
itu diubahnya menjadi Kudus. Satu-satunya kota di Jawa yang bernama
dari bahasa Arab. Dia kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus,
sesuai dengan tempat tinggalnya.
Tindakan Sunan Kudus yang paling terkenal adalah menghukum si
penyebar bid'ah : Syeh Siti Jenar dan muridnya Ki Ageng Pengging.
Ajaran mereka pada intinya adalah : `manunggaling kawula Gusti' =
bersatunya diri manusia dengan Tuhan. Ini jelas membahayakan akidah
Islam. Menyamakan Allah Yang Maha Suci dengan manusia yang penuh dosa
dan kelemahan jelas-jelas merendahkan martabat-Nya. Tidak ada hukuman
yang lebih cocok bagi penghina Tuhan selain hukuman mati. Tanpa ragu,
Sunan Kudus dan `Komando Pasukan Khusus' Suranata-nya bergerak
memusnahkan bibit-bibit kerusakan akidah itu.
Penulis buku `Dharmogandhul' juga mencatatnya. Namun dia
sedikit kurang jeli dalam pengamatannya. Dalam penglihatannya,
orang-orang Islam dari Jawa tengah itu adalah mereka yang memakai baju
jubah longgar, bersorban, memelihara jenggot, dan suka mengcungkan
pedang kepada orang kafir. Semua orang Islam itu dituduhnya
bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi di tanah Jawa. Dikiranya
semua orang Islam adalah penganut garis keras. Merekalah yang
menyebabkan orang-orang Hindu mengungsi ke Pegunungan Tengger dan
Pulau Bali.
Jika kita pandang dengan kacamata sekarang, Sunan Kudus dapat
kita lihat sebagai pengusung gerakan Islam fundamentalis semacam Font
Pembela Islam, Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia dan
berbagai organisasi sejenis. Tindakannya yang tanpa kompromi kepada
Kemaharajaan kuno dan Siti Jenar yang menyimpang, jelas-jelas
menunjukkan bahwa ia berbeda dengan dengan Wali lain yang menggunakan
pendekatan budaya Jawa. Baginya, tidak ada yang lebih benar dan mulia
selain Islam. Dan semuanya harus tunduk kepada Daulah Islamiyah. Atau
dihancurkan.
2 comments:
Niki wantah Blog sane becik pisan anggen melajahang rage, mangde rage uning indik dresta kuna duwene.
Dumogi blog niki, sayang lintang sayan mecikang, mangde dados sesuluh irage sareng sami.
suksma pisan
Rahajeng semeton...
Atur Paramaning Suksma tityang ring Bapak Sura, doning sampun pratyaksa turmaning renga ring sajroning dresta lan agama druwe.
Gumantine prasidda raris sradha bhaktin iraga sareng sami katincapang ri pungkur wekas...
Ngiring sareng sami stata ngarti santhi lan jagadhita ring BALI..
Post a Comment